Biodiversitas merupakan anugerah alam terbesar untuk negeri ini. Dari ragam flora fauna di darat dan lautan, keberlimpahan jasad renik, hingga keberagaman manusia dan budayannya, Indonesia menjadi juara dunia.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Biodiversitas merupakan anugerah alam terbesar untuk negeri ini. Dari ragam flora fauna di darat dan lautan, keberlimpahan jasad renik, hingga keberagaman manusia dan budayannya, Indonesia menjadi juara dunia.
Dalam buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia yang ditulis ilmuwan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) disebutkan, negeri ini memiliki sekitar 3.000 spesies vertebrata, yang mencakup 10 persen dari total jenis hewan bertulang belakang di dunia. Dari jumlah itu, separuhnya merupakan spesies endemik.
Indonesia juga memiliki spesies endemik terbanyak sejagat untuk burung dengan daerah jelajah terbatas. Jumlahnya bahkan lebih dari dua kali lipat ketimbang negara mana pun di dunia.
Total keanekaragaman tumbuhan tinggi di Indonesia menduduki urutan ketiga setelah Brasil dan Kolombia. Namun, untuk endemisitasnya, Indonesia dan Brasil berbagi juara dengan 75 persen cadangan dunia ada di kedua negara ini.
Sementara perairan serta pesisir Indonesia, yang menjadi jantung Indo-Pacific Coral Triangle, merupakan pusat biodiversitas perairan dunia. Jika digabungkan antara biodiversitas daratan dan lautan, Indonesia merupakan yang terkaya.
Kekayaan biodiversitas Indonesia ini ditempa kompleksitas tatanan geologis, posisi geografis, dan dinamika iklim selama ribuan hingga jutaan tahun. Berada di pertemuan benua dan samudra, negeri ini mendapat keberlimpahan pasokan benih hayati. Iklim tropis dengan intensitas hujan tinggi menyemai benih kehidupan itu, yang dipupuk abu vulkanik dari 127 gunung api aktif.
Terkadang letusan gunung ini sedemikian dahsyat hingga memunahkan nyaris seluruh kehidupan di atasnya sebelum muncul bentuk kehidupan baru. Proses evolusi kehidupan ini misalnya bisa diamati di Anak Krakatau, yang menjadi laboratorium alam bagi suksesi kehidupan yang muncul dari tabula rasa.
Dua sisi
Berkah biodivesitas dan bencana alam merupakan dua sisi dari keping uang yang sama! Jika gagal mengelola, jangankan mendapat anugerah, kita justru hanya mendapatkan bencana alam.
Pergerakan lempeng Bumi di masa lalu, yang kerap ditandai dengan peristiwa gempa bumi, telah membentuk lembah-lembah dan danau-danau di antara dominasi bentang alam pegunungan. Berbagai ragam spesies endemik muncul di danau-danau air tawar yang terisolasi ini. Namun, isolasi terutama terjadi di pulau-pulau kecil yang terapung di tengah lautan di Zona Wallacea.
Benih-benih kehidupan yang mendarat di pulau ini kemudian menciptakan aneka spesies endemik yang tak bisa ditemukan di belahan Bumi mana pun, komodo hanya salah satunya. Sebagian spesies itu terbentuk dari hibridasi atau perbenturan biologi, seperti banyak ditemukan di Sulawesi: pulau terbesar di Wallacea, yang terbentuk dari tabrakan lempeng Australia, Pasifik, dan Asia.
Bahkan, Nusantara menjadi taman firdaus dan tujuan migrasi manusia sejak zaman purba.
Beberapa pulau di Wallacea ini adalah gunung api yang kaya dengan spesies endemik. Salah satu anugerah botani di kawasan ini adalah cengkeh dan pala, yang pada masa lalu hanya ditemukan di pulau-pulau gunung api yang terisolasi di tengah lautan terdalam, Palung Banda di Maluku.
Dua spesies tanaman endemik itu telah membawa perubahan di negeri ini, bahkan juga dunia. Pencarian pulau-pulau penghasil cengkeh dan pala memicu penjelajahan modern ke penjuru dunia.
Bahkan, Nusantara menjadi taman firdaus dan tujuan migrasi manusia sejak zaman purba. Analisis genetika terbaru dari Murray Cox dkk di jurnal Cell Press (2019) mengungkap, intensitas pembauran leluhur manusia modern (Homo sapiens) dengan manusia purba Denisovan paling intensif terjadi di Nusantara.
Meski berkali-kali dilanda bencana katastropik, sejak dulu Nusantara kaya sumber pangan yang bisa menopang pemburu dan peramu awal seperti sagu, keladi, pisang, dan sukun yang merupakan spesies endemik negeri ini. Keberagaman sumber pangan ini berperan penting membentuk kekayaan kuliner kita.
Meminggirkan
Meski demikian, 74 tahun sejak kemerdekaan, pembangunan yang dilakukan cenderung meminggirkan kekayaan utama kita itu. Deforestasi dan konversi lahan menjadi sawit yang monokultur serta tambang masih menjadi andalan utama ekonomi.
Bahkan, pulau-pulau terkecil yang memiliki ekologi rapuh di Wallacea pun tak luput dari penambangan dan perambahan sawit. Keberagaman hayati terus tergerus, bahkan sebagian telah punah.
Demikian halnya keberagaman budaya pangan diseragamkan dan produk berbahan gandum impor yang diiklankan sebagai selera Nusantara. Negara yang begitu kaya biodiversitas ini sekarang terjebak impor pangan. Padahal, biodiversitas merupakan kunci ketahanan pangan di tengah perubahan iklim.
Mimpi Indonesia maju dengan membuka pintu investasi selebar-lebarnya yang kini dicanangkan pemerintah Joko Widodo seharusnya dilandasi perspektif berbasis sains yang jernih. Kesalahan pilihan investasi justru akan menghancurkan berkah alam terbesar untuk negeri ini yang juga menjadi hak generasi mendatang.
Dalam buku yang diluncurkan di Jakarta pada Senin (11/11/2019), AIPI dan ALMI telah merekomendasikan tiga kegiatan berbasis biodiversitas yang seharusnya menjadi prioritas investasi, yaitu ekowisata, bioprospeksi untuk penemuan obat dan bioenergi, serta eksplorasi laut. Ketiga prioritas investasi ini dinilai bisa menjadi solusi untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.