Tak Mau Kecolongan, Pemerintah Bentuk Satgas Pengawas Limbah Impor
Pemerintah telah merevisi aturan impor tentang sampah atau limbah sebagai bahan baku. Dalam regulasi baru itu, satuan tugas lintas kementerian berperan penting untuk mengawasi importasi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah merevisi aturan impor tentang sampah atau limbah sebagai bahan baku. Dalam regulasi baru itu, satuan tugas lintas kementerian berperan penting untuk mengawasi importasi.
Kementerian Perdagangan telah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menjadi Permendag Nomor 84 Tahun 2019. Permendag No 84/2019 itu sudah terbit pada Oktober 2019.
Permendag tersebut mengamanatkan pembentukan satuan tugas (satgas) untuk memantau kegiatan importasi limbah non-B3. Anggota satgas ini terdiri dari Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Satgas ini bertugas meninjau dan memutuskan kontainer impor sampah non-B3 dapat release (diserahkan ke pelaku industri) atau di re-ekspor (ekspor kembali),” kata Kepala Seksi Barang Tambang dan Limbah Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Defry Setyawan dalam diskusi yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Selasa (12/10/2019).
Satgas ini bertugas meninjau dan memutuskan kontainer impor sampah non-B3 dapat diserahkan ke pelaku industri atau diekspor kembali.
Menurut Defry, Kemendag akan mengoordinasikan pembentukan satgas ini. Selain pembentukan satgas, akan ada aturan turunan dari Permendag No 84/2019. Aturan turunan itu berupa rujukan teknis yang ditargetkan selesai penyusunannya pada pekan ini.
”Rujukan teknis ini akan berisi rincian metode pengambilan sampel dan verifikasi di pelabuhan terhadap limbah non-B3 yang diimpor yang menjadi acuan bagi surveyor pemeriksa,” katanya.
Pemerintah merevisi Permendag No 31/2016 karena terungkapnya kasus impor limbah plastik yang terkontaminasi B3. Sebanyak 87 kontainer limbah plastik itu diimpor dari Hong Kong, Spanyol, Kanada, Australia, dan Jepang.
Dari jumlah itu, 24 kontainer telah dikirim dan dibuka di Kawasan Berikat PT ART di Cikupa. Sementara sisanya, 63 kontainer, masih berada di Pelabuhan Tanjung Priok.
Defry mengemukakan, definisi limbah yang diperbolehkan diimpor sebagai bahan baku dalam Permendag No 31/2016 terdapat satu kode harmonisasi kepabean (HS) yang merujuk pada kata ”lain-lain”. Hal itu menjadi celah bagi masuknya sampah yang tidak diizinkan diimpor.
Permendag No 31/2016 juga meminta limbah impor yang ternyata mengandung B3 untuk diekspor kembali oleh importir dalam waktu 90 hari. Namun, masih belum jelas menyebutkan pihak yang berwenang memberikan izin kepada importir untuk mengembalikan limbah yang telah diimpornya itu.
”Dengan adanya satgas, pengawasan akan semakin ketat. Satgas itu juga berwenang untuk meminta importir mengekspor kembali limbah yang telah diimpornya,” ujarnya.
Masih menumpuk
Direktur Eksekutif Asosial Pulp dan Kertas Indonesia Liana Bratasida mengatakan, pelaku industri pengimpor limbah non-B3 untuk bahan baku belum mendapatkan sosialisasi tentang Permendag No 84/2019. ”Kami juga ingin dilibatkan dalam penyusunan rujukan teknis agar aturan tersebut dapat diterapkan sesuai dengan kondisi lapangan,” katanya.
Menurut Liana, saat ini pelaku usaha dan industri sudah siap mengekspor kembali limbah impor yang ternyata masuk kategori B3. Akan tetapi, pelaku usaha dan industri belum mendapatkan izin eksekusi dari pemerintah.
Padahal, para pelaku sudah mengajukan permohonan ekspor kembali sejak 4-5 bulan lalu. ”Akibat waktu tunggu di pelabuhan tersebut, kerugian yang dialami mencapai sekitar Rp 2 miliar,” katanya.
Para pelaku sudah mengajukan permohonan ekspor kembali sejak 4-5 bulan lalu. Akibat waktu tunggu di pelabuhan tersebut, kerugian yang dialami mencapai sekitar Rp 2 miliar.
Hingga 30 Oktober 2019, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mendata, 1.380 kontainer berisi limbah impor tertumpuk di Pelabuhan Tanjung Priok. Adapun 144 kontainer di antaranya sudah diperiksa dan terbukti tercampur limbah B3.
Kepala Subdirektorat Impor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Djanurindro menyatakan, mayoritas kontainer berisi limbah impor itu berasal dari negara maju, contohnya Amerika Serikat, Australia, dan Inggris.
”Sebanyak 1.064 kontainer belum diajukan importir untuk diperiksa. Secara umum, pemeriksaan hingga eksekusi ekspor kembali memakan waktu sekitar satu bulan,” katanya.
Sebanyak 1.064 kontainer belum diajukan importir untuk diperiksa.
Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Laut Operasional Usaha Kepelabuhanan Pelabuhan Tanjung Priok Dedy Hermanto menyatakan, otoritas pelabuhan akan memindahkan lokasi penumpukan kontainer agar tidak mengganggu lalu lintas pelabuhan. Dia juga menggandeng otoritas pemerintah terkait untuk bersama-sama menangani penumpukan kontainer limbah impor tersebut.
Sementara itu, Direktur Verifikasi Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Gunawan berpendapat, Indonesia bukan negara tempat pembuangan sampah dan hal ini perlu ditegaskan kepada dunia. ”Kita juga perlu mencontoh China yang pada 2008 mulai menghentikan impor limbah dan sampah,” katanya.