Penghormatan megah diberikan pada Ashleigh Barty usai memenangi Final WTA di Shenzhen, China, pekan lalu. Tepat sepekan sebelumnya di arena yang sama, penghormatan serupa diberikan kepada 56 petenis putri remaja.
Oleh
YUNAS SANTHANI AZIZ, dari Shenzhen, China
·8 menit baca
Di penghujung Oktober, mendahului Final WTA, Asosiasi Tenis Profesional Putri Dunia menggelar ajang WTA Future Stars. Ini adalah kejuaraan bagi petenis remaja kelompok umur 14 dan 16 tahun dari 24 negara yang diundang. Indonesia salah satunya, diwakili oleh Kholisa Siti Maisaroh (13) dan Jessica Christa Wirahadi Poernama (16).
Pada babak-babak penyisihan, pertandingan digelar di lapangan terbuka Bay Arena. Kompleks olahraga itu jauh lebih kecil daripada Gelora Bung Karno (GBK). Namun, Bay Arena punya 11 lapangan tenis luar ruang yang terjaga kondisinya. Adapun pasca-Asian Games 2018, lapangan tenis outdoor di GBK tergerus. Hanya tersisa empat. Ini membuat GBK yang gemilang tak akan pernah dapat menjadi tuan rumah kejuaraan internasional apapun, yunior dan senior. Sedih.
Di Bay Arena pada final WTA Future Stars, Minggu 27 Oktober, para gadis cilik itu bisa melupakan sengatan matahari. Bak bintang tenis profesional, mereka dikawal memasuki gedung stadion tertutup. Mereka menyusuri lorong-lorong steril yang hanya boleh dilalui para petenis dalam sebuah kejuaraan akbar, hingga ke tribun melalui pintu khusus. Di beberapa bagian, dinding lorong dilapisi poster raksasa bergambar bintang cabang olahraga itu. Menggambarkan kemegahan dunia tenis.
Keempat finalis datang dengan lebih bergaya. Mereka adalah Clervie Ngounoue (AS) dan Kayla Cross (Kanada) dari KU-14 dan Reese Brantmeijer (AS) serta Annabelle Xu (Kanada) mewakili KU-16. Keempatnya masuk lapangan pertandingan dari pintu terpisah, dan lampu stadion diredupkan sedangkan berkas cahaya terang menyoroti mereka, mengikuti langkah kaki. Mirip ketika Barty dan Elina Svitolina bersiap bertarung di laga puncak Final WTA sepekan kemudian.
Usai kemenangan, Ngounoue dan Brantmeijer juga dilayani sama seperti Barty. Diwawancara di tengah lapangan, dipersilakan berpidato singkat kepada penonton, menandatangani bola yang kemudian mereka lempar ke tribune. Bahkan seperti Barty dan Svitolina, keduanya juga pergi-pulang stadion-hotel diantar mobil SUV Porche Cayenne nan mewah.
Cuma satu bedanya, Ngounoue dan Brantmeijer tak memperoleh uang hadiah 3,4 juta poundsterling (sekitar Rp 62 miliar) seperti yang diraih Barty. Bahkan sebagai juara ajang yunior, tak sepeser pun hadiah uang diberikan pada keduanya.
Di hari itu, khayal para remaja menjadi petenis profesional dunia bertahun-tahun kemudian, dapat mereka rasakan di dunia nyata. Setidaknya, itulah persepsi orang-orang dewasa terhadap petenis-petenis muda itu.
Jalan panjang
Amat mudah berharap—juga menuntut—masa depan mereka akan bersinar. Mudah bagi banyak orang untuk menyimpulkan, para juara remaja itu adalah logam mulia dari tambang yang sudah pasti akan mengilap di usia dewasa. Namun, jalan masih teramat panjang.
Dua tahun lalu, final Future Stars KU-16 dimenangi petenis Australia Megan Smith dengan mengalahkan Lee Ya-Hsien (Taiwan). Mudah mengangankan, mereka sudah lebih maju kini. Kenyataannya, Smith sudah menghilang dari tenis. Ya-Hsien bertahan di peringkat yunior ITF yang tidak bisa dibilang cemerlang, 473 dunia.
Di KU-14, juara 2017 asal Indonesia Priska Madelyn Nugroho (17) memenuhi angan semua orang. Tahun ini, dia menembus perempat final Wimbledon dan AS Terbuka yunior serta perdelapan final Australia Terbuka yunior. Masih setahun menuju batas akhir kelompok yunior, Priska sudah bercokol di peringkat 27 yunior dunia. Lawan Priska di final, Primada Jattavapornvanit (Thailand) mengalami ”nasib” berbeda. Langkahnya terseok-seok, bercokol di posisi 158 ITF yunior, disalip sejumlah rekan petenis remaja senegara.
Lalu, mengapa asosiasi tenis profesional dunia WTA menyodorkan ”mimpi muluk” kepada gadis-gadis belia itu? Jawabannya tegas dalam panduan kejuaraan. Segala program dalam Future Stars bertujuan untuk menginspirasi remaja putri untuk mau terus berkembang dalam olahraga. Kejuaraan ini dengan segala prosesi megahnya di final bukanlah sebagai janji kepada khalayak, para pemenang adalah bintang-bintang tenis masa depan.
Artinya, Future Stars adalah media untuk menumbuhkan motivasi \'dorongan untuk menjadi terampil\', yang merupakan kunci bagi kemampuan belajar yang efektif. Luas disadari oleh kalangan pendidik dan psikolog, ketika seseorang merasa telah mampu menguasai sebuah keterampilan, kerap muncul rasa puas diri. Dan, rasa puas diri ini dapat membawa kinerja atau performa orang tersebut jadi ”jalan di tempat”. Leveling out, plateau, istilah kerennya.
”Inilah hakikat kejuaraan remaja,” ujar pelatih tenis senior yang wakil Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PP Pelti Deddy Prasetyo. Kejuaraan berjenjang ke tingkat dengan kompetisi yang semakin berat merangsang para remaja untuk terus bersedia berlatih dan mempelajari berbagai hal yang lebih berat dan rumit. ”Jadi hal utama yang dilihat bukan juara atau tidak,” tutur dia.
Lewat kejuaraan berjenjang, para pemenang didorong untuk naik kelas ke ajang yang lebih kompetitif. Katakanlah dari tingkat kota, ke provinsi, nasional, lalu internasional. Namun, mereka yang belum berhasil justru lebih cepat memperoleh ”hadiah”. Yaitu, belajar mengenali kekurangan diri sendiri dan keunggulan lawan, serta sebaliknya.
Ini pula yang diperoleh Jessica dan Kholisa di Shenzhen. Dari pengamatan, pergaulan dan pertandingan, Jessica sadar, sebagian lawan-lawannya yang sesama petenis pilihan di negeri masing-masing punya sejumlah keunggulan. Tubuh mereka lebih ramping tetapi berisi, yang menandakan kedisiplinan dalam pola makan.
”Beberapa tekniknya juga bagus, pukulan mereka early (tidak menunggu bola terlalu lama setelah mencapai puncak pantulan). Mereka lebih cepat, lebih bertenaga. Dan yang istimewa, semua itu konstan dari awal hingga akhir,” ujarnya.
Deddy Tedjamukti, pelatih nasional yang mendampingi Jessica dan Kholisa gembira anak-anak asuhnya mampu mengevaluasi dan belajar banyak dari kejuaraan antarpetenis remaja papan atas di negara masing-masing. Ini adalah bekal berharga bagi si remaja dan pelatihnya saat pulang dan mengisi hari-hari yang penuh dengan latihan.
Hanya saja, proses perkembangan para petenis remaja itu tidak sederhana. Tedjamukti tidak khawatir dengan petenis remaja seperti Jessica atau Kholisa. Kegembiraan dan terbukanya pemahaman akan kemampuan lawan dan diri sendiri adalah sebuah tanda, motivasi dalam diri menebal.
Yang justru dikhawatirkan pelatih seperti Tedjamukti justru lingkungan di sekitar para petenis remaja. Lingkungan sangat gampang meruntuhkan bibit motivasi intrinsik atlet. Orang tua yang tanpa sengaja menuntut si anak untuk cepat bisa, cepat menang, marah jika si anak kalah adalah salah satunya. ”Yang paling dibutuhkan anak adalah dukungan dari orang tua di saat dia kalah,” ujar Tedjamukti.
Peruntuh kedua adalah penonton, masyarakat luas. Tedjamukti berkisah, tidak jarang dia mendapati penonton berteriak mencemooh ketika seorang petenis remaja gagal melayangkan servis berturut-turut dalam sebuah laga.
Hal itu sama sekali tidak membantu si remaja untuk menumbuhkan keyakinan diri: Kesalahan adalah biasa karena yang terpenting adalah bagaimana belajar dari kesalahan, tidak mengulangi, dan memperbaikinya.
Parahnya, dua faktor peruntuh itu juga bisa membuat pelatih si atlet remaja ikut-ikutan menjadi sosok yang merusak. Pelatih yang tertekan oleh tuntutan orang tua yang ingin agar anaknya bisa cepat jago, masyarakat yang menilai dia pelatih yang buruk karena anak didiknya tidak pernah juara, mungkin membuat program latihan yang terlalu berat bagi si atlet. Bisa pula pola komunikasinya berubah dari yang bersahabat menjadi laksana komandan kepada prajuritnya di medan perang.
Kesejahteraan anak
Oleh karena itulah, psikolog olahraga veteran Joe Rumeser tak henti-hentinya berpesan. Olahraga usia dini adalah dan semata-mata untuk kesejahteraan si anak sendiri. Diingatkan, bakat adalah satu hal tetapi motif adalah hal yang berbeda. ”Selalu tanyakan pada si anak (atlet anak dan remaja), apa yang dia inginkan,” kata Joe.
Bisa saja seorang anak punya bakat yang baik di sebuah cabang olahraga. Namun, belum tentu dia menekuni olahraga itu karena bercita-cita menjadi olahragawan profesional. Mungkin saja si anak menekuninya semata karena dia memperoleh kegembiraan di sana: menyadari dirinya istimewa atau memperoleh teman-teman dengan minat serupa. Mungkin pula cabang olahraga itu bukanlah satu-satunya pilihan masa depan baginya.
Jessica sebagai contoh. Dia adalah petenis putri peringkat atas yunior Indonesia. Prestasi nasionalnya tak diragukan lagi. Pelajar kelas 3 SMA Maria Regina dengan mantap menjawab tentang rencana hidupnya usai sekolah menengah. Alih-alih berfokus pada tenis, Jessica menegaskan tak ingin menunda kuliah demi tenis. ”Saya ingin kuliah di fakultas teknik,” katanya tersenyum lebar.
Bagi Jessica, tenis dan sekolah adalah sama-sama dunianya, kini. Dia tak ingin memilih salah satu di antaranya. Waktu yang akan membuat dia memutuskan untuk dirinya sendiri, yang mana yang akhirnya bakal dia pilih.
Mungkin saja Jessica akan bertekun pada tenis prestasi dan menjadikan studi formal sebagai pilihan kedua. Atau mungkin sebaliknya. Apapun yang akan dia pilih, kewajiban kita semua: orangtua, pelatih, masyarakat pencinta olahraga, dan negara untuk terus mendukung, bukan menuntut. Ini yang diistilahkan olah Kepala Laboratorium Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta Oktavianus Matakupan sebagai ”Lingkungan keunggulan”.
Sayang, tampaknya pemerintah sendiri masih selalu mewacanakan olahraga identik dengan prestasi. Kita sering mendengar pejabat berbicara memuji ajang kejuaraan olahraga kelompok umur, program sekolah olahraga, program olahraga pelajar, dan sebagainya adalah untuk menghasilkan olahragawan berpestasi. Agar Indonesia bisa meraih medali di ajang olahraga tertinggi. Ini adalah pernyataan yang memandang olahraga kelompok umur untuk kepentingan ”orang dewasa”—yang bermacam-macam: atas nama kebanggan nasional dan lain-lain. Ini bukanlah pernyataan yang mewakili kepentingan perkembangan si olahragawan remaja itu sendiri.
Maka, di lanjutan kalimat misinya, WTA menambahkan soal tujuan sebuah kejuaraan WTA Future Stars: Ajang ini digelar agar para peserta yang gadis-gadis belia itu belajar pentingnya kerja sama, disiplin, merengkuh gaya hidup sehat, dan membangun karakter yang kuat. Semua itu akan membantu mereka di dalam maupun di luar lapangan tenis.
Bertahun-tahun lalu di tepi kolam renang Gelora Bung Karno, pelatih renang yang mantan perenang nasional Muhammad Akbar Nasution memandangi anak-anak asuhnya yang mengemasi berbagai peralatan mereka usai latihan di suatu pagi. Akbar berkata dengan suara datar, dia melatih mereka bukan untuk menjadi peraih medali.
“Tetapi karena kita tidak ingin menciptakan manusia yang sekedarnya,” tuturnya.
Suatu saat kita mungkin melihat Jessica menjadi petenis nasional yang membanggakan. Atau, Jessica menjadi insinyur yang sukses. Apapun predikatnya nanti, dengan lingkungan keunggulan yang mendukungnya, olahraga ikut membentuk Jessica menjadi manusia yang bukan sekadarnya.