Upaya menjaga imaji keindonesiaan menghadapi tantangan tidak mudah. Maraknya penyebaran disinformasi atau hoaks melalui media sosial bisa menimbulkan fragmentasi sosial di masyarakat sehingga mengancam imaji kebangsaan.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar/Kurnia Yunita Rahayu/Agnes Theodora Wolkh Wagunu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah makin pesatnya penggunaan media sosial, upaya menjaga imaji keindonesiaan sebagaimana dirintis pendiri bangsa menghadapi tantangan yang tidak mudah. Maraknya penyebaran disinformasi atau hoaks melalui media sosial bisa menimbulkan fragmentasi sosial di masyarakat sehingga mengancam imaji kebangsaan.
Namun, tantangan itu bisa diatasi apabila ada kesadaran kolektif pencipta konten media sosial untuk menyebarkan narasi yang bisa menjaga imaji sebagai bangsa yang beragam. Di sisi lain, literasi digital masyarakat harus ditingkatkan.
Kekhawatiran akan dampak negatif hoaks di media sosial tergambar dari jajak pendapat Litbang Kompas 6-7 November 2019 dengan melibatkan 520 responden di 17 kota besar di Indonesia. Sebanyak 60,2 persen responden menilai kabar bohong yang dominan muncul di media sosial berpotensi memicu perpecahan bangsa dan negara. Sementara itu, 19,6 persen responden menilai hoaks bisa memicu keributan antarkelompok masyarakat.
Hal itu membuat media sosial dimanfaatkan pihak tertentu untuk melahirkan ekosistem hoaks.
Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Karim Suryadi, Senin (11/11/2019), mengatakan, sebagaimana bentuk media lainnya, media sosial hanyalah sarana yang memungkinkan narasi dibangun. Namun, apakah narasi itu positif atau negatif bergantung kepada individu yang menciptakan narasi itu.
Terkait potensi medsos dimanfaatkan untuk memperkuat ikatan kebangsaan, katanya, sangat bergantung pada kesadaran kolektif para pencipta konten. ”Medsos sangat bisa sekali berperan membangun imaji keindonesiaan itu, hanya tergantung pada bagaimana konten disajikan, dan pencipta konten itu atau pengguna medsos memiliki kesadaran dan kedewasaan digital,” ucap Karim.
Hanya saja, pada praktiknya medsos menimbulkan efek penyaring dan efek ruang gema. Sebab, pengguna internet hanya terpapar informasi yang sudah dia yakini. ”Hal itu membuat media sosial dimanfaatkan pihak tertentu untuk melahirkan ekosistem hoaks,” kata Ketua Komite Litbang Masyarakat Anti Fitnah Indonesia Santi Indra Astuti.
Peluang media sosial
Kekhawatiran terhadap dampak negatif media sosial terhadap persatuan bangsa berbanding terbalik dengan kondisi di awal abad ke-20. Sebagian pejuang menjadikan media massa sebagai sarana untuk menyebarkan imaji keindonesiaan.
Pegiat sejarah Bonnie Triyana berpendapat, medsos sebenarnya juga berpotensi besar menjadi media untuk melestarikan dan menjaga imaji keindonesiaan. Namun, sebelum itu, literasi masyarakat harus ditingkatkan terlebih dahulu agar publik memahami pesan dan narasi yang disebarkan di media sosial agar tidak mudah terprovokasi.
Sebagai bagian dari generasi milenial, penggerak Kelas Muda Digital Afra Suci Ramadhon menilai imaji keindonesiaan sepatutnya bersumber dari pemahaman terhadap teladan dari para pendiri bangsa dan pahlawan. Keteladanan itu ditunjukkan melalui berpikir kritis serta berdebat ideologis dengan sehat, intelektual, dan berpendirian.
”Kami berupaya melestarikan imajinasi rasa persatuan sebagai bagian bangsa Indonesia dengan berkontribusi melahirkan generasi kritis, mau menjalankan perubahan untuk Indonesia maju, dan menghargai kebinekaan,” tuturnya
Sementara itu, peselancar yang juga travel vlogger Gemala Hanafiah mengatakan, platform media sosial yang memungkinkan komunikasi dua arah membantu pembuat konten dan pengikutnya mengeksplorasi kabar secara lebih dalam. ”Dengan karakter media sosial yang seperti itu, justru akan lebih mudah ’meracuni’ teman-teman untuk bisa membangun kebanggaan terhadap Indonesia,” kata Gemala.
Gemala yang beberapa tahun terakhir membuat konten perjalanan dan kelautan menularkan imaji kebangsaan lewat narasi perjalanan. Menurut dia, kebanggaan tumbuh secara alami ketika melihat langsung dan memahami potensi besar kekayaan alam Indonesia. Rasa memiliki terhadap kekayaan alam itu semestinya menjadi titik tolak kesamaan untuk membangun kembali imaji kebangsaan.