Dukungan Pusat Diharapkan untuk Pemulihan Korban Konflik Aceh
KKR Aceh mengundang pemerintah pusat untuk mendengarkan kesaksian korban saat konflik bersenjata di Aceh pada 1976-2005, pekan depan. Dengan mendengar langsung kesaksian mereka, pusat diharapkan ikut memulihkan korban.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengundang perwakilan pemerintah pusat untuk turut mendengarkan keterangan korban dan saksi ketika konflik bersenjata terjadi di Aceh pada 1976-2005, pekan depan. Dengan mendengar langsung kesaksian mereka, pemerintah pusat diharapkan turut serta memulihkan para korban.
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Afridal Darmi menjelaskan, selama tiga tahun, KKR Aceh telah mengumpulkan 3.040 pernyataan dari para saksi dan korban yang menjadi penyintas dari konflik bersenjata tersebut.
Dari sejumlah pernyataan itu, sebagian korban mengaku mengalami penyiksaan fisik, kekerasan seksual, hingga kehilangan anggota keluarganya.
”Kami masih terus mendalami pernyataan-pernyataan tersebut untuk menyusun rekomendasi akhir yang akan kami sampaikan kepada pemerintah pusat di akhir masa kepengurusan KKR Aceh pada 2021 nanti,” ucapnya saat jumpa pers terkait laporan kinerja KKR Aceh, di Jakarta, Selasa (12/11/2019).
KKR Aceh merupakan lembaga independen yang pembentukannya diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Nota Kesepahaman Helsinki 2005. KKR Aceh memiliki tugas untuk mengungkapkan kebenaran, pola dan motif atas pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik bersenjata di Aceh, merekomendasikan tindak lanjut, merekomendasikan reparasi, serta melaksanakan rekonsiliasi.
Rencananya, kami akan mengadakan RDK dengan para penyintas pada 19-20 November 2019 di Aceh, sekaligus mengundang perwakilan pemerintah pusat.
Afridal menuturkan, selama menjalankan tugasnya, KKR telah meminta informasi dan dokumen-dokumen tentang operasi militer kepada lembaga negara. Selain itu, pihaknya juga meminta pernyataan para saksi dan korban dalam rapat dengar kesaksian (RDK).
”Rencananya, kami akan mengadakan RDK dengan para penyintas pada 19-20 November 2019 di Aceh, sekaligus mengundang perwakilan pemerintah pusat, Pemprov Aceh, para akademisi dan ahli agar mereka juga turut mendengar kesaksian dari para korban,” ucapnya.
Sebelumnya, pada November 2018 dan Juli 2019, KKR Aceh telah melakukan RDK. Dari hasil RDK tersebut, pada tahap pertama, ada 77 korban yang membutuhkan pemulihan yang mendesak, sedangkan pada tahap kedua, ada 177 korban yang juga perlu mendapat pemulihan.
”Kami berharap, pemerintah pusat bisa ikut serta melakukan pemulihan terhadap para korban tersebut sesuai dengan rekomendasi yang kami susun nantinya,” kata Afridal.
Pemulihan dimaksud mulai dari penyembuhan trauma, pencarian orang hilang, pengobatan medis, pemberian biaya pendidikan kepada anak-anak korban, hingga komitmen agar konflik serupa jangan sampai terulang.
KKR Nasional
Direktur Koordinasi Kontras Feri Kusuma mengatakan, KKR Aceh merupakan contoh lembaga yang perlu diperkuat wewenangnya agar bisa turut serta mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Saat ini, KKR Aceh tidak memiliki induk lembaga karena adanya sejumlah regulasi yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
”Sebelumnya, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR, tetapi undang-undang tersebut telah dibatalkan oleh MK pada 2006 sehingga sudah tidak ada lagi lembaga KKR Nasional di Indonesia,” ucapnya.
Koordinator Program Regional Asia Justice and Rights (AJAR) Indria Fernida pun mendorong Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD agar merealisasikan janjinya menyelesaikan kasus HAM masa lalu dengan membentuk KKR Nasional.
”Karena Aceh merupakan daerah istimewa, KKR Aceh pun bisa terbentuk. Seharusnya kinerja lembaga ini nantinya bisa menjadi potret bagi lembaga KKR Nasional dan perlu dukungan dari banyak pihak,” ujarnya.
Sebelumnya, Mahfud MD berkomitmen, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu bisa diselesaikan oleh pemerintah. Salah satu rencananya adalah menghidupkan kembali UU KKR yang pernah dibatalkan oleh MK.
”Dulu sudah pernah ada UU Rekonsiliasi dan Kebenaran. Hal tersebut penting untuk dibuka kembali. Ketika itu dibatalkan oleh MK dan MK memerintahkan supaya dihidupkan, tetapi diperbaiki lagi isinya,” ucapnya.