Ada Kompensasi pada Setiap Penerbitan Peraturan Menteri
Presiden Joko Widodo mewacanakan penerbitan satu peraturan menteri harus dikompensasi dengan pencabutan peraturan menteri dalam jumlah lebih banyak.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mewacanakan penerbitan satu peraturan menteri harus dikompensasi dengan pencabutan peraturan menteri dalam jumlah yang lebih banyak. Semangat yang diusung adalah deregulasi agar pemerintah lebih luwes dan lebih cepat mengeksekusi program pembangunan pada saat perubahan berlangsung semakin deras.
”Menteri kalau mau nerbitin satu permen (peraturan menteri) harus cabut (misalnya) 40 permen. Karena permen kita di sini terlalu banyak. Banyak sekali. Jadi, tolong nanti mulai dikaji lagi, keluar satu permen (harus) potong beberapa permen,” kata Presiden Joko Widodo pada pidato pengantar rapat terbatas tentang Program Cipta Lapangan Kerja di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/11/2019).
Rujukan atas wacana ini adalah kebijakan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Sekretaris Negara Bidang Perdagangan AS Wilbur Louis Ross dalam pertemuannya dengan Presiden di Istana Merdeka, pekan lalu, antara lain bercerita tentang kebijakan tersebut.
”Di sana (AS), kalau ada menteri ingin mengeluarkan satu permen, dia harus cabut dua permen. Di sini juga mestinya bisa kita lakukan itu,” kata Presiden.
Hadir dalam rapat tersebut sekitar 30 menteri Kabinet Indonesia Maju. Hadir pula Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto.
Wacana deregulasi tersebut disampaikan dalam orientasi penciptaan lapangan kerja. Sebagaimana disampaikan Presiden dalam sejumlah rapat dengan para menteri, penciptaan lapangan kerja harus menjadi hilir dari semua kerja kementerian dan lembaga negara.
Berdasarkan data BPS, per Agustus 2019, jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 133,56 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 126,51 juta orang bekerja, sedangkan 7,05 juta orang menganggur.
Menjawab pertanyaan wartawan seusai rapat, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, rapat menyepakati judul omnibus law adalah Cipta Lapangan Kerja. Revisi satu paket terhadap sejumlah undang-undang lama ini akan membahas ekosistem penyederhanaan perizinan dan investasi, termasuk di dalamnya kemudahan berusaha sekaligus dorongan untuk riset dan inovasi.
Omnibus law, menurut Airlangga, sekaligus dirancang agar presiden memiliki kewenangan untuk membatalkan atau mengubah peraturan menteri, peraturan daerah, dan peraturan lain di bawahnya melalui peraturan presiden.
Rezim omnibus law tentang cipta lapangan kerja, kata Airlangga, basisnya adalah perdata, bukan pidana. Oleh karena itu, pengenaan sanksinya akan terus didorong dari sisi perdata.
”Dalam omnibus law juga diberikan kemudahan-kemudahan pengadaan lahan, terutama untuk proyek strategis nasional atau program pemerintah di mana untuk proyek strategis tersebut pemerintah akan ikut serta dalam pembebasan lahan sekaligus menyediakan perizinannya sehingga investor tinggal mengembangkan proyek,” kata Airlangga.
Dari filosofi perizinan, tambah Airlangga, pemerintah akan mendorong pergeseran filosofi dari basis izin menjadi basis risiko. Jadi, usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki risiko, rezimnya cukup pendaftaran saja. Tidak perlu izin macam-macam. Sementara untuk usaha dengan risiko tinggi berbasis sejumlah standar.
Identifikasi penghambat
Presiden dalam pengantarnya lagi-lagi meminta semua kementerian untuk mengidentifikasi regulasi yang menghambat di wilayahnya. Jika bisa segera dipangkas di tingkat menteri, agar secepatnya dipangkas. Jika tidak, segera dihimpun untuk direvisi dalam satu paket revisi dengan satu undang-undang.
Presiden juga mengingatkan semua kementerian dan lembaga negara untuk mereformasi diri. Ini setidaknya mencakup budaya, orientasi, dan cara kerja birokrasi. Budaya dilayani harus diubah menjadi melayani. Orientasi proses harus diubah menjadi orientasi hasil. Cara kerja manual harus diganti menjadi digital.
Hal ini, menurut Presiden, penting. Sebab, sebaik apa pun peraturan, jika birokrasi tidak melakukan reformasi, akan sia-sia saja. Salah satu langkah awalnya adalah pemangkasan eselon IV. Hal ini tengah disiapkan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Secara paralel, Presiden meminta Menteri Dalam Negeri untuk menata kembali tata hubungan pemerintah pusat dan daerah. Targetnya, orientasi penciptaan lapangan kerja yang digalakkan pemerintah pusat juga dipahami dan dilakukan pemerintah daerah.
”Para gubernur, bupati, wali kota, DPRD, semua harus paham dan harus satu baris tentang urgensinya cipta lapangan kerja. Oleh sebab itu, reformasi di tingkat pusat harus bergulir ke provinsi, kabupaten dan kota, baik dari sisi regulasi maupun kewenangan daerah, dan sistem pelayanan birokrasi di daerah,” kata Presiden.
Reformasi besar-besaran dalam sumber daya manusia (SDM) menjadi instruksi terakhir Presiden dalam pengantarnya pada rapat tersebut. Pembangunan kualitas SDM diyakini menjadi kunci lompatan bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju.
Untuk itu, pembenahan pendidikan vokasi harus tereksekusi di lapangan. Demikian pula dengan kartu prakerja dan sistem manajemennya harus disiapkan semuanya. ”Sehingga pada saat Januari dikeluarkan, kartu prakerja betul-betul sistem yang terintegrasi dan berbasis digital. Mudah dikontrol dan mudah dimonitor,” kata Presiden.
Presiden meminta pelatihan vokasi tidak hanya dilakukan oleh balai latihan kerja milik pemerintah, tetapi juga juga harus melibatkan swasta dan BUMN, serta lembaga kursus lainnya.