Tokoh pers pada awal abad ke-20 turut berkontribusi membangun imaji tentang Indonesia lewat narasi yang mereka sampaikan di surat kabar. Semangat yang sama kini dibutuhkan untuk menjaga Indonesia sebagai bangsa beragam.
Oleh
NIA / RINI KUSTIASIH / FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
Tokoh pers pada awal abad ke-20 turut berkontribusi membangun imaji tentang Indonesia lewat narasi yang mereka sampaikan di surat kabar. Semangat yang sama kini dibutuhkan untuk menjaga Indonesia sebagai bangsa yang beragam.
JAKARTA, KOMPAS Kesediaan untuk membangun imajinasi atas satu bangsa yang sama dari kelompok yang sangat beragam menjadi salah satu nilai dari pahlawan di era pra-kemerdekaan. Nilai itu tetap relevan diterapkan oleh generasi saat ini untuk menjaga imaji atas Indonesia sebagai bangsa yang beragam.
Sebagian dari mereka, yang membangun imaji soal apa itu bangsa Indonesia, dahulu berkiprah sebagai penulis dan pendiri media massa. Beberapa dari mereka sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, antara lain Ruhana Kudus yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada Jumat (8/11/2019). Ia pejuang emansipasi perempuan, sekaligus Pemimpin Redaksi Soenting Melajoe, surat kabar perempuan yang terbit di Padang, Sumatera Barat, pada awal abad ke-20.
Sosok lain ialah Danudirja Setiabudi atau Ernest Douwes Dekker yang melalui tulisannya mendorong adanya pemerintahan sendiri di Hindia Belanda. Sementara itu, pendiri surat kabar Medan Prijaji, yaitu Tirto Adhi Soerjo, yang juga telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, memunculkan dikotomi ”bangsa terperintah” dan ”memerintah” sebagai imajinasi batasan identitas di era itu.
Lie Kim Hok saat itu mungkin tidak berpikir soal keindonesiaan, tetapi ia berpikir tentang bagaimana hidup bersama.
Selain mereka, ada beberapa tokoh pers dan penulis lain yang belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, tetapi juga punya kiprah besar. Sosok itu misalnya Abdoel Rivai yang membangun majalah Bintang Melayu pada awal tahun 1900-an serta kerap menyerukan pentingnya pendidikan bagi penduduk Hindia Belanda. Adapun Lie Kim Hok adalah wartawan yang menjadi penulis peranakan Tionghoa pertama yang menggunakan bahasa Melayu Pasar. Ia juga menyusun Kitab Eja ABC yang menjelaskan tata cara penggunaan bahasa Melayu Pasar.
Di era pengotakan identitas oleh pemerintah kolonial, para tokoh yang berbeda ras, budaya, dan daerah itu melepaskan diri dari kotak identitasnya untuk membangun imaji yang lebih luas sebagai satu bangsa.
”Lie Kim Hok saat itu mungkin tidak berpikir soal keindonesiaan, tetapi ia berpikir tentang bagaimana hidup bersama. Dari kesadaran itu ada abstraksi di pikirannya untuk berkomunikasi dengan bahasa yang serumpun atau dipahami banyak orang di lingkungannya,” kata pengajar linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Fariz Alniezar, dihubungi dari Jakarta, Minggu (10/11).
Menurut Heri Priyatmoko, pengajar sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, sosok-sosok yang berbeda identitas itu diikat oleh kepentingan yang sama, yakni rasa nasionalisme yang sama. ”Mereka tidak memedulikan perbedaan di antara mereka, tetapi lebih mengutamakan rasa kebersamaan dan tujuan bersama,” katanya.
Membangun imaji keindonesiaan yang beragam, menurut Heri, adalah nilai-nilai yang diwariskan pahlawan. Karena itu, menjaga imaji keindonesiaan yang inklusif menjadi salah satu nilai yang perlu dipertahankan generasi saat ini.
Benedict Anderson dalam Imagined Community (1983) menuturkan, diskursus mengenai ”komunitas terbayang” dibangun melalui narasi di media cetak. Orang yang tidak saling mengenal satu sama lain, bahkan terpisah ribuan kilometer, bisa memiliki satu perasaan sebagai komunitas yang sama; untuk kemudian menyebut dirinya satu bangsa.
Kekuatan pers
Menurut Direktur Prisma Resource Center Daniel Dhakidae, pers pada awal abad ke-20 berperan penting dalam membangun kesadaran berbangsa. ”Tidak pernah pers di Indonesia sehebat awal abad ke-20. Pers saat itu sebagai alat menyebarkan semangat anti-penjajahan,” katanya.
Tokoh-tokoh pers pada saat itu muncul sebagai reaksi dari pembangunan di era kolonialisme yang cenderung otoriter. ”Mereka menyebarkan kesadaran bahwa kita sedang dijajah dan yang datang tidak berhak atas tanah kita. Perlawanan layak dilakukan,” ujar Daniel.
Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang, Dewi Yuliati mengingatkan, berkaca pada para tokoh pers masa lalu, pers masa kini hendaknya terus menyuarakan kebenaran dan keunggulan bangsa. Pers juga mesti terus mengokohkan identitas, integritas, dan integrasi yang bermuara pada penguatan nasionalisme bangsa.