Infeksi kulit dan saluran pernapasan merebak di desa-desa yang dialiri limbah tambang minyak ilegal. Sampel air di sejumlah lokasi tambang menunjukkan indikator ancaman jauh di atas ambang batas toleransi.
Oleh
Irma Tambunan
·3 menit baca
Infeksi kulit dan saluran pernapasan merebak di desa-desa yang dialiri limbah tambang minyak ilegal. Sampel air di sejumlah lokasi tambang menunjukkan indikator ancaman jauh di atas ambang batas toleransi.
JAMBI, KOMPAS - Dampak paparan limbah penambangan dan pengolahan minyak ilegal di Kabupaten Batanghari, Jambi, terus meluas. Penyakit infeksi kulit dan infeksi saluran pernapasan akut merebak di desa-desa yang dialiri limbah tambang melalui anak sungai.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari Elfi Yennie mengatakan, masyarakat desa-desa sekitar mulai terdampak. Infeksi kulit dan infeksi saluran pernapasan akut awalnya merebak di Desa Pompa Air, pusat aktivitas tambang minyak liar. Belakangan, dampaknya merambah ke Desa Bungku dan Desa Mekarsari yang jadi perluasan tambang ilegal.
Tidak hanya itu, kasus juga merebak di lokasi penyulingan hasil minyak yang marak di Desa Batin dan Desa Petajen. ”Desa-desa ini menjadi jalur transportasi dan tempat pengolahan minyak (ilegal),” katanya, Sabtu (10/11/2019).
Laporan yang masuk di Puskesmas Pembantu Desa Pompa Air, kasus penyakit merebak sejak 2017. ISPA, misalnya, pada 2017 masih 215 kasus, yang naik tiga kali lipat menjadi 635 kasus pada 2018. Januari-Oktober 2019, terdata 507 kasus. Untuk penyakit infeksi kulit atau dermatitis contact terdata 110 kasus (2017) lalu naik jadi 177 kasus (2018). Januari-Oktober 2019, terdata 133 kasus.
Desa-desa ini menjadi jalur transportasi dan tempat pengolahan minyak (ilegal).
Untuk Puskesmas Penerokan yang melayani pasien di wilayah Pompa Air, Bungku, dan desa-desa sekitar lokasi tambang dan pengolahan, penderita ISPA sepanjang Januari-Oktober 2019 mencapai 2.159 orang, sedangkan penderita dermatitis contact terdata 426 orang. Sejuh ini, tak satu pun usaha pemasakan minyak hasil tambang itu berizin. Lokasinya menyebar di permukiman penduduk dan kebun karet warga.
Maraknya penyulingan minyak juga dikeluhkan warga setempat. Warga Desa Batin, Supardi, mengatakan, produksi getah karetnya berkurang. Daun tanaman juga mengering sejak usaha pemasakan minyak beroperasi di dekat kebun karetnya. ”Yang kami khawatirkan lama-kelamaan tanaman kami bakal mati,” ujarnya.
Seperti diberitakan, tambang minyak ilegal masif tiga tahun terakhir. Lokasinya menyebar di Desa Pompa Air dan Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari. Bahkan, aktivitas itu mengokupasi wilayah kerja pertambangan (WKP) PT Pertamina (Persero) dalam kawasan taman hutan raya Sultan Thaha Syaifuddin alias Tahura Senami. Produksi minyak dalam WKP dikerjakan PT Prakarsa Betung Meruo Senami (PBMS).
Enam bulan terakhir, area tambang liar dalam tahura terus meluas. Awal tahun ini, berkisar 50-100 hektar, tetapi sekarang sudah 250-an hektar. Menurut Juru Bicara PT PBMS Sugeng Abadi, aktivitas tambang belakangan meluas hingga wilayah Muara Bulian, ibu kota Batanghari, serta perbatasan Kabupaten Sarolangun dan merambat ke perbatasan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi atas sampel air di lokasi tambang minyak ilegal di Desa Pompa Air dan Desa Bungku di Bajubang, April lalu, menunjukkan indikator kerusakan lingkungan. Sampel diambil di Danau Merah, Sungai Berangan Hulu, Sungai Berangan Hilir, dan air sumur warga.
Di Danau Merah, tingkat kekeruhan dan kepekatan melampaui ambang batas toleransi. Kadar minyak dan lemak bahkan 10.824 mg/l, melebihi ambang batas 1 mg/l. Kadar hidrogen sulfida 0,800 mg/l atau jauh melampaui ambang batas 0,02 mg/l. Berlebihnya kadar gas beracun itu mengancam kesehatan manusia dan memicu kebakaran.