Lebih kurang 70 persen dari 61 bahasa daerah di Maluku mengalami kemunduran, terancam punah, dan ada yang dinyatakan punah.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·2 menit baca
KOMPAS/Dokumen Forum Bahasa Media Massa Maluku
Pose bersama seusai diskusi awak media yang tergabung dalam Forum Bahasa Media Massa Maluku dengan pihak Kantor Bahasa Maluku pada Sabtu (9/11/2019) petang.
AMBON, KOMPAS - Lebih kurang 70 persen dari 61 bahasa daerah di Maluku mengalami kemunduran, terancam punah, dan ada yang dinyatakan punah. Kondisi itu dapat mengoyak tatanan budaya lokal karena bahasa merupakan rahim kebudayaan. Bukan sebatas alat komunikasi.
Menurut Kepala Kantor Bahasa Maluku Asrif, masyarakat di ibu kota kabupaten sudah meninggalkan bahasa daerah, beralih ke bahasa Melayu Ambon yang bukan bahasa daerah di Maluku. ”Kondisi itu mulai merambat ke desa-desa terdekat,” kata Asrif dalam diskusi dengan kalangan media dalam Forum Bahasa Media Massa Maluku di Kantor Bahasa Maluku, Sabtu (9/11/2019).
Di banyak desa yang jauh dari kota, jumlah penutur bahasa daerah juga berkurang. Ada orangtua tidak mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Hal itu diperparah aturan di SD yang mewajibkan semua siswa berbahasa Indonesia. Siswa yang tidak lancar berbahasa Indonesia akan diolok-olok. Bahkan, diberi hukuman.
Lakukan sekarang atau bahasa daerah Anda akan tinggal nama.
”Bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar bagi siswa SD kelas I sampai III bisa dengan bahasa daerah. Itu, kan, tidak masalah,” kata Asrif. Tanpa itu, peluang mengenalkan bahasa daerah akan hilang.
Menurut Hunanantu Matoke, pelestari bahasa Nuaulu, hidup mati bahasa lokal di tangan masyarakat lokal. Tidak bisa berharap banyak pada pemerintah atau perguruan tinggi. ”Tinggal generasi sendiri yang menyelamatkan. Lakukan sekarang atau bahasa daerah Anda akan tinggal nama,” ujarnya.
Tatanan budaya goyah
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Kepala Kantor Bahasa Maluku Asrif
Dari sisi kebudayaan, kata Asrif, bahasa tidak sebatas alat komunikasi. Memudarnya bahasa daerah juga mengoyak budaya lokal karena bahasa merupakan rahim sebuah budaya.
Di banyak daerah, tatanan budaya juga mulai goyah seiring berkurangnya penuturan bahasa daerah. Nilai dari upacara adat bergeser dari ritual ke seremoni. Bahasa daerah tak lagi diucapkan, tetapi dihafal atau dibaca tanpa tahu maksudnya.
Sayangnya, pemerintah daerah dan perguruan tinggi dianggap tidak terlalu peduli pada pelestarian bahasa daerah. Beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku M Saleh Thio saat ditanya soal pelestarian bahasa daerah mengatakan, akan didorong jadi mata pelajaran di sekolah-sekolah lewat payung hukum.
Hingga kini, tidak ada peraturan daerah melindungi bahasa daerah. Di sekolah pun tak ada pelajaran bahasa daerah atau muatan lokal.