Sukacita Denica Flesch

Denica Flesch
Tidak ada bekal lain yang dibawa Denica Riadini-Flesch selain tekad bulat saat merintis Sukkhacitta. Dia menelusuri desa demi desa, menjelajahi berbagai kemungkinan, agar selembar busana memiliki makna.
Tanpa memiliki latar belakang di bidang mode dan bisnis, Denica mendirikan Sukkhacitta, kewirausahaan sosial yang bergerak di ranah mode berkelanjutan atau sustainable fashion tahun 2016.
”Gila juga kalau dipikir, he-he-he. Saya bukan pencinta mode. Mungkin saya orang yang paling enggak fashionable di dunia. Tetapi, memang saya ingin melakukan sesuatu yang bermakna dan bisa dilihat dampaknya seperti apa,” katanya.
Siang itu, Selasa (5/11/2019), Denica menemui kami di kantornya di kawasan Alam Sutera, Tangerang Selatan. Dia mengenakan salah satu koleksi terbaru Sukkhacitta berupa jumpsuit tanpa lengan yang belum diluncurkan dan tengah dijajaki pemakaiannya.
Dia sengaja memakai baju tersebut selama dua bulan. Bagi dia, baju tersebut harus bisa dipakai untuk segala suasana, dari naik ojek sampai naik pesawat, dari santai di rumah hingga rapat dan pesta. Dengan cara itu, dia ingin membuat para pelanggannya tetap merasa cantik, tetapi busananya serbaguna tanpa dikotak-kotakkan pemakaiannya.
”Saya juga enggak bisa mengompromikan kenyamanan demi kecantikan. Saya enggak bisa pakai baju yang terlihat cantik, tetapi enggak nyaman. Jadilah celana yang tampak depan rapi, tetapi di belakangnya pakai karet,” ujar Denica.
Lewat baju-baju yang demikianlah Denica ingin bercerita bahwa di balik baju itu ada orang-orang yang membuatnya. Cerita itu mulai dirajut tiga tahun lalu setelah dia melepaskan pekerjaannya sebagai konsultan pembangunan untuk Bank Dunia.
Sebagai konsultan, Denica sering mengadakan riset dari desa ke desa. Langkah itulah yang ditelusurinya lagi. Dia membuat riset sendiri dengan mengunjungi 60 desa di sejumlah daerah di Indonesia dan menemukan problem menarik dan nyata bahwa para perempuan di perdesaan memiliki pilihan terbatas dalam hal pekerjaan. Dia juga menemukan potensi besar dalam batik dan tenun karena sudah ada pasarnya.
Namun, begitu banyak lapisan yang harus dilalui produk batik dan tenun untuk sampai ke pemakai. ”Ada pabrik, makelar. Rantainya panjang sehingga ibu-ibu pembuatnya di desa tidak banyak menikmati keuntungan dari pekerjaannya. Mereka tidak punya posisi tawar. Sementara konsumen tahunya mereka mendukung ibu- ibu di desa itu,” paparnya.
Batik yang menggunakan pewarna sintetis juga tidak ramah lingkungan dan kesehatan. Uapnya terhirup paru-paru, sementara limbahnya dibuang begitu saja. ”Jadi, ya kaget saja. Wow, ternyata sesuatu yang di kota kita anggap mendukung industri lokal, di sisi lain rantai pemasok begini kondisinya. Di situ saya merasa perlunya membuat jembatan dari kota langsung ke ibu-ibu di desa,” imbuh Denica.
Setelah memilih enam desa, Denica fokus untuk memberikan pelatihan kepada ibu-ibu agar kerajinan batik dan tenun mereka menjadi lebih baik. Pewarnaan dialihkan menggunakan pewarna alam.
Dari tiga ibu di Desa Jelamprang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kini sudah ada 100 ibu perajin di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Flores (Nusa Tenggara Timur).

Denica Flesch
”Superslow”
Dengan program Jawara Desa, dilatihlah ibu-ibu yang nantinya bisa menularkan keterampilananya kepada ibu-ibu yang lain. Tidak hanya membatik atau menenun, mereka juga dilatih tentang pengetahuan bisnis, kontrol kualitas, dan penentuan harga selama satu tahun sampai siap menjual produk.
”Satu demi satu didatangi, dilatih, makanya lama. Kami ini superslow fashion, ha-ha- ha,” ucapnya.
Denica tidak hanya ingin cuma bicara. Itulah sebabnya, dia rela belajar membatik dan menggunakan pewarna alam di Bali. Dia juga belajar sendiri mendesain motif dan model busananya.
Dampaknya yang paling terasa adalah peningkatan pendapatan ibu-ibu itu rata-rata 40 persen. Namun, yang paling penting dan tidak ternilai adalah perubahan pola pikir mereka bahwa ternyata mereka bisa melakukan sesuatu dan mencari solusi untuk masalah mereka. Denica mencontohkan, ibu-ibu di Jelamprang sudah bisa bertukar pikiran untuk meningkatkan pendidikan anak-anak mereka.
Sukkhacitta merupakan kewirausahaan sosial. Pendanaan datang dari bisnisnya sendiri, tidak perlu cari-cari dana seperti yayasan. Dengan demikian, perusahaan bisa menjalankannya secara berkelanjutan. Dana pelatihan disubsidi silang oleh bisnis yang sudah jalan. Jadi, ketika bisnis tidak berkembang, proyek- proyek di desa-desa tidak bisa dilakukan.
Denica menamainya Sukkhacitta, dari bahasa Sansekerta yang artinya sukacita. ”Awalnya saya kira saya ingin kerja di luar (negeri), tetapi ternyata saya temukan sukacita saya saat kembali ke desa-desa. Logo kami juga melambangkan keterhubungan dengan mereka yang seakan-akan tidak kelihatan,” ujarnya.
Dia pernah mengalami tumor tulang yang turut membuatnya berpikir lebih dalam tentang kehidupan. Lewat Sukkhacitta, dia ingin mengingatkan orang apa yang benar-benar berarti dalam hidup agar tidak berakhir seperti hamster yang berputar dalam lingkarannya.
Itulah sebabnya, Denica ini ingin berbuat sesuatu yang bermakna. Dengan terkekeh, dia bercerita bahwa orangtuanya baru tahu apa yang sebenarnya dia lakukan selama tiga tahun ini setelah membaca laporan di surat kabar tentang penghargaan Forbes Under 30, April lalu.
”Keluarga saya sangat tradisional (konvensional): kerja bisnis yang jelas untuk cari uang, beli rumah, beli mobil. Life map jelas: menikah, punya anak. Saya enggak bisa begitu. Mereka tahu saya pergi ke desa-desa, tetapi buat apa sih, pikir mereka, ha-ha-ha,” tuturnya.

Denica Flesch
Nilai 12
Hari-hari Denica sepenuhnya tercurah untuk Sukkhacitta. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, semua untuk Sukkhacitta. ”Saya vegetarian, jadi jarang sakit,” ujar Denica.
Dia tengah memulai konstruksi Rumah Sukkhacitta yang akan menjadi sekolah kerajinan pertama di Indonesia. Tahun depan ada empat rumah yang akan selesai, yakni di Flores untuk tenun ikat, Gesikharjo untuk batik pewarna alam, Jelamprang untuk batik indigo, dan Desa Medono di dekat Pekalongan untuk tenun tangan.
Sekolah itu akan memberikan beasiswa bagi Jawara Desa untuk sekolah selama enam bulan. Mereka akan kembali ke desanya, memulai usaha sendiri lewat kredit mikro dari Sukkhacitta. Harapannya dalam lima tahun ke depan ada 1.000 perajin yang terlibat.
Denica juga sedang bersemangat mempersiapkan kerja sama dengan Yo Yo Ma, pemain cello asal New York, Amerika Serikat, dalam sebuah proyek untuk meningkatkan perhatian dalam isu lingkungan. Sebagai bagian dari proyek tersebut, ibu-ibu binaan Sukkhacitta akan tampil dalam pameran bertajuk ”Tangan” di Museum Bank Indonesia.
Sukkhacitta juga bekerja sama dengan penyanyi Monita Tahalea yang membuat lagu berjudul ”Sesaat yang Abadi”, terinspirasi dari karya yang dilakukan Sukkhacitta.
”Yang kami tidak mau adalah menjual kesedihan. ’Ini dibuat ibu-ibu di desa, tolong dibeli.’ Tidak. Itu tidak berkelanjutan. Yang saya percaya, kalau kita ingin berkesinambungan, produk kita harus berdiri sendiri dari segi kualitas. Orang beli produknya, tahu ceritanya, mereka langsung jadi sangat loyal. Barang yang mereka beli jadi sangat berarti bagi mereka,” katanya.
Ketika diminta menilai dari skala 1-10, seberapa besar dampak yang sudah dia berikan lewat Sukkhacitta, ”Dua belas, ha-ha-ha. Enggak kebayang waktu baru mulai. Benar-benar dari 0. Sampai di sini sudah kayak 12. Kami harus terus berjalan karena kami bekerja untuk sesuatu yang lebih besar. Ini bukan sekadar pekerjaan,” tutur Denica, menutup perbincangan.
DenicaRiadini-Flesch
Lahir: Jakarta, 12 April 1990
Pendidikan: BSc Economics dari Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda
Pekerjaan: Pendiri dan CEO Sukkhacitta
Penghargaan:
- Forbes 30 Under 30: Social Enterpreneurs (Asia) 2019
- DBS Social Enterprise Award Grantee 2018
- Prestige 40 Under 40 2019