Nilai Baik Sertifikat PHPL Belum Gambarkan Kondisi Lapangan
Pengelola konsesi kehutanan yang memperoleh penilaian baik pada sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari belum menggambarkan kondisi lapangan. Perusahaan tetap mendapatkan nilai baik meski ada masalah di lahannya.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan menunjukkan pengelola konsesi kehutanan yang memperoleh penilaian baik pada sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari belum menggambarkan kondisi lapangan. Perusahaan tetap mendapatkan nilai baik meski terjadi konflik sosial, kebakaran hutan, dan tumpang tindih lahan yang berujung pada deforestasi.
Hasil studi kasus pada perusahaan konsesi hutan alam atau penebangan pohon di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur ini menunjukkan bahwa sistem penilaian pada Sertifikasi PHPL maupun SVLK secara umum perlu lebih diperkuat.
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) merekomendasikan agar Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkuat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, khususnya pada aspek keberlanjutan. Penilaian oleh lembaga sertifikasi pun agar tak hanya sebatas aspek administrasi, tetapi memeriksa langsung kondisi lapangan pada lembaga yang disertifikasi/diverifikasi.
Laporan JPIK berjudul ”PHPL: Dari Legalitas Menuju Keberlanjutan” menunjukkan celah kelemahan dan tantangan pada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang telah bersertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Aspek keberlanjutan bisnis kayu ini terancam oleh aktivitas pertambangan batubara, pembukaan perkebunan kelapa sawit, dan kebakaran hutan.
Aspek keberlanjutan bisnis kayu ini terancam oleh aktivitas pertambangan batubara, pembukaan perkebunan kelapa sawit, dan kebakaran hutan.
Satu dari empat penulis laporan tersebut, Muhamad Kosar, Jumat (8/11/2019), di Jakarta, mengatakan, kajian lapangan pada perusahaan pemegang IUPHHK-HA bersertifikat PHPL di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dilakukan pada 2019. Kajian ini disandingkan dengan sejumlah data sekunder seperti konflik sosial, peta perizinan lain, dan sejumlah informasi lain pada 2014-2017.
”Ketika lembaga sertifikasi melakukan uji sampling atau uji petik, tidak dilakukan secara tepat pada seluruh konsesi atau RKT (rencana kerja tahunan) berjalan. Hasilnya jadi jomplang karena tidak merefleksikan situasi dan kondisi di konsesi,” kata Kosar.
Aspek legalitas
Lebih lanjut, ia menunjukkan kelemahan penilaian tersebut ada pada langkah standar lembaga sertifikasi yang hanya melihat pada ketersediaan dokumen. Dengan kata lain, lembaga sertifikasi relatif hanya mengecek syarat-syarat administratif.
Kelemahan penilaian tersebut ada pada langkah standar lembaga sertifikasi yang hanya melihat pada ketersediaan dokumen.
Ia mencontohkan pada perusahaan yang beroperasi di daerah rawan terjadi konflik sosial, khususnya pada komunitas masyarakat tradisional dan masyarakat adat. Perusahaan tersebut cukup memiliki dokumen standar operasi prosedur (SOP) sebagai panduan perusahaan untuk mendapatkan nilai sedang. ”Jadi punya dokumen SOP itu saja sudah dinilai sedang tanpa perlu menjalankannya,” ujarnya.
Dengan standar sistem penilaian sekarang yang masih menomorsekiankan aspek sosial, ia tak heran hal itu terjadi. Padahal, aspek sosial pun memegang peranan penting selain aspek ekologi, prasyarakat, dan produksi untuk memastikan kegiatan perusahaan tersebut terjamin keberlanjutannya.
”JPIK selalu terlibat dalam revisi dan selalu menyampaikan dan meminta aspek sosial di standar diperkuat. Kami minta aspek sosial ini menjadi penentu dari lulus dan tidaknya suatu penilaian,” ujarnya.
Kosar mengatakan, JPIK mendorong agar Uni Eropa yang selama ini mengakui kesetaraan dokumen V-Legal Indonesia sebagai FLEGT, untuk tak hanya mempersyaratkan aspek legalitas saja. Ia meminta Uni Eropa untuk menagih kayu dan produknya yang berasal dari pengelolaan lestari dan berkelanjutan.
Dalam laporan tersebut, JPIK pun menyoroti persoalan tumpang tindih pengelolaan hutan dan lahan di Kalteng dan Kaltim yang menjadi ancaman serius untuk operasionalisasi konsesi IUPHHK-HA karena hilangnya hutan alam dan munculnya konflik sosial. Dari total 7,2 juta hektar konsesi IUPHHK-HA di kedua provinsi ini, sekitar 2,6 juta hektar atau 30 persen tumpang tindih dengan pertambangan, kelapa sawit, dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
PIK pun menyoroti persoalan tumpang tindih pengelolaan hutan dan lahan di Kalteng dan Kaltim yang menjadi ancaman serius untuk operasionalisasi konsesi IUPHHK-HA.
Deforestasi terjadi karena kegiatan-kegiatan tersebut bukan bagian dari praktik pengelolaan hutan. Namun, JPIK juga menemukan angka deforestasi yang terjadi di dalam konsesi IUPHHK-HA pada lokasi yang tidak tumpang tindih dengan konsesi lainnya mencapai 101.503 hektar.
Selain itu, kebakaran hutan juga menjadi salah satu penyebab hilangnya tutupan hutan alam. Hasil analisis titik panas dari 2014 hingga 2017 di kedua terdapat 1.572 titik panas berada pada area konsesi IUPHHK-HA pemilik Sertifikat PHPL. Sebagian besar kebakaran tersebut terjadi pada 2015 saat fenomena El Nino yang ekstrem.
Analisis citra satelit juga menunjukan kebakaran pada 2019 ini terjadi di lima konsesi IUPHHK-HA di Kalteng dan dua konsesi di Kaltim. Selain itu, hasil pemantauan JPIK pada periode 2014-2017 menemukan panataan tata batas konsesi belum juga terselesaikan.
”Masih terjadi konflik pengakuan tata batas dan ada penyelesaian secara tuntas,” ujar Muhamad Ichwan, Juru Kampanye JPIK.
Belum ada respons dari KLHK yang memberikan respons terkait laporan ini. Namun, dalam berbagai forum terkait SVLK, KLHK menyatakan SVLK merupakan sistem yang terbuka akan masukan untuk diperkuat.