Investasi Kunci Pengembangan Industri Berorientasi Ekspor
Perbaikan iklim usaha manufaktur dimulai dari penguatan industri hulu. Produksi bahan baku industri hilir dari dalam negeri sebagai subtitusi impor dalam jangka panjang dapat menekan impor sekaligus meningkatkan ekspor.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam mencapai target ekspor lima tahun ke depan, pengembangan industri dan manufaktur menjadi langkah strategis. Langkah ini membutuhkan investasi yang salah satunya dapat berasal dari perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, mengatakan, pertumbuhan industri manufaktur tergolong belum cepat untuk mampu mendorong ekspor. ”Dalam hal ini, perlu perbaikan iklim industri di dalam negeri, utamanya yang berorientasi ekspor,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (10/11/2019).
Laju pertumbuhan industri Indonesia masih di bawah pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2019 sebesar 5,02 persen secara tahunan (year on year), sedangkan pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan III-2019 mencapai 4,15 persen secara tahunan.
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-September 2019 mengalami defisit sebesar 1,95 miliar dollar AS (Rp 27,3 triliun). Angka ini terbentuk dari nilai impor sebesar 126,1 miliar dollar AS (Rp 1.765,4 triliun) dan nilai ekspor yang mencapai 124,17 miliar dollar AS (Rp 1.738,38 triliun).
Di sisi lain, pada awal Oktober 2019, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memangkas proyeksi pertumbuhan volume perdagangan dunia dari perkiraan pada April 2019. Pertumbuhan volume perdagangan sepanjang 2019 yang semula diproyeksikan 2,6 persen direvisi menjadi 1,2 persen, sedangkan pertumbuhan volume perdagangan dunia sepanjang 2020 dipangkas dari 3 persen menjadi 2,7 persen.
Di tengah kondisi pertumbuhan industri domestik yang cenderung lambat, perlambatan pertumbuhan volume perdagangan dunia, dan defisit neraca perdagangan nasional, Kementerian Perdagangan menargetkan, ekspor barang dan jasa ditargetkan tumbuh 4,5-8,63 persen dalam 5 tahun ke depan. Secara khusus, ekspor nonmigas ditargetkan tumbuh 6,88-12,23 persen.
Oleh sebab itu, Andry menyatakan, perbaikan iklim usaha manufaktur dimulai dari penguatan industri hulu. Produksi bahan baku industri hilir dari dalam negeri sebagai subtitusi impor dalam jangka panjang dapat menekan impor sekaligus meningkatkan ekspor.
Sebagai salah satu cara untuk meningkatkan ekspor Indonesia ialah memperluas pasar melalui perjanjian perdagangan internasional dengan sejumlah mitra. Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menyatakan, ada 11 perundingan perjanjian perdagangan yang akan diselesaikan sepanjang 2020. Dari 11 perundingan itu, lima menjadi prioritas, yakni Perjanjian Tarif Preferensial (PTA) Indonesia-Bangladesh, PTA Indonesia-Tunisia, PTA Indonesia-Maroko, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Turki, dan CEPA Indonesia-Uni Eropa.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani, CEPA Indonesia-Uni Eropa (UE) harus menjadi prioritas utama. ”Perjanjian dengan UE dapat mendukung reformasi ekonomi nasional secara positif karena UE merupakan investor penting di sektor manufaktur Indonesia,” katanya.
Selain itu, CEPA Indonesia-UE dapat menjadi sarana perbaikan ketertinggalan daya saing produk ekspor nasional di pasar UE. Saat ini, daya saing produk ekspor di pasar UE masih tertopang fasilitas sistem tarif preferensial umum (Generalized System of Preference/GSP). Fasilitas dari UE ini berpotensi tak lagi dinikmati jika Indonesia dinilai pertumbuhan ekonominya memadai.
Dari sisi persaingan pemain ekspor di pasar internasional, Shinta berpendapat, CEPA Indonesia-UE dapat membuat Indonesia berdaya saing dan setara dengan Vietnam. Vietnam sudah terlebih dahulu memiliki perjanjian dengan UE dalam hal perdagangan dan investasi.
BPS mendata, pangsa ekspor nonmigas Indonesia ke negara-negara anggota UE sepanjang Januari-September 2019 mencapai 9,3 persen. Nilai ekspor pada periode tersebut sebesar 10,67 miliar dollar AS.
Sementara itu, Shinta menyatakan, perjanjian perdagangan dengan Bangladesh berpotensi meningkatkan ekspor produk manufaktur Indonesia. Salah satu faktornya ialah Bangladesh tidak memiliki sejumlah industri manufaktur, salah satunya tekstil.
Perjanjian perdagangan dengan Turki, menurut Shinta, bersifat strategis karena membuka akses pasar ke Asia Tengah, Eropa Timur, dan Timur Tengah. Produk ekspor Indonesia yang dapat menjadi unggulan ialah minyak kelapa sawit mentah.
Di sisi lain, Shinta berpendapat, Indonesia mesti berhati-hati dalam menyusun perjanjian perdagangan dengan Tunisia dan Maroko. ”Profil kedua negara ini mirip dengan Indonesia. Namun, keduanya cenderung lebih kuat di sektor jasa dan industri,” katanya.