Pemerintah telah berupaya menangani banjir Jakarta, tetapi memang tidak mudah menangani masalah yang membelit sejak lama itu. Persepsi warga pun terbelah menyikapi kinerja pemerintah.
Oleh
Antonius Purwanto/Litbang <em>Kompas</em>
·4 menit baca
Pemerintah telah berupaya menangani banjir Jakarta, tetapi memang tidak mudah menangani masalah yang sudah terjadi sejak masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut. Persepsi warga pun terbelah menyikapi kinerja pemerintah tersebut.
Hal tersebut menjadi kesimpulan survei jajak pendapat Kompas awal November lalu. Sekitar 49 persen responden mengapresiasi usaha yang telah dilakukan pemerintah selama ini. Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula warga yang menganggap upaya penanganan banjir tersebut belumlah maksimal.
Apresiasi positif diberikan atas berbagai upaya bersama pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penanggulangan banjir di Ibu Kota. Pemerintah pusat turut andil dalam pembangunan Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Bogor, Jawa Barat, dan tanggul laut di pesisir utara Jakarta. Pemprov DKI membangun drainase vertikal di banyak gedung, naturalisasi sungai dan waduk, membersihkan sungai dari sampah, dan perbaikan saluran air.
Memasuki awal musim hujan ini pengerukan sedimentasi sungai dan selokan air gencar dilakukan. Hal itu diakui oleh tiga dari empat responden yang menyebutkan saluran air di sekitarnya dalam kondisi baik.
Warga juga berpandangan sejumlah program pemerintah seperti naturalisasi sungai dan drainase vertikal bisa menawarkan harapan baru dan solusi terhadap persoalan banjir di Jakarta. Mereka berharap sistem penanggulangan tersebut bisa menyelesaikan persoalan banjir.
Warga juga berpandangan sejumlah program pemerintah seperti naturalisasi sungai dan drainase vertikal bisa menawarkan harapan baru dan solusi terhadap persoalan banjir di Jakarta. Mereka berharap sistem penanggulangan tersebut bisa menyelesaikan persoalan banjir.
Meskipun demikian, tingkat ketidakpuasan responden terhadap penanganan banjir masih relatif tinggi, yakni 41 persen responden. Mereka menilai upaya penanganan banjir selama ini belum membebaskan Ibu Kota dari banjir. Dalam jajak pendapat ini, sekitar 23 persen responden mengaku lingkungan di sekitar rumahnya masih rawan banjir atau genangan.
Awal musim hujan ini, setidaknya ada tiga lokasi yang dilanda banjir pada 2 November lalu. Ketiganya berada di wilayah Jakarta Selatan, yakni Jalan Ciledug Raya, Gandaria; Jalan RS Fatmawati Raya, Kebayoran Baru; dan di Kompleks Perdana, Kelurahan Petukangan Selatan, Pesanggrahan.
Catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta 2019 menyebutkan, setidaknya masih ada 17 kecamatan, 25 kelurahan, dan 86 RW di Jakarta terdeteksi sebagai wilayah rawan banjir ketika diguyur hujan dengan intensitas tinggi. Mayoritas titik rawan banjir tersebut berada di bantaran sungai.
Banjir juga rawan terjadi di lokasi yang saluran airnya kerap tersumbat. Setidaknya 13 persen responden yang mengeluh sistem drainase di sekitar rumahnya dalam kondisi tersumbat ataupun rusak harus bersiap menghadapi kemungkinan munculnya banjir saat curah hujan mulai tinggi. Demikian Juga dengan pengakuan 8 persen responden lainnya yang menyebut di sekitar lingkungan rumahnya tidak ada saluran air.
Salah satu kunci untuk mengatasi munculnya banjir adalah selalu membersihkan badan air, seperti sungai, waduk, dan selokan dari sedimentasi ataupun sampah. Hampir separuh warga menyebutkan upaya tersebut sebagai solusi utama untuk mengatasi banjir Jakarta.
Hal tersebut juga dipahami oleh mayoritas warga (81,7 persen) sebagai bentuk penanganan mandiri pencegahan banjir. Warga ikut bertanggung jawab menjaga kebersihan selokan air dengan tidak membuang sampah sembarangan ke selokan dan rutin menjaga kebersihannya.
Sedimentasi bisa berdampak pada berkurangnya daya tampung sungai. Akibatnya, volume air sungai/selokan meningkat karena curah hujan ataupun gelontoran dari hulu bisa mengakibatkan banjir besar di hilir. Pembersihan rutin perlu dilakukan untuk mencegah penumpukan sampah dan pendangkalan sungai.
Normalisasi sungai dianggap oleh 16,4 persen responden sebagai solusi lain mengatasi banjir. Mereka beranggapan penanggulangan banjir dengan mengembalikan lebar sungai akan memperbesar kapasitas sungai dan mengubah wajah sungai menjadi lebih tertata.
Normalisasi sungai dianggap oleh 16,4 persen responden sebagai solusi lain mengatasi banjir. Mereka beranggapan penanggulangan banjir dengan dengan mengembalikan lebar sungai akan memperbesar kapasitas sungai dan mengubah wajah sungai menjadi lebih tertata.
Selama ini normalisasi telah dilakukan di sejumlah sungai, seperti Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter. Konsep normalisasi selain dengan pemasangan dinding turap juga diikuti dengan pengerukan sedimentasi secara rutin. Warga berharap normalisasi sungai yang terhenti sejak dua tahun lalu bisa dilanjutkan kembali.
Drainase vertikal
Memperbanyak sumur resapan dan membuat drainase vertikal juga menjadi strategi mengatasi banjir, seperti yang disebutkan 9,4 persen responden. Sistem yang menerapkan konsep teknologi zero run off tersebut berfungsi untuk menampung air hujan agar tidak semua mengalir ke selokan dan sungai. Hal ini nantinya mengurangi beban drainase untuk menampung air sehingga tidak terjadi luapan.
Sistem itu sejalan dengan upaya Pemprov DKI yang hendak menerapkan strategi zero run off sebagai strategi penanganan banjir. Pemprov DKI mengharapkan ada sekitar 1,8 juta drainase vertikal di seluruh Jakarta, kecuali di Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu. Upaya pemerintah tersebut sudah diikuti oleh 5,5 persen warga yang ikut membuat sumur resapan di sekitar rumahnya.
Pemerintah semestinya memilih solusi menyeluruh agar persoalan banjir di Ibu Kota bisa diselesaikan dengan baik. Program menanggulangi banjir di DKI akan sulit diwujudkan jika tanpa adanya peran serta masyarakat. Mari semua pihak bersiaga mencegah banjir.