Hipertensi, Menyerang dalam Sunyi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi disebut sebagai salah satu penyakit tidak menular yang kian menakutkan. Prevalensi hipertensi di dunia dan termasuk Indonesia kian meningkat.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi disebut sebagai salah satu penyakit tidak menular yang kian menakutkan. Prevalensi hipertensi di dunia dan termasuk Indonesia kian meningkat. Pencegahan lewat perubahan pola hidup dan pola makan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi penderita hipertensi di masa mendatang.
Hipertensi menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia setiap tahunnya. Hipertensi sering disebut sebagai the silent killer karena sering hadir tanpa keluhan. Sebagian besar penderita hipertensi tidak mengetahui bahwa dirinya hipertensi sehingga tidak mendapatkan pengobatan.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015, sekitar 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis hipertensi. WHO memprediksi pada tahun 2025 akan ada 1,5 miliar orang yang terkena hipertensi dan diperkirakan setiap tahun 9,4 juta orang meninggal akibat hipertensi dan komplikasinya.
WHO memprediksi pada tahun 2025 akan ada 1,5 miliar orang yang terkena hipertensi.
Jurnal dari American Heart Association bernama Circulation menganalisis sekitar 900.000 orang dewasa di 90 negara. Penelitian menunjukkan pada 2010 ada 31 persen populasi dunia memiliki tekanan darah tinggi dan 75 persen di antaranya masyarakat di negara miskin dan negara berkembang.
Sementara, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 34,1 persen masyarakat Indonesia yang dewasa atau berusia 18 tahun ke atas terkena hipertensi. Angka ini mengalami peningkatan 7,6 persen dibanding Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 sebesar 26,5 persen.
Prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun, tertinggi ada di Kalimantan Selatan ,sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2 persen). Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6 persen), umur 45-54 tahun (45,3 persen), umur 55-64 tahun (55,2 persen).
Tekanan darah adalah kekuatan aliran darah dari jantung yang mendorong melawan dinding pembuluh darah (arteri). Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosa hipertensi. Sedangkan, tekanan diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung sedang berelaksasi atau beristirahat.
Pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan diagnosis hipertensi. Menurut A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013, tekanan darah optimal berada di bawah 120/80 mmHg.
Tekanan darah kategori normal berkisar 120-129 untuk tekanan sistolik dan < 80 mmHg untuk tekanan diastolik. Normal tinggi berada pada rentang 130/80 mmHg hingga 139/89 mmHg. Kategori hipertensi tingkat 1 sekitar 140/90 atau lebih tinggi. Hipertensi yang hadir dalam sunyi ternyata dapat menjadi awal hadirnya berbagai penyakit serius jika tidak dikendalikan.
Penyakit serius
Tekanan darah tinggi atau hipertensi menjadi salah satu pintu masuk penyakit seperti, jantung, gagal ginjal, diabetes, dan stroke. Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2017 menyebut faktor risiko tertinggi pada laki-laki terdapat pada perokok.
Perokok mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dan peningkatan kadar gula. Sementara faktor risiko pada wanita adalah peningkatan tekanan darah sistolik, peningkatan kadar gula darah dan indeks masa tubuh tinggi.
Menurut Data Riskesdas 2018, sebesar 32,3 persen penderita hipertensi tidak rutin minum obat. Alasan penderita hipertensi tidak minum obat, antara lain, karena penderita merasa sehat (59,8 persen), kunjungan tidak teratur ke fasyankes (31,3 persen), dan minum obat tradisional (14,5 persen).
Jawaban lainnya adalah penderita menggunakan terapi lain (12,5 persen), lupa minum obat (11,5 persen), tidak mampu beli obat (8,1 persen), terdapat efek samping obat (4,5 persen), dan obat tidak tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan (2 persen).
Berbagai komplikasi lain juga disebut-sebut dapat mengikuti hipertensi yang tidak terkendali.
Padahal, hipertensi yang tidak terkendali dapat berakibat terjadinya kerusakan ginjal karena ginjal menyaring darah dan mengatur tekanan darah. Ketika hipertensi menyerang, jantung terus memompa darah, fungsi ginjal yang juga mengaturnya mengalami penurunan dan tidak jarang berujung cuci darah.
Berbagai komplikasi lain juga disebut-sebut dapat mengikuti hipertensi yang tidak terkendali. Salah satunya adalah arteriosklerosis. sterioklerosis terjadi saat pembuluh darah yang memasok oksigen dan nutrisi lainnya ke organ tubuh mengeras dan menjadi lebih sempit yang bisa berakit ke penyakit penyakit jantung dan stroke.
Komplikasi lain yang bisa muncul adalah Aneurisma. Aneurisma adalah pembuluh darah yang bengkak. Hipertensi yang tidak terkendali bisa menyebabkan pembuluh darah menjadi tipis dan mengembang, dan mengakibatkan aneurisma. Jika aneurisma otak pecah, akan mengakibatkan stroke.
Gagal jantung menjadi bentuk komplikasi lain yang juga sering muncul. Gagal jantung merupakan kondisi di mana terjadi peningkatan tekanan darah yang meningkatkan resistensi pembuluh darah, sehingga memberi beban tambahan pada jantung akibatnya terjadi kegagalan jantung.
Hipertensi yang tidak terkendali juga bisa menyebabkan pembekuan darah di arteri karotis atau leher dan retinopati, yakni kerusakan pembuluh darah pada jaringan peka cahaya di bagian belakang mata.
Gagal jantung menjadi bentuk komplikasi lain yang juga sering muncul.
Pencegahan
Meningkatnya penderita hipertensi tidak bisa dipisahkan dari perubahan gaya hidup masyarakat saat ini. Terjadi pergeseran pola makan ke arah makanan cepat saji yang diawetkan, mengandung, mengandung garam tinggi, lemak jenuh namun rendah serat terutama di perkotaan ditengarai menjadi salah satu penyebab terbesar meningkatnya hipertensi.
Data Riskesdas 2018 pada penduduk usia 15 tahun ke atas menjelaskan faktor risiko seperti proporsi masyarakat yang kurang makan sayur dan buah sebesar 95,5 persen, proporsi kurang aktivitas fisik 35,5 persen, proporsi merokok 29,3 persen, proporsi obesitas sentral 31 persen, dan proporsi obesitas umum 21,8 persen.
Data tersebut di atas menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan data Riskesdas tahun 2013. Padahal, hipertensi dapat dicegah dengan mengendalikan perilaku berisiko, seperti merokok, diet yang tidak sehat seperti kurang konsumsi sayur dan buah, serta konsumsi gula, garam dan lemak berlebih.
Selain itu, mengendalikan berat badan agar tidak obesitas, beraktifitas fisik, tidak mengonsumsi alkohol berlebihan dan stres, menjadi jalan pencegahan lainnya. Dengan mengetahui gejala dan faktor risiko hipertensi, pencegahan sesungguhnya dapat dilakukan supaya komplikasi dapat dihindari.
Pemerintah telah melihat kian berbahayanya hipertensi sehingga melakukan berbagai upaya untuk menurunkan prevalensi hipertensi, di antaranya, peningkatan akses ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), optimalisasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu pelayanan.
Salah satu upaya pencegahan komplikasi hipertensi khususnya penyakit jantung dan pembuluh darah di FKTP melalui pelayanan terpadu (Pandu) penyakit tidak menular (PTM), pemberdayaan masyarakat untuk deteksi dini dan monitoring faktor risiko hipertensi melalui Posbindu PTM yang diselenggarakan di masyarakat, di tempat kerja dan institusi. (Susanti Agustina S/Litbang Kompas)