9 November 1989, Hari yang Mengubah Dunia...
Setelah 30 tahun berlalu, masih terus jadi perdebatan: apakah runtuhnya Tembok Berlin—awal keruntuhan keseluruhan blok komunis di Eropa—merupakan kecelakaan sejarah akibat pernyataan Schabowski yang keseleo lidah?
”DDR oeffnet Grenzen”.
Kalimat berita singkat itu ditulis oleh Frieder Reimold, Kepala Biro Berlin kantor berita Associated Press (AP), pada tanggal 9 November 1989 malam. Artinya, ”Jerman Timur membuka perbatasan".
Malam itu, Reimold menyaksikan televisi yang menayangkan pernyataan Guenter Schabowski, anggota Politbiro Partai Komunis Jerman Timur, dalam konferensi pers. Jam menunjukkan sekitar pukul 19.00. Tampak di layar televisi, di belakang meja menghadap ke arah wartawan, Schabowski terlihat menggaruk kepalanya, mengenakan kaca matanya, sempat terlihat ragu, kemudian memegang dan mengamati catatan tulisan tangan di mejanya.
”Sepanjang yang saya pahami, (keputusan) ini sudah berlaku, saat ini juga, tanpa penundaan,” kata Schabowski dengan nada agak gagap.
Kata-kata itu diucapkan Schabowski sambil berusaha memahami isi catatan di tangannya saat menjawab pertanyaan wartawan tentang kapan keputusan pembebasan bagi warga Jerman Timur untuk bepergian melintas perbatasan menuju Jerman Barat akan berlaku.
Saat itu pula, sekitar pukul 19.05 Reimold mengetik kalimat singkat breaking news pada saluran kantor berita AP yang kini menjadi ikonik: ”DDR oeffnet Grenzen”.
Awalnya, tidak terjadi apa-apa selepas berita singkat tersebut disiarkan. Kala itu belum era telepon pintar seperti sekarang. Berita berjalan begitu lambat. Namun, tak sampai satu jam kemudian, beberapa televisi Jerman Barat dan radio di Berlin Barat, RIAS, mulai menayangkan berita singkat AP tersebut.
Malam itu juga warga Berlin Timur mulai memadati pintu-pintu perbatasan menuju Berlin Barat. Para penjaga perbatasan ternyata tidak menerima perintah untuk mengizinkan warga melintasi pos perbatasan. Namun, mereka kemudian menyerah dan tak kuasa menahan kumpulan massa yang merangsek untuk menyeberang ke Berlin Barat.
”Ini berita singkat yang mengubah peristiwa malam itu," ujar Reimold (75), yang pensiun dari AP sepuluh tahun silam, merujuk pada kalimat singkat yang dia siarkan. ”Berita singkat itu mempercepat perkembangan yang cepat atau lambat tak mungkin dihindari lagi”.
Berita singkat tersebut dianggap oleh banyak kalangan ikut mempercepat dorongan pada perubahan dramatis di Jerman pada malam itu. Kalimat ”DDR oeffnet Grenzen” itu pun diabadikan pada sebuah plakat di area pejalan kaki di Bornholmer Strasse, pintu perbatasan antara Berlin Timur dan Berlin Barat yang pertama kali dilewati warga Berlin Timur ke Berlin Barat.
Simbol perang dingin
Tembok Berlin dibangun pada tahun 1961, berdiri kokoh selama 28 tahun, dan menjadi simbol Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tembok itu memanjang sejauh 156,4 kilometer, membelah jantung kota Berlin dan wilayah sekelilingnya, serta membelah jantung banyak warga kota tersebut. Sama permanennya seperti kematian, tembok itu dibangun untuk memutus Jerman Timur dari apa yang kerap dianggap sebagai pencemaran ideologi dari Barat dan untuk menahan gelombang pengungsian dari Jerman Timur.
Tembok itu memanjang sejauh 156,4 kilometer, membelah jantung kota Berlin dan wilayah sekelilingnya, serta membelah jantung banyak warga kota tersebut.
Meski tembok itu dibuat berlapis dan kokoh serta ancaman hukuman berat, banyak warga berusaha menembus tembok tersebut dengan berbagai acara. Ada yang membangun terowongan di bawahnya, memanjatnya, ataupun terbang di atasnya. Menurut riset akademik terbaru, sedikitnya 140 orang tewas saat berupaya melewati kokohnya Tembok Berlin.
Beberapa pekan sebelum pengumuman pembukaan perbatasan Jerman Timur oleh Schabowski, unjuk rasa massa meletus di beberapa kota di Jerman Timur, seperti Leipzig, Berlin Timur, dan tempat-tempat lain. ”Kami Rakyat! Kami Rakyat! Kami ingin pergi!”, demikian antara lain yel-yel teriakan massa.
Ribuan warga Jerman Timur mengungsi dengan mencari status pengungsi di Kedutaan Besar Jerman Barat di Praha, Ceko. Penduduk Jerman Timur, yang terperangkap di balik ”tirai besi” sejak 1961, ”mengungkapkan sikap dengan kaki”. Sejak Agustus 1989, Hongaria dan Cekos bersikap tutup mata terhadap banjir pengungsi yang meninggalkan Jerman Timur menuju Jerman Barat.
Krisis telah mencapai titik didihnya. Jerman Timur tak lagi bisa mengandalkan saudara tuanya, Uni Soviet, untuk turun tangan. Di Moskwa, nada sudah berubah. Mikhail Gorbachev, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, berbicara soal perestroika (perubahan atau reformasi) dan glasnost (keterbukaan, transparansi).
Saat itu, pada awal Oktober 1989, Gorbachev sudah mengingatkan pemimpin Jerman Timur, Erich Honecker, bahwa ”hidup akan menghukum orang yang bergerak terlambat sekali”. Beberapa hari kemudian, pada 18 Oktober 1989, Honecker, yang memuji China atas ”penanganan tegasnya dalam memadamkan unjuk rasa anti revolusioner di Lapangan Tiananmen Square”, dipaksa mundur.
Ia diganti Egon Krenz. Krenz adalah sosok yang relatif moderat. Ia merencanakan sejumlah kebijakan reformasi di Jerman Timur yang paling menonjol adalah liberalisasi perjalanan dengan memberikan visa keluar tanpa persyaratan apa pun. Dalam situasi tersebut, malam itu, pada 9 November 1989, Guenter Schabowski dipercaya mengumumkan kebijakan yang diambil oleh sebuah komite kecil dalam konferensi pers yang disiarkan televisi.
Teka-teki
Hingga kini, setelah 30 tahun berlalu, masih terus menjadi perdebatan apakah runtuhnya Tembok Berlin—awal bagi keruntuhan keseluruhan blok komunis—merupakan kecelakaan sejarah akibat pernyataan Schabowski yang keseleo lidah? Apakah runtuhnya Tembok Berlin merupakan buah kesalahpahaman dalam hierarki pemerintahan komunis Jerman Timur setelah terdesak oleh peristiwa-peristiwa saat itu ataukah hal itu merupakan langkah yang sudah terkalkulasi oleh kekuasaan diktator di Jerman Timur?
Ada berbagai versi pandangan mengenai hal itu. Dalam hal ini, Krenz masih membenci Schabowski. Ia menuding Schabowski telah menjerumuskan Jerman Timur ”dalam situasi yang sulit” melalui pernyataan bahwa pembukaan pintu perbatasan Jerman Timur berlaku saat itu juga. ”(Runtuhnya Tembok Berlin) adalah malam terburuk saya dalam hidup ini,” kata Krenz dalam sebuah wawancara dengan BBC. ”Saya tak ingin mengulanginya lagi.”
Menurut Krenz, Schabowski seharusnya berpegang pada keterangan pers yang sudah disiapkan untuk mengumumkan kebebasan bepergian yang rencananya akan mulai berlaku pada pagi keesokan pasca-pengumuman. Skenario awalnya, Jerman Timur akan memberi lampu hijau bepergian keluar di bawah kontrol, bukan untuk meruntuhkan Tembok Berlin dalam waktu semalam.
Jadi, apakah pernyataan Schabowski di malam itu merupakan kesalahan dalam menilai situasi (error of judgement)? Ataukah itu tindakan yang memang disengaja? Hingga akhir hayatnya tahun 2015 saat meninggal pada usia 86 tahun, Schabowski tidak pernah menjawab pertanyaan itu dengan jelas.
”Tak seorang pun bisa menghentikan pergerakan yang dipantik oleh pengumuman saya,” ujar Schabowski belakangan.
Menurut versinya, pembukaan perbatasan Jerman Timur didorong oleh beberapa pendukung perubahan, bertentangan dengan harapan komite sentral Partai Komunis Jerman Timur yang didominasi para pendukung sejati Stalin. ”Kami menyimpulkan, jika kami ingin menyelamatkan GDR (Jerman Timur), kami harus membiarkan warga pergi keluar,” ujar Schabowski kepada harian TAZ, tahun 2009.
Namun, mantan tokoh pembelot Jerman Timur yang belakangan menjadi Ketua Majelis Rendah Parlemen Jerman (Bundestag) Wolfgang Thierse meyakini bahwa Schabowski tidak pernah memperhitungkan dampak pengumuman dirinya. ”Kami menduga, sesuatu telah dipersiapkan untuk membuka kebebasan bepergian karena partai komunis ingin mengurangi tekanan saat itu. Namun, Schabowski tak punya firasat bahwa dirinya tengah meledakkan sesuatu,” kata Thierse dalam sebuah wawancara dengan radio.
Yang pasti, momen runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989 itu disusul dengan peristiwa-peristiwa yang memadamkan Perang Dingin, ditandai kolapsnya blok kekuatan komunisme di Eropa, setelah 40 tahun. Setahun kemudian, pemerintahan Jerman Timur melebur dan bersatu dengan Jerman Barat, menandai berakhirnya kekuasaan komunisme di negeri itu.
Di Ceko, pemerintahan komunis juga tumbang pada 24 November 1989 setelah diguncang unjuk rasa rakyat selama berhari-hari. Di Bulgaria, diktator komunis Todor Jivkov dicopot pada 10 November 1989, dan sebulan kemudian Partai Komunis Bulgaria menyerahkan kekuasaan, disusul seruan menggelar pemilu. Di Romania, orang kuat Nicolae Ceausescu digulingkan pada 22 Desember 1989 setelah unjuk rasa mengguncang negara itu selama berhari-hari.
Pada tahun 1991, Uni Soviet buyar dan pecah menjadi beberapa negara. ”Berakhirnya sejarah (the end of history)", tulis Francis Fukuyama, ilmuwan politik yang menyatakan, runtuhnya Tembok Berlin bukan sekadar akhir dari Perang Dingin. Momen itu menjadi akhir sejarah dan akhir evolusi ideologi manusia serta gambaran universalisasi demokrasi liberal Barat.
(AP/AFP/REUTERS)
—