TP4 Bakal Dievaluasi, Mungkin Juga Bisa Dibubarkan
JAKARTA, KOMPAS – Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jumat (8/11/2019) di Jakarta, mengatakan, dia akan mengevaluasi Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) yang selama ini dinilai menjadi lahan baru bagi korupsi di lingkungan Kejaksaan Agung. Ia bahkan menegaskan, tidak menutup kemungkinan juga bahwa TP4 akan dibubarkan.
“Kami akan mengevaluasi TP4. Memang ada banyak kebocoran (korupsi TP4), saya akan coba nanti buat analisa, kemudian kami akan rapatkan dengan teman-teman,” ujar Burhanuddin.
Burhanuddin menyampaikan pandangannya saat berkunjung ke Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan. Kunjungan Jaksa Agung dalam rangka meningkatkan sinergitas antarpenegak hukum disambut langsung oleh Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, dan Direktur Penuntutan KPK, Fitroh Rohcahyanto.
Evaluasi yang dilakukan terhadap Tp4 juga dikatakan Burhanuddin akan melibatkan para pakar. “Untuk menilai perlu tidaknya TP4, dibubarkan atau diganti bentuknya terkait dengan substansi dan pola pengawasannya akan kami tingkatkan,” ucap Burhanuddin.
Pada 20 Agustus 2019, KPK menetapkan dua jaksa sebagai tersangka penerima suap terkait lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 2019. Proyek yang dimaksud adalah lelang pekerjaan rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo, Yogyakarta, dengan pagu anggaran sebesar Rp 10,89 miliar.
Kedua jaksa yang ditetapkan sebagai adalah Eka Safitra, dari Kejaksaan Negeri Yogyakarta sekaligus anggota TP4 Daerah, dan Satriawan Sulaksono dari Kejaksaan Negeri Solo, Jawa Tengah.
Baca juga: Lagi, KPK Tangkap Jaksa dan Tinjau Ulang TP4 Kejaksaan
Eka menerima suap dari Direktur Utama PT Manira Arta Mandiri (Mataram) Gabriella Yuan Ana. Perusahaan yang akan menjadi salah satu peserta lelang proyek di Dinas PUPKP Kota Yogyakarta 2019.
Secara terpisah, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman menegaskan, TP4 adalah konsep yang keliru dan memang sudah semestinya dibubarkan. Sebab, tugas pokok dan fungsi utama dari Kejaksaan Agung (Kejagung) berada pada bidang penuntutan, bukan pengawalan melekat seperti yang dilakukan TP4.
Baca juga: Pengawasan Kinerja TP4 Mendesak Dilakukan
Selain itu, kehadiran TP4 juga menjadi tumpang tindih dengan lembaga pengawasan lainnya, yakni Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Dapat juga menimbulkan konflik kepentingan karena selain sebagai konsultan dan pengawas, jaksa juga melakukan penuntutan.
“Tapi bukan berarti Kejagung tidak bisa memberikan pengawasan terhadap proyek pembangunan. Kejagung memang selayaknya menjadi pengawas eksternal. Jaksa itu posisinya sebagai konsultan pemerintah dalam bidang hukum, misalnya saat ada gugatan perdata, jaksa bisa menjadi jaksa pengacara negara,” tutur Zaenur.
Dengan begitu, untuk menutup celah korupsi, peran dari APIP dan BPKP harus terus diperkuat. Zaenur berpendapat, meski secara kelembagaan inspektorat berada di bawah kepala daerah, namun secara fungsi harus independent dalam mencegah tindak penyelewenangan korupsi.
Pencegahan oleh APIP dan BPKP pun harus sejalan dengan penindakan oleh para penegak hukum. “Jadi ada aspek pencegahan dan penindakan sehingga siapa pun yang ‘bermain’ dalam proyek, akan mendapatkan efek jera,” ujar Zaenur.
Baca juga: Oknum Jaksa Sering Tekan Pejabat, APIP Harus Menjadi ”Macan”
Koodinasi
Terkait dengan sinergitas antara Kejagung dengan KPK, Laode M Syarif menyampaikan, memang ada beberapa kasus yang dikoordinasikan dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Salah satu pertimbangannya karena KPK menilai Kejagung sanggup melaksanakan.
“Dengan kita menyerahkan, itu kan membuat bahwa tingkat kepercayaan kepada Kejagung meningkat. Kecuali kalau didiamkan, teman-teman bisa melihat itu semua,” ujar Syarif.
Menurut Burhanuddin, Kejagung lebih suka jika memang banyak yang mengawasi kinjerjanya. Kejaksaan juga terus membina para anggotanya agar apa yang telah terjadi dapat menjadi contoh bagi anggota lain.
“Kalau ada yang kena (kasus korupsi), ini pendapat pribadi saya, biarlah sebagai seleksi alam (sehingga) akan muncul yang terbaik nantinya,” ucapnya.
Pernyataan ini juga terkait kasus pada akhir Juni 2019, KPK menangkap dua jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Keduanya diduga menerima suap sebesar 28.000 dollar Singapura dan 700 dollar Amerika Serikat terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kejaksaan kemudian mencopot kedua jaksa dari jabatannya di Kejati DKI Jakarta.
Baca juga: Dua Jaksa di Jakarta Terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK
Terhadap kasus tersebut, Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung, Jan S Marinka menjelaskan, untuk dugaan suap terhadap kedua jaksa tersebut tetap berada di KPK. Demikian pula dengan Asisten Tindak Pidana Umum Kejati DKI Jakarta Agus Witono yang juga telah diberhentikan dari jabatannya.
Kejagung, tambah Jan, hanya menangani dugaan pelanggaran etik dan dugaan pidana jika ditemukan dalam pemeriksaan etik.
Zaenur menilai, koordinasi harus dipastikan bukan untuk menghalang-halangi penanganan perkara yang melibatkan anggota institusi penegak hukum. Jika memang ada anggota institusi penegak hukum yang melakukan korupsi, maka harus dihormati sebagai kewenangan penegakan hukum masing-masing lembaga.
“Jangan sampai istilah koordinasi itu menimbulkan impunitas, yakni tidak tertanganinya anggota institusi tertentu karena sedang diproses institusi lain dan kemudian diminta ditangani oleh institusi itu sendiri. Kalau dilimpahkan, itu akan rawan konflik kepentingan,” ujar Zaenur.