Semangat Menyala di Gedung Sekolah Baru
Selama sekitar setahun, sebagian siswa di Kota Palu, Sulawesi Tengah, belajar di bangunan darurat akibat gempa pada September 2018. Kini, semangat belajar mereka makin menyala berkat gedung sekolah baru.
Begitu pintu kelas dibuka, Miftah (12) dan 20 temannya berlari memilih tempat duduk. Setelah mendapatkan tempat di bagian tengah di baris kedua, Miftah mengelus-elus meja berwarna merah tua itu sebentar. ”Halus mejanya,” ucapnya sembari tersenyum.
Duduk sesaat, ia lalu berlari menuju dinding depan kelas. Ia menekan tombol dan kipas angin gantung berputar. ”Sejuk. Sudah lama sekali kami belajar di tempat panas,” ujar siswa kelas VI Sekolah Dasar Inpres (SDI) Boyaoge, Kecamatan Tatanga, Palu, Sulawesi Tengah, ini pada Selasa (5/11/2019).
Sekitar 20 menit Miftah dan temannya bersenda gurau di dalam kelas. Mereka juga mendengarkan arahan dari Unkir, salah satu guru, agar menjaga semua fasilitas di dalam kelas.
Miftah adalah satu dari 225 siswa SDI Boyaoge yang sekitar setahun terakhir belajar di ruang kelas darurat. Ruang kelas dibangun akhir Oktober 2018 dari kayu dan bambu dengan dinding setinggi 1 meter, kecuali di sisi timur yang langsung berhadapan dengan matahari pagi. Selebihnya ”jendela besar” hingga ke atap.
Terpal yang menjadi atap dua kelas beratap sudah bolong disobek angin. Enam kelas lainnya beratap rumbia yang beberapa lembarnya juga sudah copot. Biasanya kegiatan belajar, terutama di ruang beratap terpal, hanya efektif sampai pukul 10.30 Wita. Para siswa tak bisa menahan panas.
Ruang kelas darurat itu juga sering diterpa debu dari halaman sekolah dan ruang antarkelas. Di tengah terik matahari, siraman air tak mempan untuk menaklukkan debu. Dua bulan terakhir, siswa kelas VI dan kelas V menempati ruang berlantai beton, berdinding papan, serta beratap seng. Namun, gerah belum juga sirna karena tidak ada plafon. Debu pun masih masuk ke ruang kelas.
Sumbangan pembaca
Derita Miftah dan teman- temannya kini berakhir. Gedung sekolah mereka telah dibangun oleh Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) yang mendapatkan sumbangan dari pembaca harian Kompas.
Sebanyak enam ruang kelas dibangun, masing-masing dilengkapi meja dan kursi kayu, satu lemari, dan kipas angin gantung. Untuk menjaga sirkulasi udara, ruang kelas terdiri atas 7-9 jendela. Plafon ruangan terbuat dari bahan berpori sehingga ruang kelas terasa adem di tengah terik matahari. Selain enam ruang kelas, dibangun juga satu ruang guru, satu perpustakaan, dan empat kamar kecil. Halaman sekolah juga di-paving block.
”Ini lebih bagus dari kelas kami sebelum gempa. Dulu tidak ada kipas angin. Jendelanya juga tidak banyak sehingga agak panas. Kami mau belajar lebih giat dengan ruang kelas baru ini,” kata Miftah yang bersama teman-temannya akan menempati ruang kelas baru itu mulai 11 November 2019.
Gedung SDI Boyaoge luluh lantak akibat gempa pada 28 September 2018. Secara umum, gempa, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala menewaskan 4.935 orang. Bencana itu menghancurkan 110.000 rumah, bangunan, dan gedung. Sebanyak 1.299 sekolah juga rusak.
Selain SDI Boyaoge, Yayasan DKK juga membangun tiga sekolah lain yang hancur karena gempa. Sekolah itu ialah Madrasah Ibtidaiyah (MI) An Nur Buuts di Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi, serta SDI Kalawara dan SD Negeri Sambo yang ada di Kabupaten Sigi. Empat sekolah itu diresmikan dan diserahkan oleh Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy dan Ketua Yayasan DKK Rusdi Amral kepada Pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Kabupaten Sigi, Kamis (7/11), di kompleks MI An Nur Buuts.
Dua sekolah di Palu selesai dibangun dan langsung bisa ditempati. Sementara dua sekolah di Sigi masih dirampungkan dan akan dipakai pada Desember 2019. Yayasan DKK mengeluarkan total Rp 5,812 miliar untuk membangun empat sekolah itu.
Meski tak semiris SDI Boyaoge, siswa MI An Nur Buuts selama ini juga kurang nyaman belajar setelah ruang kelas mereka hancur karena gempa. Selama tiga bulan pertama pascagempa, mereka belajar di tenda. Cuaca panas dan debu mereka rasakan saat belajar.
Setelah itu, mereka pindah ke ruang kelas permanen yang dibangun cukup cepat. Namun, gerah tetap terasa karena tak ada kipas angin atau pendingin di ruangan yang agak sempit.
Kini, mereka kembali pindah ke bangunan sekolah yang dibangun Yayasan DKK. Kemarin, Nabil Athalla (10), siswa kelas V, bersama 15 siswa lainnya, terlihat khusyuk membaca Al Quran di ruang kelas barunya. Tidak ada lagi gerah yang biasanya mengganggu konsentrasi. ”Ruang kelas baru ini sejuk sekali. Kursinya juga lembut. Saya makin semangat untuk belajar,” kata Nabil saat rehat.
Dibangun bertahap
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu Ansyar Sutiadi mengatakan, sekitar 400 sekolah dari jenjang pendidikan usia dini hingga sekolah menengah pertama terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi. Terhitung awal November ini, sekitar 80 sekolah sudah diperbaiki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, swasta, dan yayasan. Sekolah lainnya akan diperbaiki pada 2020 dengan biaya dari Kemdikbud.
Sebelum sekolah dibangun, para siswa belajar di bangunan darurat atau tenda serta bangunan semipermanen. Pembangunan kembali sekolah rusak masuk ke tahap rekonstruksi selama dua tahun. ”Tahun depan kita harapkan semuanya sudah selesai dibangun atau diperbaiki,” katanya.
Tingkatkan prestasi
Ketua Yayasan An Nur Buuts Ustaz Limra berjanji akan merawat gedung sekolah dengan baik dan meningkatkan prestasi para siswa. ”Gedung yang dibangun ini lebih dari yang kami bayangkan. Kami berjanji agar mutu pendidikan dan perawatan gedung yang akan kami lakukan lebih dari yang dibayangkan Kompas,” katanya.
MI An Nur Buuts yang sudah tujuh tahun berdiri menorehkan banyak prestasi. Terakhir, enam siswanya meraih trofi juara membaca Al Quran tingkat nasional. Limra menegaskan, sekolah yang diasuhnya bercita-cita mendidik para siswa menjadi garda terdepan perdamaian dunia. Ia bahkan menantang agar para siswanya bercita-cita meraih Nobel Perdamaian.
Ninuk berharap prestasi para siswa meningkat karena kehadiran fasilitas tersebut. ”Saya suka lembaga pendidikan yang punya visi tinggi, menantang siswa, termasuk untuk mendapatkan Nobel,” katanya.
Selain gedung sekolah, Yayasan DKK terlebih dahulu membangun hunian sementara di Palu dan Sigi sebanyak 320 kamar atau 32 blok. Pada masa tanggap darurat, Yayasan DKK pun turut mendistribusikan bantuan kebutuhan pokok. Yayasan DKK menyalurkan total Rp 15 miliar untuk meringankan beban penyintas dan pemerintah dalam menghadapi bencana di Sulteng.