JAKARTA, KOMPAS— Hingga hampir tiga pekan setelah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, pengisian jabatan di sejumlah kementerian, lembaga, dan perangkat pendukung presiden belum selesai dilakukan. Sejumlah posisi seperti Dewan Pertimbangan Presiden dan Wakil Panglima TNI hingga saat ini masih belum diisi.
Di tengah kondisi itu, berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 24-25 Oktober, sebanyak 63 persen responden puas terhadap nama-nama menteri di Kabinet Indonesia Maju. Munculnya sejumlah nama lama dan baru cukup memberikan harapan.
Pada saat yang sama, ada harapan agar Presiden tidak tersandera oleh beban politik yang cukup besar. Harapan itu muncul karena Jokowi terlihat berusaha mengakomodasi banyak partai politik, termasuk lawan politiknya pada pemilu lalu, dalam kabinet. Besarnya koalisi Jokowi-Amin saat ini, yaitu menguasai hingga 74,26 persen kursi DPR, bukan jaminan pemerintah akan berjalan lebih lancar karena dinamika politik yang terus berubah.
Belum terisi
Posisi pada pemerintahan yang belum terisi antara lain Dewan Pertimbangan Presiden. Dari 11 posisi staf khusus presiden yang dibentuk pada periode pemerintahan 2014-2019, saat ini baru satu yang terisi, yakni Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi yang dijabat oleh Fadjroel Rachman.
Susunan organisasi di Kantor Staf Presiden (KSP) juga belum selesai disusun. Presiden baru menetapkan Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan yang memimpin KSP, sedangkan posisi lainnya masih lowong.
Posisi wakil menteri juga masih ada yang belum terisi, salah satunya Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2019 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan, dalam memimpin Kemdikbud, menteri dibantu oleh wakil menteri sesuai dengan penunjukan Presiden.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kamis (7/11/2019) di Jakarta, menuturkan, Presiden memang belum mengambil keputusan terkait pengisian jabatan Wakil Mendikbud. Presiden akan mendiskusikan terlebih dahulu persoalan itu dengan Mendikbud Nadiem Makarim.
Bersamaan dengan penyusunan kabinet baru, Presiden Jokowi juga melakukan penataan organisasi TNI. Melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI, yang ditandatangani pada 18 Oktober 2019, ditetapkan satu posisi baru, yakni Wakil Panglima TNI.
Menurut Pratikno, posisi Wakil Panglima TNI tidak muncul tiba-tiba. ”Waktu zamannya Pak Moeldoko menjadi Panglima TNI, sudah ada usulan mengenai pentingnya posisi Wakil Panglima TNI,” katanya.
Keberadaan Wakil Panglima TNI, menurut Pratikno, akan sangat membantu panglima untuk urusan teknis organisasi. ”Jika kita bandingkan dengan lembaga lain, Kapolri juga ada Wakil Kapolri, demikian juga halnya dengan Kepala Staf. Sejumlah kementerian juga ada wakil menteri. Jadi, keberadaan Wakil Panglima TNI ini sesuatu yang sangat wajar dan sangat diperlukan,” tutur Pratikno.
Kurang efektif
Keberadaan wakil menteri di sejumlah kementerian, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, membuat kabinet menjadi terlalu gemuk hingga mengancam efektivitas kerja pemerintahan.
Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio menilai, penambahan jabatan wakil menteri akan menambah boros anggaran negara. Kendati gaji menteri dan wakil menteri relatif tak besar, anggaran untuk fasilitas dan tunjangan mereka tidaklah sedikit.
Menurut Agus, tidak semua kementerian memerlukan wakil menteri untuk mendukung kerja menterinya. Posisi itu hanya diperlukan di beberapa kementerian dengan banyak pekerjaan dan dinamika seperti Kementerian Luar Negeri.
Untuk pengisian jabatan wakil menteri selanjutnya, ujar Agus, Presiden memilih sosok yang mudah bergaul, mampu bekerja sama, dan punya kemampuan teknis sesuai kementerian yang dipimpinnya.
(Litbang Kompas/GRH/NTA/INA/LAS)