Manajemen Bencana: Pada Mulanya adalah Kesadaran
Tsunami Aceh merupakan alarm yang membangunkan Indonesia tentang pentingnya manajemen bencana. Pascatsunami Aceh, berbagai aturan terkait kebencanaan bermunculan di Indonesia.
Almarhum Sutopo Purwo Nugroho pada 2016 pernah menyatakan dalam sebuah presentasi bahwa tsunami Aceh merupakan alarm yang membangunkan Indonesia tentang pentingnya manajemen bencana. Bahkan, ia menyatakan bahwa tsunami Aceh 2004 merupakan Kebangkitan Nasional Jilid II. Menurut Sutopo, pada saat itu, timbul kesadaran secara nasional pentingnya penanggulangan bencana.
Pendapat Sutopo, yang pernah dikenal sebagai Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, di atas tidak berlebihan. Pascatsunami Aceh, berbagai aturan terkait kebencanaan, sebagai dasar manajemen bencana, bermunculan di Indonesia.
Dimulai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Selanjutnya, muncul berbagai aturan penjelas lain, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana hingga Peraturan Presiden Nomor 08 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Dari kesadaran tersebut, terwujud upaya untuk menangulangi bencana, mulai dari fase prabencana, baik saat situasi tak ada bencana, situasi terdapat potensi bencana, maupun fase tanggap darurat dan fase pascabencana dengan rekonstruksi dan rehabilitasi.
Selain itu, ditentukan pula penyelenggara penanggulangan bencana, yakni pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil, serta lembaga usaha atau sektor swasta. Pemerintah pusat dan daerah menjadi penanggung jawab penanggulangan bencana.
Masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam penanggulangan bencana, sedangkan lembaga usaha/sektor swasta dapat berperan dalam penanggulangan bencana. Dengan demikian, terbentuklah manajemen penanggulangan bencana yang komprehensif di Indonesia.
Manajemen bencana Jepang
Kesadaran serupa juga terjadi di Jepang. Manajemen bencana di Jepang dimulai dengan sebuah kesadaran bahwa Jepang merupakan negara dengan risiko berbagai bencana alam yang selalu mengintai sewaktu-waktu.
Terhadap kesadaran tersebut, terutama dengan pengalaman bencana yang ”rutin” terjadi dengan berbagai skala dampak yang makin luas, Jepang memilih untuk lebih sadar dan aktif mengantisipasi bencana. Hal itu diambil mengingat yang dipertaruhkan adalah hidup manusia.
Jepang ingin melindungi hidup, keselamatan, dan kepemilikan warganya dari dampak bencana, terutama bencana alam. Hal tersebut dimulai dengan memetakan jenis dan lokasi gempa serta membuat sistem peringatan dini. Selanjutnya, Jepang juga mengimplementasikan pencegahan dan pelatihan tanggap darurat bagi warganya secara terus-menerus demi meminimalisasi korban jiwa dan harta.
Di sisi lain, Pemerintah Jepang juga melakukan penanggulangan pemulihan dan rekonstruksi pascabencana yang selalu diperbarui sesuai dengan pengalaman menangani bencana. Tak heran, majalah Time menjuluki Jepang sebagai negara yang paling siap dalam menghadapi bencana alam.
Dewan Manajemen Bencana
Sejak tahun 1940-an, Jepang telah mengeluarkan berbagai aturan sebagai pedoman mengelola bencana dalam berbagai fase, mulai dari persiapan, pencegahan atau mitigasi, tanggap darurat, hingga pemulihan atau pembangunan kembali.
Terdapat 7 peraturan dasar, 18 aturan terkait pencegahan dan kesiapsediaan terhadap bencana, 3 aturan terkait tanggap darurat bencana, serta 23 aturan tentang pemulihan dan pembangunan kembali pascabencana, serta langkah-langkah keuangan.
Hal yang penting adalah bahwa dalam setiap fase bencana jelas ditunjukkan peran dan tanggung jawab dari pemerintah pusat dan pemerintah lokal, serta pihak-pihak lain yang bekerja sama mewujudkan berbagai penanggulangan bencana.
Secara konkret, Jepang membentuk Dewan Manajemen Bencana (CDM) di tiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga kota. Keberadaan lembaga ini diamanatkan oleh undang undang penanggulangan bencana di Jepang.
Di tingkat pusat, dewan ini dipimpin langsung oleh perdana menteri, menteri urusan manajemen bencana, semua menteri, kepala lembaga-lembaga penting pemerintah, serta berbagai ahli.
Hasil dari CDM pusat adalah Rencana Manajemen Bencana Dasar. Rencana tersebut berisi hal-hal terkait penanggulangan bencana yang komprehensif dan berjangka panjang. Rencana tersebut diperbarui secara keseluruhan pada 1995 setelah pengalaman bencana alam di Kobe yang dikenal dengan Great Hanshin Earthquake.
Saat ini, Rencana Manajemen Bencana Dasar terdiri dari 12 rencana sesuai tipe bencana dari berbagai fase. Jepang membagi penanggulangan bencana berdasarkan tipe bencana, yakni bencana alam dan kecelakaan.
Terdapat empat rencana penanggulangan bencana alam, yakni bencana gempa bumi, badai dan banjir, gunung berapi, serta salju. Selain itu, terdapat delapan rencana penanggulangan bencana dasar kecelakaan, yakni bencana kelautan, kedirgantaraan, perkeretaapian, jalan raya, nuklir, material berbahaya, kebakaran skala besar, serta kebakaran hutan.
Ketika bencana berskala besar terjadi, sebuah tim tanggap darurat dibentuk yang terdiri dari dirjen dari setiap kementerian dan lembaga negara. Mereka akan segera berkumpul di pusat manajemen krisis di kantor perdana menteri Jepang.
Setiap rencana penanggulangan dari tiap bencana menyentuh seluruh fase bencana, meliputi pencegahan dan kesiapsediaan, tanggap darurat, hingga pemulihan dan rehabilitasi. Tak ketinggalan, rencana dasar tersebut juga melibatkan tanggung jawab dan wewenang pemerintah dari lingkup pusat hingga satuan terkecil, yakni masyarakat.
Setiap tingkat pemerintah di Jepang, baik pusat, provinsi (perfektur), maupun kota, merupakan penanggung jawab atas setiap bencana yang terjadi di wilayahnya. Oleh karena itu, rencana pencegahan bencana yang komprehensif juga dirancang di setiap level.
Hasil CDM pusat tersebut kemudian menjadi pedoman untuk pembentukan rencana yang lebih spesifik di tingkat provinsi dan kota. Di tingkat provinsi, hasil dari CDM provinsi adalah Rencana Operasi Manajemen Bencana, sedangkan di tingkat kota, hasil CDM kota adalah Rencana Manajemen Bencana Lokal.
Operasionalitas rencana hasil dari CDM paling tampak di tingkat provinsi maupun kota. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa kebijakan manajemen bencana di tingkat lokal sebenarnya merupakan kunci dan prioritas manajemen bencana di Jepang. Berbagai wilayah perfektur di Jepang mengalokasikan dana yang besar untuk mengembangkan keselamatan di fasilitas umum, seperti rumah sakit dan sekolah.
Kebijakan nasional
Di tingkat pusat, berbagai kebijakan terkait manajemen bencana skala nasional dilaksanakan secara terukur dan konsisten. Time mencatat empat contoh kebijakan Pemerintah Jepang di tingkat pusat terkait manajemen bencana.
Pertama, pada 1960, Jepang menetapkan tanggal 1 September sebagai Hari Pencegahan Bencana Nasional. Sebegitu pentingnya pencegahan bencana sehingga dimasukkan dalam hari peringatan nasional. Tanggal tersebut dipilih sebagai peringatan terhadap gempa bumi di Tokyo pada 1923 yang dikenal dengan Great Kanto Earthquake.
Jepang ingin terus-menerus mengingatkan warganya bahwa mereka berada di atas jalur ”cincin api” gunung berapi yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan berbagai bencana alam.
Kebijakan nasional lain adalah pembangunan sistem peringatan dini gempa bumi yang paling canggih di dunia. Peringatan dini tsunami telah dibangun di Jepang sejak 1952, yang terdiri dari 300 sensor yang mengelilingi kepulauan di Jepang, termasuk 80 sensor bawah air yang memonitor aktivitas seismik selama 24 jam sepanjang minggu.
Selain itu, Jepang juga rutin mengadakan pelatihan bagi warganya agar selalu siap sedia menghadapi bencana. Latihan tanggap darurat bencana ini dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan swasta dengan simulasi yang sangat praktis, termasuk mengantar pulang para pekerja dari kantor ke rumah mereka.
Kebijakan di tingkat nasional lainnya adalah membuat aturan pembangunan gedung dengan memperhatikan ilmu gempa. Hal tersebut mulai dilaksanakan pada 1981 dan diperbarui pada 2000 dengan melakukan pembaruan kode bangunan di seluruh negeri. Pembaruan terkini tersebut telah memasukkan persyarakat khusus dan pemeriksaan wajib bagi setiap bangunan di Jepang.
Komunikasi adalah kunci
Selain Dewan Manajemen Bencana yang ada di setiap tingkat pemerintahan, belajar dari gempa bumi di Kobe 1995, Jepang juga membentuk pos jabatan menteri manajemen bencana pada 2011, pos jabatan wakil kepala sekretaris kabinet bagian manajemen krisis, serta membentuk pusat pengumpulan informasi bagi kabinet.
Penambahan pos jabatan terkait bencana tersebut lebih merupakan usaha untuk memastikan terwujudnya kolaborasi antara berbagai organisasi pemerintah dalam skala yang lebih luas.
Ketika terjadi bencana, pemerintah pusat dan daerah akan cepat mengumpulkan dan membagikan informasi terkait bencana dan mengamankan jalur komunikasi sehingga berbagai pihak dapat segera menjalankan aktivitas tanggap darurat secara efektif. Dari sanalah akan diputuskan apakah bencana tersebut berskala lokal atau nasional dan dibangun kantor pusat manajemen bencana.
Ketika bencana berskala besar terjadi, sebuah tim tanggap darurat dibentuk yang terdiri dari dirjen dari setiap kementerian dan lembaga negara. Mereka akan segera berkumpul di pusat manajemen krisis di kantor perdana menteri, memahami dan menganalisis situasi bencana, serta melaporkan hasilnya kepada perdana menteri.
Selanjutnya, akan diadakan pertemuan setingkat menteri untuk memutuskan kebijakan respons dasar apabila dibutuhkan. Berdasarkan tingkat kerusakan, pemerintah dapat segera membangun markas besar panggulangan bencana (yang dipimpin oleh menteri urusan menajemen bencana) atau markas besar untuk penanggulangan bencana ekstrem (yang dipimpin langsung oleh perdana menteri).
Khusus untuk bencana skala besar, yang berada di luar kapasitas respons pemerintah daerah yang terdampak, akan digerakkan berbagai mekanisme pendukung oleh badan kepolisian nasional antarperfektural, badan penangulangan bencana dan kebakaran, serta penjaga pantai Jepang.
Selain itu, Pasukan Bela Diri Jepang (tentara Jepang) dapat dikirim untuk kegiatan tanggap darurat berdasarkan permintaan dari gubernur pemerintah perfektur yang terkena dampak. Tim lain yang akan dikirim adalah tim bantuan medis bencana untuk menyediakan layanan transportasi medis yang luas. Tim ini mengangkut para korban bencana dengan menggunakan kendaraan dari pasukan bela diri Jepang ke rumah sakit terdekat di luar zona bencana.
Dari bawah ke atas
Di atas kertas, manajemen penggulangan bencana Indonesia mirip dengan manajemen penanggulangan bencana di Jepang. Di Indonesia, terdapat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota.
Mirip dengan CDM di Jepang, BNPB terdiri atas unsur pengawas dan pelaksana. BNPB berfungsi sebagai lembaga yang merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat, tepat, efektif, dan efisien.
Selain itu, lembaga ini juga berfungsi sebagai koordinator pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh dalam siklus manajemen bencana meulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga pascabencana.
Mengingat tiap bencana adalah peristiwa yang unik, satu tempat dengan yang lain berbeda cara penanggulanggannya. Pelajaran utama dalam manajemen bencana adalah belajar dari penanganan bencana terus-menerus.
Studi perbandingan manajemen bencana yang dilakukan Adilet Sekimov pada 2012 menunjukkan bahwa manajemen bencana di Jepang berkembang karena pengalaman berbagai bencana skala nasional di Jepang.
Bukan hanya aturan, Jepang berani menambah pos jabatan baru terkait manajemen penangangan bencana. Itu semua berawal dari kesadaran bahwa Jepang merupakan negara yang akan selalu rutin mengalami bencana, terutama bencana alam.
Momentum peringatan satu tahun penangangan pascabencana Palu dapat menjadi evaluasi bagi manajemen penanganan bencana di Indonesia. Tak perlu membuat aturan baru ataupun pos jabatan baru, tetapi bisa dengan mengoptimalkan apa yang selama ini belum berjalan dengan maksimal.
Mungkin, salah satu masukan yang diingatkan oleh almarhum Sutopo Nugroho Purwo dapat menjadi pertimbangan, yang dapat dibahasakan sebagai manajemen dari bawah ke atas.
Sutopo mendorong peran pemda sebagai lembaga utama yang harus berada di garda terdepan penggulangan bencana di wilayahnya. Ketika kesadaran pemerintah kabupaten atau kota telah tumbuh menjadi penanggung jawab utama penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya, pemerintah provinsi kemudian berperan memberikan dukungan serta mengerahkan berbagai sumber daya yang ada jika diperlukan. Selanjutnya, pemerintah pusat akan memberikan sumber daya yang secara ekstrem tidak tertangani oleh daerah.
Ditambah dengan melibatkan TNI dan Polri sejak dini, resep manajemen bencana dari bawah ke atas warisan Sutopo Nugroho ini dapat menjadi pendukung bagi perkembangan kesadaran manajemen bencana di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Potret Kesehatan Penyintas Bencana