Nyiram Gong Sekaten, Saatnya Bersihkan Diri di Bulan Suci
Jelang Maulid Nabi Muhammad SAW, gamelan sekaten yang berusia lebih dari 500 tahun dikeluarkan dan dibersihkan, Rabu (6/11/2019), di Keraton Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Jelang Maulid Nabi Muhammad SAW, gamelan sekaten yang berusia lebih dari 500 tahun dikeluarkan dan dibersihkan, Rabu (6/11/2019), di Keraton Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat. Ritual nyiram gong sekaten ini seperti alarm bagi siapa pun untuk selalu menyucikan diri dari segala godaan.
Prosesi dimulai ketika keluarga Keraton Kanoman yang dipimpin Pangeran Patih Raja Muhammad Qadiran mengeluarkan gamelan sekaten dari Bangsal Ukiran (Gong Pejimatan). Sebelum itu, abdi dalem memohon izin dan doa untuk membawa gamelan.
Gamelan berupa saron, gong, dan bonang itu lalu diangkat dengan hati-hati. Seorang keluarga keraton berada di depan barisan sambil membawa kemenyan yang terbakar. Mereka berjalan kaki melintasi pedagang kaki lima yang berjejer di dalam kompleks keraton.
Gamelan sekaten kemudian dibawa ke Langgar Alit untuk disucikan dalam tradisi nyiram gong sekaten. Di sana, lebih dari seratus warga telah berkumpul untuk menyaksikan tradisi tersebut. Di antara mereka, ada juga sekelompok mahasiswa dari Solo, Jawa Tengah, ikut menyaksikan tradisi ini.
Keluarga keraton lalu membaca selawat dan doa sebelum proses pencucian pusaka tersebut. Di luar ruangan, para abdi dalem berbaris, menjaga jalur ritual, termasuk tempat pencucian gamelan sekaten.
Pencucian dimulai ketika Pangeran Patih Raja Muhammad Qodiran membaca doa dan membasuh gong besar yang dipegang dua abdi dalem. Bagian bawah gong itu sudah pecah. Setelah itu, Ki Lurah Gamelan, pimpinan nayaga, melanjutkan pencucian untuk 3 gong besar, sekitar 20 bonang, dan 6 rangkaian saron.
Pencucian menggunakan air kembang di sumur Langgar Alit, air kelapa hijau yang sudah difermentasi, dan batu bata merah yang telah dihaluskan. Cara membersihkannya dengan mengusapkan tepes (kulit kelapa kering) ke gamelan sekaten yang ditata di atas balok.
Cara membersihkannya dengan mengusapkan tepes (kulit kelapa kering) ke gamelan sekaten yang ditata di atas balok.
Menurut Juru Bicara Kesultanan Kanoman Ratu Raja Arimbi, alat dan bahan untuk membersihkan gamelan sekaten diyakini mampu memperlambat pusaka berkarat sehingga bunyinya tidak fals. ”Cara pembersihan alami ini sudah dilakukan ratusan tahun,” ucapnya.
Menurut Ratu Arimbi, gamelan sekaten yang berusia lebih dari 500 tahun itu pemberian Sultan Trenggono, Raja Demak Bintoro III, kepada Ratu Wulung Ayu. Ratu Wulung Ayu adalah putri Sunan Gunung Jati dengan istri Nyimas Tepasari dari Majapahit. Sunan Gunung Jati merupakan pemimpin Cirebon pada 1479-1569. Dia adalah salah satu Wali Sanga, tokoh besar penyebar agama Islam di tanah Jawa.
Gamelan sekaten merupakan hadiah bagi Ratu Wulung Ayu yang baru saja ditinggal wafat suaminya, Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, Raja Demak Bintoro II setelah Raden Patah. Gamelan itu diberikan ketika Ratu Wulung Ayu ingin pulang ke Cirebon.
Ratu Wulung Ayu lalu membunyikan gamelan sekaten itu setiap bulan maulud (peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW). Sebelum itu, gamelan dicuci seperti saat ini. ”Maknanya, kita bisa membersihkan jiwa, pikiran, dan perilaku menjelang Maulid,” kata Ratu Arimbi.
Dalam perjalanannya, pusaka tersebut juga digunakan sebagai media penyebaran ajaran Islam melalui tembang dari tabuhan gamelan sekaten. Kala itu, imbalan untuk dapat menyaksikan pertunjukan gamelan sekaten adalah syahadat.
Konon, sekaten berasal dari kata syahadatain atau bersyahadat. Itu sebabnya, air bekas pencucian gamelan sekaten menjadi rebutan warga yang sudah membawa botol, jeriken, dan baskom. ”Air itu sudah didoakan dan diberi selawat sehingga warga mengharap berkah dari air itu,” katanya.
”Air ini untuk sawah saya. Semoga hasilnya melimpah,” kata Watini (60), warga Kapetakan, Kabupaten Cirebon, yang menyewa sawah 5.600 meter persegi selama setahun. Panen kali ini, ia mengaku mendapatkan hasil yang bagus, sekitar 4 ton gabah.
Air itu sudah didoakan dan diberi selawat sehingga warga mengharap berkah dari air itu.
Watini mengambil air sisa pencucian gamelan sekaten dengan kain. Air hasil perasan kain itu lalu disimpan di dalam botol. Botol plastik ukuran 1,5 liter itu marak dijual di sekitar keraton dengan harga Rp 3.000 per buah.
”Sejak usia 15 tahun, saya sudah ke sini ambil air setiap maulud. Air ini bisa untuk sawah, orang sakit, dan melariskan dagangan,” katanya.
Setelah nyiram gong sekaten, gamelan itu ditata di Bangsal Sekaten untuk ditabuh selepas Isya malam nanti (7 Maulud). Gamelan lalu dibunyikan pada pagi, siang, sore, dan malam hingga 12 Maulud atau puncak acara Maulid Nabi Muhammad SAW, yakni Panjang Jimat.
Sayangnya, selama nyiram gong sekaten, tak satu pun pejabat Pemerintah Kota Cirebon, apalagi Pemerintah Provinsi Jabar dan pemerintah pusat, yang hadir. Padahal, acara itu melambangkan ajang membersihkan diri. Di tengah maraknya kasus korupsi di Cirebon, sepertinya tepat jika acara ini ikut menjaga pejabat negara dari godaan jahat yang bakal menyengsarakan rakyat.