Menjaga Asa Penyintas Bencana
Para penyintas bencana di Palu dan Lombok memilih kembali bekerja, sebagian lainnya mencoba usaha dan pekerjaan baru untuk menatap hidup baru. Bantuan hunian tetap dan modal usaha dari pemerintah sangat dinanti.
Bencana tidak memupus asa penyintas gempa di Palu dan Lombok. Untuk merajut kembali kehidupan, sebagian penyintas memilih kembali bekerja, sebagian lainnya mencoba usaha dan pekerjaan baru. Bantuan hunian tetap dan modal usaha dari pemerintah sangat dinanti.
Ela (30 tahun), suami, dan anak-anaknya tengah berjuang menata kembali kehidupannya pascabencana melanda Palu. Telah lebih dari setengah tahun ia dan keluarganya tinggal di tenda pengungsian di Balaroa.
Setiap hari ia dibantu anaknya berjualan es lilin yang dijajakan keliling tenda pengungsian. Sementara suaminya bekerja di lahan calon hunian tetap (huntap) di sebelah tenda pengungsian sebagai pekerja bangunan.
Aktivitas pembangunan huntap di Balaroa menjadi oase bagi kehidupan Ela dan keluarga. Setidaknya ia dapat memenuhi kebutuhan dari hasil berjualan, ditambah hasil kerja sang suami.
Ela dan keluarga menjadi salah satu contoh pengungsi yang berusaha bangkit dari duka bencana di Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong pada 28 September 2019. Ia dan pengungsi lainnya kini harus kembali menata ulang kehidupan yang telah dibangun.
Tak hanya di daerah itu saja, gempa bumi yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat berturut-turut pada 29 Juli 2018 (M 6,9), 5 Agustus 2018 (M 7,0), dan 19 Agustus 2018 (M 6,9) juga memberi ujian hidup masyarakatnya.
Selang setahun lebih, korban bencana alam di kedua wilayah itu sebagian besar masih tinggal di tenda pengungsian dan hunian sementara (huntara). Rumah dan harta benda mereka ada yang rusak, hancur, bahkan hilang.
Anggota keluarga mereka juga banyak yang menjadi korban meninggal. Pekerjaan sehari-hari pun tidak ada karena usaha yang dikerjakan rusak ataupun hilang.
Sementara bagi pekerja formal selain di pemerintahan juga terdampak karena tempat usaha hancur. Akhirnya, sehari-hari sebagian besar pengungsi hanya menghabiskan waktu di sekitar tenda pengungsian ataupun huntara.
Sekitar pengungsian
Gambaran akivitas penyintas di seputar lokasi pengungsian juga terekam dari hasil survei Kompas pada 21-25 Oktober 2019 kepada 200 penyintas di Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat dan Lombok Utara) dan Sulawesi Tengah (Palu dan Sigi).
Dari 200 responden pengungsi, sebagian besar (176 orang) memiliki pekerjaan sebelum terjadi bencana alam. Namun, saat ini sebanyak 27,8 persen hanya mengisi kegiatan dengan berkumpul dan berbincang-bincang dengan tetangga di lokasi hunian sementara.
Masih dalam lingkungan pengungsian atau huntara, mereka juga banyak yang menghabiskan waktu bersama keluarga bahkan sekadar menghabiskan waktu sendiri (20,5 persen). Ada pula yang mengikuti kegiatan yang disediakan pemerintah maupun pihak swasta di pengungsian atau huntara (10,2 persen).
Kegiatan berkumpul bersama tetangga di area pengungsian atau huntara merupakan kelanjutan dari hubungan sosial yang telah terbangun sebelum bencana. Sebab, kedua wilayah ini memang wilayah yang kuat persaudaraan di sekitar rumah tinggalnya. Apalagi, tetangga sekitar juga dianggap sebagai pihak yang paling menolong saat bencana sampai saat ini.
Terbukti berdasarkan hasil survei Kompas, sebanyak 27,5 persen responden menyatakan bahwa tetangga menjadi pihak yang paling membantu saat bencana. Bahkan, 42 persen responden merasa bahwa tetanggalah yang sampai saat ini masih membantu mereka.
Melihat kondisi sosial sebelum bencana ditambah kesamaan nasib dan situasi pascabencana, tak heran dalam satu lingkungan huntara atau tenda pengungsian, pengungsi bahu-membahu.
Upaya bangkit
Hasil survei juga menunjukkan bahwa pengungsi kehilangan aset, akses, dan aktivitasnya untuk bertahan hidup sehari-hari. Sebagian besar pengungsi menyadari bahwa mereka harus bangkit untuk memulai kembali kehidupannya dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Setidaknya 19,5 persen responden menyatakan bahwa mereka telah kembali bekerja meski pekerjaannya berbeda dengan pekerjaan sebelumnya. Ada yang bekerja dalam sektor formal, kembali ke pekerjaan lamanya, dan ada juga yang berdagang, bertani, dan beternak.
Sementara 21 persen lainnya masih mencari pekerjaan. Harapannya, dengan mereka bekerja kebutuhan keluarga terpenuhi tanpa harus bergantung pada bantuan.
Sebagian besar responden juga ditopang oleh anggota keluarga lainnya yang telah kembali bekerja. Setidaknya 67 persen responden mengatakan bahwa perekonomian mereka saat ini disokong oleh anggota keluarga lain yang telah bekerja kembali.
Selain itu, sebanyak 25 persen responden mengandalkan bisnis atau usaha keluarga yang masih dapat menghasilkan pendapatan, seperti sawah, ladang, atau toko. Sementara 4,5 persennya mengandalkan simpanan tabungan dan menjual barang-barang yang tersisa.
Temuan ini menggambarkan keinginan para penyintas untuk kembali berdaya menjalani hari-hari pascabencana. Berbagai upaya mendapatkan penghasilan merupakan strategi penghidupan para penyintas untuk bertahan (survival) dari guncangan bencana.
Dukungan
Meskipun mayoritas pengungsi hanya mengisi waktu luang dengan kegiatan di area pengungsian atau hunian sementara, mereka sangat membutuhkan modal usaha. Sebanyak 50,5 persen responden mengungkapkan membutuhkan dukungan modal sebagai aset mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meskipun bantuan modal usaha masih dinanti-nantikan, pihak pemerintah dan swasta telah memberikan bantuan lain, yaitu program pemberdayaan masyarakat. Program tersebut diharapkan dapat menjadi pekerjaan sehari-hari sehingga para pengungsi dapat memenuhi kebutuhannya.
Di Kota Palu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyediakan sarana pemasaran produk-produk olahan rumah tangga pengungsi. Sebelumnya, enam kelompok usaha kecil telah dibentuk sebagai program pemberdayaan masyarakat.
Upaya pemerintah dan masyarakat memperbaiki perekonomian daerah juga dilakukan di Lombok, NTB melalui sektor pariwisata yang menjadi andalan daerah tersebut.
Tempat wisata telah dibuka kembali. Acara-acara berstandar internasional seperti Simposium Keenam Jaringan Taman Bumi Asia Pasifik dan Mataram Jazz 2019 dilaksanakan sebagai ajang promosi kembali pesona Lombok.
Berbagai upaya yang dilakukan pengungsi membuktikan semangat penyintas untuk bangkit dari duka pascabencana. Dukungan dan bantuan dari pemerintah, swasta, dan masyarakat daerah lain menjadi secercah harapan untuk membangun kembali masa depan pengungsi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mencegah Derita Kedua Pengungsi Bencana