Para jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi terus mematangkan poin-poin dalam memori kasasi yang akan diajukan ke Mahkamah Agung terkait putusan bebas terhadap mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Para jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi terus mematangkan poin-poin dalam memori kasasi yang akan diajukan ke Mahkamah Agung terkait putusan bebas terhadap mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir. Jaksa meyakini, majelis hakim mengabaikan sejumlah fakta dan bukti yang muncul dalam persidangan.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menegaskan bahwa semua bukti dan fakta yang dihadirkan dalam persidangan itu kuat. Dalam perkara suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1, keterlibatan Sofyan didalami sejak 13 Juli 2018 setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan dan menetapkan dua tersangka, yaitu Eni Maulani Saragih, Anggota Komisi VII DPR RI dan Johannes Budisutrisno Kotjo, pengusaha.
Dalam pengembangan perkara, KPK pun kembali menetapkan dua tersangka lain, yakni Idrus Marham, mantan Menteri Sosial dan Samin Tan, pengusaha. Sementara Sofyan ditetapkan sebagai tersangka pada 23 April 2019.
“3 dari 4 orang tersebut (Eni, Kotjo, dan Idrus) telah divonis bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam proses persidangan telah terungkap bagaimana dugaan peran Sofyan sebagai Direktur Utama PLN kala itu,” kata Febri, melalui keterangan pers, Rabu (6/11/2019).
Sofyan didakwa sebagai pembantu dalam suap yang dilakukan oleh Kotjo kepada Eni dan Idrus dengan otal suap yang diberikan mencapai Rp 4,75 miliar. Dalam perkara ini, Sofyan diduga membantu mempercepat proses kesepakatan proyek PLTU Riau-1.
“(Sofyan) mempertemukan Eni dan Kotjo dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1. Pertemuan dilakukan di kantor, rumah terdakwa (Sofyan),” kata Febri.
Selain itu, Sofyan meminta kepada Direktur Perencanaan PT PLN sebagai jawaban dari permintaan Eni dan Kotjo agar proyek PLTU Riau-1 tetap dicantumkan dalam RUPTL PT PLN 2017-2026. Sofyan pun menandatangani Power Purchase Agreement (PPA) proyek pada 29 September 2017, sebelum semua prosedur dilalui dan hal tersebut dilakukan tanpa membahas dengan Direksi PLN lainnya. PPA secara resmi tertanggal 6 Oktober 2017.
“Padahal, saat PPA ditandatangani, belum dimasukkan proposal penawaran anak perusahaan, belum ada penandatanganan Letter of Intense, belum dilakukan persetujuan, evaluasi, dan negosiasi harga jual-beli listrik antara PLN dengan anak perusahaan atau afiliasi lainnya,” ujar Febri.
Oleh karena itu, KPK menerapkan pasal suap yang dihubungkan dengan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP yang mengatur, dipidana sebagai pembantu kejahatan, mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
“Pemenuhan Pasal 15 UU Tipikor atau Pasal 56 ke-2 KUHP ini tidaklah mensyaratkan pihak yang membantu harus mendapatkan keuntungan langsung,” ujar Febri.
Majelis hakim
Jaksa penuntut umum, kata Febri, juga telah menyisir pengetahuan Sofyan tentang adanya suap dari Kotjo kepada Eni. Hal ini pernah disampaikan Sofyan pada saat pemeriksaan saksi dalam perkara Eni bahwa Sofyan diberitahu Eni bahwa Eni mengawal perusahaan Kotjo dalam rangka menggalang dana untuk partai politik (parpol). Namun kemudian Berita Acara Pidana (BAP) yang memuat kesaksian tersebut dicabut.
Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan keterangan Eni yang menyatakan, Eni memberitahu Sofyan bahwa ia ditugaskan untuk mengawal perusahaan Kotjo guna mencari dana untuk parpol.
“Majelis Hakim juga tidak mempertimbangkan peran terdakwa (Sofyan) dalam mempercepat proses proyek PLTU Riau-1 dengan cara yang melanggar sejumlah aturan. Poin-poin ini akan kami matangkan dalam memori kasasi yang disiapkan JPU,” kata Febri.
Hingga hari ini, KPK baru menerima petikan putusan dan belum menerima salinan putusan secara lengkap. Poin-poin yang telah diidentifikasi berdasarkan hasil analisis KPK terhadap pertimbangan yang disampaikan hakim secara lisan di pengadilan.
“Meskipun KPK kecewa dan memiliki pendapat yang berbeda dengan putusan tersebut, namun sebagai institusi penegak hukum KPK harus tetap menghormati kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial,” ucap Febri.
Secara terpisah, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Diponegoro, Pujiyono menyampaikan, kalau memang fakta yang dihadirkan jaksa penuntut umum tidak diperhatikan dalam konteks hakim mempertimbangkan, jelas itu dapat menjadi alasan kuat untuk mengajukan kasasi ke MA. Sebab, hakim dapat dinilai keliru dalam menerapkan hukum.
“Hakim kan harusnya memutus berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan, yang muncul dari keterangan saksi, bukti tertulis, hingga keterangan ahli. Peradilan harusnya menghadirkan kepastian hukum,” ujar Pujiyono.
Kalau memang fakta yang dihadirkan jaksa penuntut umum tidak diperhatikan dalam konteks hakim mempertimbangkan, jelas itu dapat menjadi alasan kuat untuk mengajukan kasasi ke MA
Memang salah tidaknya majelis hakim belum dapat disimpulkan karena harus mempelajari lebih dalam dan teliti terkait putusan pengadilan. Namun, bagaimana pun KPK harus tetap mengajukan kasasi ke MA.
“KPK jangan berhenti, jangan mundur (untuk mengajukan kasasi ke MA) karena persoalannya saya yakin bahwa dengan keadaan aktor politik dan pengusaha sudah dihukum, maka dari sisi logika, mestinya ada keterlibatan di sana, tapi keterlibatannya bagaimana itu yang perlu diteliti lagi,” ujar Pujiyono.