Dari Penebangan Pohon di Cikini ke Polemik Kota Hijau
Pohon seakan hal yang remeh, tetapi kehadirannya penting bagi peradaban kota. Keberadaan pohon bagi sebuah kota menjadi perbincangan warga Jakarta di media sosial saat ditebangnya sejumlah pohon di Cikini Jakarta Pusat.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pohon seakan-akan hal yang remeh, tetapi kehadirannya penting bagi peradaban kota. Keberadaan pohon bagi sebuah kota menjadi perbincangan di media sosial, khususnya warga Jakarta, saat ditebangnya sejumlah pohon di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Akun twitter @galeshka memublikasikan gambar kondisi pasca-penebangan pohon tersebut pada Senin (4/11/2019). Cuitan akun itu bernada kesal karena tujuh pohon besar di sekitar Stasiun Cikini seakan ditebang secara serampangan. Hal ini pun memancing respons retweet dari ribuan warganet.
Serupa dengan di dunia maya, penebangan pohon juga menuai respons publik di seputaran Cikini. Setyawan (32), pejalan kaki di Stasiun Cikini, mengeluhkan minusnya kehadiran pohon di sana membuat trotoar menjadi tidak teduh.
Pendapat serupa juga terlontar dari Wito (36), tukang ojek di Cikini. Ia dilematis dengan keberadaan pohon besar di sana, yang membuat teduh, tetapi rentan tumbang saat hujan melanda.
”Saya sih senang saja berteduh di sekitar pohon sambil menunggu order-an, tapi takut juga kalau tiba-tiba pohonnya tumbang terus menimpa orang-orang begitu,” ujar Wito, Selasa (5/11/2019).
Belakangan diketahui, Dinas Kehutanan DKI Jakarta menebang pohon itu untuk alasan keselamatan publik. Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Suzi Marsitawati menuturkan, kondisi pohon angsana (Pterocarpus indicus) yang berada di sana sebagian sudah keropos dan dikhawatirkan tumbang.
”Kondisi akarnya sudah tidak seimbang dengan batang yang ada di atas. Perakarannya juga keropos karena telah berusia sekitar 30 tahun bila ditanam sejak 1980-an,” ujar Suzi.
Kondisi akarnya sudah tidak seimbang dengan batang yang ada di atas. Perakarannya juga keropos karena telah berusia sekitar 30 tahun bila ditanam sejak 1980-an.
Kepala UPT PTP Dinas Kehutanan DKI Jakarta Yati Sudiharti menjelaskan, pohon angsana akan diganti dengan pohon tabebuya (Tabebuia rosea) yang termasuk kategori pohon berdiameter batang kecil, sekitar 20 sentimeter. Pohon ini dipilih karena dapat menyerap polutan meski usianya lebih pendek dari pohon besar seperti angsana.
Meski menyerap polutan, penanaman tabebuya menuai respons penolakan dari kalangan pengamat. Koordinator Pusat Studi Perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menyatakan, penanaman tabebuya tidak akan bisa menyamai fungsi ekologis yang dimiliki pohon besar, seperti angsana, palem raja (Roysonea regia), atau beringin (Ficus benjamina).
Mengutip riset Air Quality Effects of Urban Trees and Parks Tahun 2010 oleh National Recreation and Park Association, pohon memiliki sejumlah fungsi ekologis, yakni salah satunya adalah proses transpirasi. Dalam hal ini, pohon mengubah uap menjadi air dalam jumlah yang cukup signifikan melalui daunnya.
Tabebuya kurang bisa mengimbangi angsana sebagai peneduh karena profil tajuknya yang tidak rimbun, serta menggugurkan daun ketika musim berbunga. Secara otomatis, pohon ini pun tidak cocok sebagai peneduh kawasan.
Proses transpirasi tersebut yang dapat mereduksi suhu udara setempat menjadi lebih sejuk. Suhu udara yang tereduksi juga mengarah pada berkurangnya jumlah polutan. Sebab, emisi polutan berhubungan dengan suhu udara dan debu.
Akademisi ekologi pohon dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Ichsan Suwandhi, menjelaskan, untuk menyerap polutan, kota idealnya membutuhkan pohon berukuran besar. Namun, Pemprov DKI Jakarta justru memilih pohon yang ukurannya lebih kecil.
”Tabebuya kurang bisa mengimbangi angsana sebagai peneduh karena profil tajuknya yang tidak rimbun, serta menggugurkan daun ketika musim berbunga. Secara otomatis, pohon ini pun tidak cocok sebagai peneduh kawasan,” ucap Ichsan.
Nirwono menilai, keberadaan tabebuya kurang memenuhi fungsi pohon sebagai peneduh kawasan. Padahal, fungsi inilah yang dibutuhkan untuk meredam panasnya suhu udara di Ibu Kota. Menurut dia, fungsi ini juga berkaitan dengan tujuan sebagai kawasan kota hijau yang diwacanakan Pemprov DKI Jakarta.
Kota hijau
Bila menilik literatur, upaya Ibu Kota untuk menghijaukan Jakarta telah berlangsung sejak lama. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dalam buku Ali Sadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi (2012), melangsungkan program penghijauan Jakarta mulai tahun 1970-an, antara lain dengan memilih beberapa jenis pohon seperti angsana dan pohon akasia (Acacia auriculiformis).
Dalam buku tersebut, dikatakan bahwa kedua jenis pohon hanya akan bertahan sekitar 20 atau 30 tahun. Bahkan, The City and The Forest: Plant Life in Urban Singapore yang ditulis Wee YC dan R Corlett (1986) menyebutkan, pohon angsana sebagai ”pohon instan” karena pembibitan hasil stek atau cangkok yang sempat tren pada zamannya. Pohon ini cepat tumbuh besar, tetapi kekuatannya tidak seberapa.
Hingga bertahun-tahun, sebagian pohon yang ditanam belum sepenuhnya berganti. Hal ini pun memicu kejadian pohon tumbang. Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan DKI Jakarta selama Januari hingga Oktober 2019, jumlah pohon yang tumbang ada 171 pohon serta 96 pohon sempal.
Nirwono menyayangkan tidak ada perencanaan matang oleh Pemprov DKI Jakarta, bahkan hingga masa pemerintahan saat ini. ”Belum pernah ada rencana induk untuk merawat pohon, sementara Jakarta sangat ingin menjadi kota hijau. Bila serius, semestinya ada masterplan soal ini,” ujarnya.
Mengenai hal tersebut, Ichsan menyarankan rencana perawatan meliputi pembersihan gulma, pendeteksian hama selama satu atau tiga tahun sekali. Sementara pemangkasan cabang secara berkala, penggantian tanaman, serta pemantauan rutin usia dan kesehatan pohon dapat dilakukan selama enam bulan atau satu tahun sekali.
”Pohon-pohon tidak semuanya sehat akibat lingkungan di kota. Perlu penanganan serius agar dapat mengetahui kondisinya. Keseriusan penanganan ini juga mendukung hadirnya kawasan kota yang lebih hijau,” katanya.
Berkaca pada kondisi saat ini, semua mungkin masih ingin agar kota hijau bukan sekadar jargon. Warga pun mengimpikan konsep ini segera terwujud. Namun, bila melihat pohon tabebuya yang saat ini tertanam di sebagian kawasan Ibu Kota, Pemprov DKI Jakarta masih akan mengedepankan estetika daripada fungsi pohon sebagai peneduh.