Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan ekspor produk sawit. Namun, di dalam negeri, sejumlah hal perlu diperbaiki, antara lain produktivitas.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Mulai Desember 2019, bea masuk minyak sawit mentah (CPO) ke Indonesia sebesar 37,5 persen dan refined bleached deodorized palm oil (RBDO) sebesar 45 persen. Dengan besaran tarif tersebut, pengusaha sawit nasional berharap bisa memperbaiki kinerja ekspor.
Bea masuk -yang sama dengan yang dikenakan India terhadap Malaysia- itu dipastikan dalam pertemuan bilateral Perdana Menteri india Narendra Modi dengan Presiden Joko Widodo di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-35 ASEAN dan KTT lain yang berkaitan di Bangkok, Thailand, Minggu (3/11/2019). Sebelumnya, bea masuk CPO Indonesia ke India 45 persen, sedangkan RBDPO 50 persen.
Dengan bea masuk Indonesia yang disamakan, kami berharap daya saing minyak sawit Indonesia lebih baik.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono, yang dihubungi Senin (4/11/2019), di Jakarta, menyambut baik hasil pertemuan itu. Kinerja ekspor produk sawit Indonesia ke India sempat tertekan hingga Agustus 2019.
"Dengan bea masuk Indonesia yang disamakan, kami berharap daya saing minyak sawit Indonesia lebih baik. Mudah-mudahan kinerja ekspor sawit ke India segera berangsur naik kembali," ujar dia.
Berdasarkan laporan Neraca Pembayaran Indonesia dirilis Bank Indonesia (BI), pertumbuhan ekspor sepuluh komoditas utama nonmigas pada triwulan II-2019 melambat 4,1 persen dibandingkan dengan setahun sebelumnya.
Ekspor minyak nabati, yang sebagian besar berupa minyak sawit, hanya tumbuh 4 persen. Padahal, pada triwulan sebelumnya, tumbuh 13,3 persen. Hal ini disebabkan pelambatan pertumbuhan ekspor riil di tengah perbaikan terbatas pada harga ekspor. Penurunan kinerja ekspor minyak nabati terjadi pada tujuan India, Pakistan, Belanda, Spanyol, dan Italia.
Berdasarkan data Gapki, ekspor CPO dan produk turunannya dari Indonesia ke India pada Januari-Mei 2018 sebanyak 2,035 juta ton. Pada periode yang sama 2019, volume ekspornya turun 9,48 persen menjadi 1,8 juta ton.
Sesuai perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif India-Malaysia (India-Malaysia Comprehensive Economic Cooperation), India menurunkan bea masuk bagi Malaysia, dari 44 persen menjadi 40 persen untuk CPO dan 54 persen menjadi 45 persen untuk produk turunan CPO. Bea masuk ini berlaku per Januari 2019 (Kompas, 2/7/2019).
Produktivitas
Menurut Mukti, persaingan dalam perdagangan sebenarnya hal biasa, termasuk CPO dan produk turunannya. Agar mampu berkompetisi, daya saing produk harus ditingkatkan. Caranya, antara lain, dengan meningkatkan produktivitas perkebunan, industri, serta menekan ongkos produksi.
Perihal tingkat produktivitas perkebunan, rata-rata produktivitas untuk perusahaan besar sekitar empat ton per hektar. Sementara, rata-rata produktivitas perkebunan sawit rakyat sekitar dua ton per hektar.
Mukti menambahkan, ekspor CPO masih menggunakan Pelabuhan Belawan (Sumatera Utara) dan Pelabuhan Dumai (Riau). Padahal, pabrik dan perkebunan sawit lebih banyak tersebar di Sumatera bagian selatan dan Kalimantan.
Menurut Menteri Luar Negeri LP Marsudi, kepastian kesamaan tarif yang diberikan Perdana Menteri India Narendra Modi merupakan bagian dari upaya meningkatkan kerja sama ekonomi Indonesia-India (Kompas, 4/11/2019).
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menyampaikan pandangan senada. Menurutnya, jika pemerintah ingin industri sawit Indonesia semakin kompetitif, ada sejumlah hal yang mesti diperbaiki selain produktivitas, yakni biaya logistik dan tenaga kerja.