Solusi untuk mengalihkan mata pencarian warga yang menambang minyak secara ilegal di Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin di Kabupaten Batanghari, Jambi, jadi keniscayaan.
JAMBI, KOMPAS - Keterlibatan para oknum menghambat upaya pemberantasan tambang minyak ilegal dalam Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin alias Tahura Senami di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. ”Ada keterlibatan oknum di lapangan. Ini tidak akan saya tutupi karena memang harus diberantas,” kata Eduward Hutapea, Kepala Balai Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, Senin (4/11/2019).
Oknum yang dimaksud, di antaranya kepala dan perangkat desa, yang mengorganisasi praktik itu dengan mengatasnamakan masyarakat desa. Ada pula sejumlah oknum membekingi, tetapi ia tak menyebut asal instansinya. Akibat itu, tiap kali digelar operasi, selalu ditanggapi dengan perlawanan yang melibatkan massa.
Pihaknya mengaku tidak bisa bekerja sendiri karena aliran minyak hulu ke hilir berlangsung terorganisasi melampaui batas kewenangannya untuk menindak. Minyak dari sana leluasa dipasok ke tempat-tempat penyulingan ilegal.
Ada keterlibatan oknum di lapangan. Ini tidak akan saya tutupi karena memang harus diberantas.
Dari situ, hasil penyulingan leluasa pula dipasok ke tempat penjualan bahan bakar minyak eceran di tepi-tepi jalan. Di pedagang eceran, hasil minyak ilegal dijual dengan harga lebih murah sehingga serapannya tinggi. Penindakan di hilir membutuhkan ketegasan penegak hukum.
Sepanjang 2017, pihaknya tiga kali menggelar operasi pemberantasan tambang minyak liar di tahura. Namun, setelah petugas keluar, pekerja kembali beroperasi. ”Kami tertibkan hari ini, besok mereka muncul kembali. Berulang-ulang seperti itu,” katanya.
Ketimbang menangkap ribuan petambang, lebih baik pemerintah daerah menghadirkan solusi berupa sumber ekonomi lain yang tidak merusak alam. Alternatif sumber ekonomi dapat menarik warga meninggalkan tahura. Namun, jika tambang tetap berjalan, hendaknya dikelola secara legal.
Terkait informasi keterlibatan oknum aparat membekingi aktivitas itu, Kepala Polres Batanghari Ajun Komisaris Besar Muhamad Santoso mengaku belum mengetahuinya. Namun, ia akan menindak jika terbukti ada oknum polisi yang terlibat.
Kepala Seksi Tahura Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari Sandhya Ananda menilai, selama ini masyarakat hanya dijadikan alat oleh para pemilik modal dan aktor untuk mengeruk keuntungan dari praktik liar itu. ”Urusan perut rakyat dijadikan alasan, tetapi sebenarnya ini urusan segelintir orang yang ingin mengeruk kekayaan di sana,” katanya.
Akibat tambang ilegal, kerusakan tahura kian parah. Kategori kerusakan tidak semata pada ekosistem darat, tetapi telah mencemari ekosistem di Sungai Berangan dan Sungai Bulian yang menjadi bagian dari aliran Sungai Batanghari. Kehidupan satwa di sana lenyap sejak tiga tahun terakhir.
Urusan perut rakyat dijadikan alasan, tetapi sebenarnya ini urusan segelintir orang yang ingin mengeruk kekayaan di sana.
Akibat pencemaran itu, warga pun tak dapat memanfaatkan air bersih dari mata air ataupun sungai. Diperkirakan 15.000 warga di tiga desa, yakni Bungku, Pompa Air, dan Mekar Jaya, Kecamatan Bajubang, terpaksa mendapatkan air bersih dengan cara membeli. Sebab, air dalam sumur-sumur telah tercemar.
Hasil survei kesehatan lingkungan oleh DLH Batanghari menyimpulkan, lokasi tambang ilegal itu tidak layak lagi dihuni makhluk hidup. Suhu udara dan air meningkat tajam, sedangkan keasaman (pH) air semakin tinggi. Air sumur didapati ber-pH 5, tidak layak konsumsi karena terlalu asam.
Limbah minyak hasil tambang menggenang di mana-mana, meresap ke air tanah dan sungai-sungai di sekitarnya. Tingkat kebisingan pun mencapai 63,93 desibel, melampaui ambang batas yang bisa ditoleransi telinga manusia, yakni 55 desibel. Sementara tingkat kelembaban udara mencapai 68,02 persen, melebihi ambang batas 40-60 persen.