Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengonfirmasi dimulainya proses formal penarikan diri Amerika Serikat dari Perjanjian Paris. Langkah Gedung Putih itu mengundang kecaman dari dalam negeri.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Gedung Putih mengajukan dokumen untuk menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris sebagai langkah resmi pertama keluar dari pakta global tersebut. Langkah ini memperlihatkan keseriusan Amerika Serikat untuk menolak berkomitmen dalam melawan perubahan iklim.
Perjanjian Paris merupakan perjanjian negara-negara untuk mitigasi emisi gas karbon yang dibuat pada 2015. Perjanjian ini ditandatangani oleh lebih dari 190 negara. Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengumumkan penarikan diri AS dari perjanjian tersebut pada Juni 2017.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengonfirmasi dimulainya proses formal penarikan diri dari Perjanjian Paris melalui Twitter, Senin (5/10/2019).
Menurut Pompeo, AS telah memangkas produksi emisi karbon dalam beberapa tahun terakhir meskipun produksi energi ikut meningkat.
”Hari ini, kami memulai proses formal penarikan diri dari Perjanjian Paris. AS bangga dengan catatan kami sebagai pemimpin dunia dalam mengurangi emisi karbon, meningkatkan ketahanan, menumbuhkan ekonomi, dan menjamin energi bagi warga,” katanya.
Sejak mengumumkan rencana pengunduran diri dari Perjanjian Paris, AS terikat peraturan untuk menunggu hingga 4 November 2019 sebelum dapat mengajukan dokumen penarikan diri. Sebelum resmi keluar, AS akan tetap berpartisipasi dalam negosiasi aspek-aspek teknis dari perjanjian.
AS merupakan negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia sepanjang sejarah. Apabila keluar dari Perjanjian Paris, AS akan menjadi satu-satunya negara yang tidak mengikuti perjanjian tersebut.
AS menandatangani Perjanjian Paris di bawah pemerintahan Presiden ke-44 AS Barack Obama. Menurut perjanjian, AS berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26-28 persen pada 2025 dari level yang terdapat pada 2005.
Donald Trump sebelumnya telah berkampanye untuk mencabut komitmen itu. Ia berdalih komitmen itu merugikan ekonomi AS karena, di saat bersamaan, negara produsen emisi karbon lainnya meningkatkan emisi, seperti China.
Menteri Lingkungan Hidup Spanyol Teresa Ribera menuturkan, penarikan diri resmi AS dari perjanjian tidak mengejutkan. Namun, hal itu tetap memberikan pukulan bagi Perjanjian Paris.
”Saya sangat menyesali keputusan itu. Tidak peduli bagaimana berita itu diumumkan, hal itu tidak mengurangi kekhawatiran yang ada,” ujar Ribera. Spanyol akan menjadi tuan rumah pertemuan perubahan iklim pada awal Desember 2019.
Saya sangat menyesali keputusan itu. Tidak peduli bagaimana berita itu diumumkan, hal itu tidak mengurangi kekhawatiran yang ada.
Langkah Gedung Putih mengundang kecaman dari dalam negeri. Sejumlah negara bagian di AS yang mayoritas dikuasai Demokrat mulai mengimplementasi pelbagai kebijakan untuk mitigasi emisi karbon.
”Presiden (terpilih) berikutnya perlu segera bergabung kembali dengan perjanjian tersebut. Ia juga harus berkomitmen melakukan transformasi energi bersih secara cepat dan menyeluruh yang dibutuhkan akibat keadaan iklim darurat,” kata Jean Su, Direktur Energi Pusat Keanekaragaman Hayati di Arizona.
Ketiadaan kepemimpinan nasional AS dalam menangani isu perubahan iklim membuat sejumlah negara bagian mengimplementasi aturan sendiri untuk mengurangi produksi emisi karbon. Negara-negara bagian tersebut juga mendorong penggunaan energi berkelanjutan, seperti energi surya dan bayu.
Direktur Kebijakan Persatuan Ilmuwan Peduli (USC) Alden Meyer menambahkan, negara-negara bagian dan perusahaan yang berkontribusi terhadap lebih dari setengah produk domestik bruto (PDB) AS tetap berkomitmen terhadap tujuan dari Perjanjian Paris.
”Tidak seperti presiden, mereka memahami bahwa pengurangan emisi menciptakan pekerjaan dan melindungi masyarakat lokal. Tidak adanya tindakan terhadap iklim merupakan ancaman nyata bagi kemakmuran,” ucapnya.
Panel Antarpemerintah PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun lalu melaporkan, bumi memiliki waktu sekitar satu dekade untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan bahan bakar fosil secara cepat. Hal ini diperlukan untuk menjaga suhu global tidak naik lebih dari 1,5 derajat celsius.
Di luar ambang batas itu, bumi akan mengalami dampak perubahan iklim yang lebih dramatis. Beberapa di antaranya adalah kenaikan permukaan laut, badai, kekeringan, banjir, dan gelombang panas yang lebih sering. (REUTERS)