Tim ad hoc yang dibentuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih menelusuri pejabat atau anggota staf di lingkungan Pemprov DKI yang melakukan kesalahan dalam pengisian rancangan KUA PPAS tahun 2020.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim ad hoc yang dibentuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih menelusuri pejabat atau staf di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI yang melakukan kesalahan dalam pengisian rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara Jakarta 2020. Jika kesalahan itu terbukti, sanksi disiplin hingga pemecatan pegawai sangat mungkin dilakukan.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta Chaidir di Jakarta, Senin (4/11/2019), mengatakan, hingga kini, investigasi masih terus berjalan di seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Investigasi difokuskan di bidang perencanaan anggaran di setiap SKPD.
”Di setiap SKPD itu, kan, ada tata usahanya dan tim perencanaan (anggaran). Kami lagi mau investigasi kelemahannya di mana,” ujar Chaidir.
Pembentukan tim ad hoc merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Dari PP itu, Anies membuat Keputusan Gubernur Nomor 128 Tahun 2019 yang berisi pembentukan tim pemeriksa ad hoc atas dugaan pelanggaran disiplin PNS.
Tim diketuai Sekretaris Daerah DKI Saefullah. Kemudian, anggota tim ad hoc meliputi asisten pemerintahan di Sekretariat Daerah, inspektorat daerah, BKD, dan biro hukum.
Atas landasan PP No 53/2010, Chaidir menyebut, hukuman disiplin hingga pemecatan bisa dilakukan terhadap pejabat atau anggota staf yang terbukti lalai menjalankan tugas dan fungsi sebagai PNS.
”Kalau seandainya itu ada kelalaian di human error, kami kasih hukuman sesuai PP No 53/2010. Sanksi bisa copot jabatan, Kasubag (Kepala Sub-bagian) TU bisa copot, bahkan kepala dinas. Sebab, mereka tidak menjalankan tugas dan fungsi secara benar. Makanya, kami mau urut satu per satu dari bawah,” ucap Chaidir.
Perencanaan buruk
Secara terpisah, anggota Badan Anggaran DPRD DKI dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya Sarana, menyampaikan, tim ad hoc perlu mendalami sejak tahapan awal perencanaan anggaran di SKPD karena dari proses itu komponen anggaran janggal bisa masuk.
”Perencanaan anggarannya kacau. Dengan plafon (anggaran), mereka jadi asal isi. Sebab, di sistem (e-budgeting) yang ada, mereka enggak bisa upload (ke sistem) kalau enggak ada komponen. Jadi, peluang ngasal isinya di sana. Yang penting dapat dulu duitnya,” kata William.
Secara terpisah, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, hubungan antara e-planning dan e-budgeting harus jelas. Artinya, perencanaan harus terukur jelas mengenai tujuan pembelian barang-barang.
”Sebetulnya e-budgeting itu, kan, apa yang dicapai setiap tahun, kemudian diterjemahkan dalam budget. Harus detail sampai yang namanya beli alat tulis, tetapi kemudian enggak seperti itu. Masa beli lem Aica Aibon sampai sebesar itu, pasti ada kesalahan,” ujar Agus.
Sebelumnya Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mencuit di akun Twitter-nya bahwa KPK mengakui sistem e-budgeting yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Surabaya sering dijadikan contoh oleh KPK sebagai salah satu yang terbaik dalam sistem penganggaran pemerintah daerah. Menurut Laode, justru dengan e-budgeting anggaran-anggaran yang aneh bisa langsung dikritisi publik.
Seperti diberitakan sebelumnya, polemik anggaran ini mencuat pertama kali ketika Pemprov DKI melalui Dinas Pendidikan merencanakan membeli lem Aica Aibon sebesar Rp 82,8 miliar. Namun, saat ini, mata anggaran tersebut telah dihapus.
Meski begitu, Agus menyatakan belum melihat sinkronisasi antara e-planning dengan e-budgeting. Namun, ia memastikan bahwa memang ada kesalahan dalam perencanaan anggaran di DKI.
Keterbukaan informasi
Pada kesempatan berbeda, Fraksi Partai Solidaritas Indonesia menggelar konferensi pers mengenai mundurnya dua pejabat DKI di tengah polemik rencana KUA-PPAS 2020. Kedua pejabat eselon II itu adalah Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Sri Mahendra serta Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Edy Junaidi.
Juru bicara PSI, Rian Ernest Tanudjaja, menilai, kehadiran tim ad hoc tak akan menyelesaikan polemik anggaran DKI saat ini. Menurut dia, kunci pembenahan ini ada tangan Gubernur DKI sebagai pengawal dokumen-dokumen penganggaran di tahapan terakhir sebelum diserahkan kepada DPRD.
”Gubernur itu, kan, punya janji politik, punya visi-misi politik, punya kebijakan strategi dan prioritas, dan itu seharusnya dikawal. Apakah Anda (Anies) mau penganggaran begitu saja tanpa ada pemeriksaan kembali? Kan, harusnya tidak. Kami harap ada perbaikan dari sini, jangan lagi ada beberapa pejabat yang mengundurkan diri apa pun alasannya atau dipaksa mengundurkan diri,” ucap Ernest.
Gubernur DKI, lanjut Ernest, lebih baik segera memerintahkan Bappeda untuk membuka akses informasi rancangan KUA-PPAS 2020 di situs apbd.jakarta.go.id. Ernest mengaku telah bersurat sebanyak empat kali kepada Kepala Bappeda DKI agar akses informasi itu dibuka.
”Pengunduran diri ini enggak akan terjadi jika sejak awal membuka akses informasi terbuka bagi publik,” kata Ernest.