Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan akan mempelajari lebih lanjut terkait vonis bebas terhadap terdakwa Sofyan Basir.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan akan mempelajari lebih lanjut terkait vonis bebas terhadap terdakwa Sofyan Basir. Upaya hukum melalui kasasi ke Mahkamah Agung pun menjadi pertimbangan bagi KPK dalam memperjuangkan penuntasan perkara suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Setelah divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) 2016-2018, Sofyan keluar dari rumah tahanan KPK pada Senin (4/11/2019) sore pukul 17.55. Sofyan keluar mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu dan dijemput mobil Alphard berplat B 786 MSA.
“Alhamdulillah, alhamdulillah. Saya ucapkan terima kasih banyak. Saya mau pulang ke rumah, mau istirahat,” ujar Sofyan saat keluar dari rumah tahanan.
Dalam persidangan tadi pagi, Sofyan dibebaskan dari segala dakwaan pidana perbantuan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1. Sofyan dikatakan tidak terbukti memfasilitasi pemberian suap sebesar Rp 4,75 miliar dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo kepada politikus Golkar Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham.
Kuasa Hukum Sofyan, Soesilo Aribowo menyampaikan, dalam pembacaan putusan dikatakan syarat utama pembantuan harus ada unsur kesengajaan. Namun, dalam fakta persidangan, Sofyan tidak terbukti mengetahui adanya suap-menyuap antara Kotjo dengan Eni.
“Putusan itu karena tidak terbukti tuntutan dari KPK kemudian amarnya berbunyi membebaskan Pak Sofyan. Jadi bebas murni sehingga tadi ditawarkan Pak Majelis Hakim upaya hukum melalui kasasi. Kami tentu siap menghadapi andai kata KPK mengajukan upaya hukum kasasi,” kata Soesilo.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan, KPK terlebih dahulu akan mendiskusikan secara internal dengan para jaksa penuntut umum. Syarif menegaskan akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan tuntutan terhadap Sofyan.
“Nanti Jaksa KPK akan melaporkan kepada kami, setelah itu kami akan mendiskusikan secara internal. Kami akan pelajari lebih detail untuk menentukan sikap selanjutnya (pertimbangan kasasi ke MA),” ujar Syarif.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menyampaikan, vonis bebas kasus yang ditangani KPK di tingkat pertama atau di Pengadilan Negeri bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, mantan Wali Kota Bekasi, Jawa Barat, Mochtar Muhammad juga divonis bebas di Pengadilan Tipikor Bandung pada 11 Oktober 2011.
Ada pun mantan Bupati Rokan Hulu, Riau, Suparman divonis bebas di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 23 Februari 2017. Meski begitu, terhadap keduanya, MA menganulir putusan bebas dan memvonis bersalah.
“Artinya apa? Dalam konteks kali ini selain mempelajari lebih lanjut, jaksa penuntut umum dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan. Langkah-langkah upaya hukum yang bisa dilakukan selain dari proses itu tentu ada kasasi,” ujar Febri.
Namun, upaya kasasi pun harus menunggu putusan resmi dari Pengadilan Negeri. Diharapkan putusan dapat diterima dalam waktu singkat untuk dipelajari lebih lanjut guna menyiapkan langkah hukum selanjutnya.
Vonis bebas kasus yang ditangani KPK di tingkat pertama atau di Pengadilan Negeri bukanlah yang pertama kali.
“Yang pasti KPK tidak akan menyerah begitu saja, ketika ada vonis bebas untuk terdakwa yang diajukan KPK ke pengadilan Tipikor. Apapun vonisnya, berat, ringan, bebas, atau lepas, secara kelembagaan KPK tetap harus menghormati dan menghargai institusi peradilan,” ujar Febri.
Tidak ada standar
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo menegaskan, vonis bebas sangat jauh dari dakwaan yang diajukan KPK. Artinya, tidak memberikan ruang sedikit pun bagi KPK untuk diakui upaya-upaya hukumnya selama ini.
“Meskipun memang kita belum tahu apakah persoalannya karena di tingkat KPK-nya tidak dianggap mampu menunjukkan bukti-bukti di depan pengadilan atau bukti-bukti itu diabaikan dan tidak dijadikan rujukan sama sekali oleh hakim. Kita belum menyimpulkan sampai sana,” kata Adnan.
Namun, keberulangan bebasnya terdakwa dalam tingkat pertama dikarenakan ketiadaan standar bagi hakim dalam memvonis suatu perkara yang membuat terjadinya disparitas putusan. Dengan begitu, para hakim akan memiliki cara pandang berbeda dalam kasus serupa.
Adnan menyarankan agar tidak ada kecurigaan publik bahwa hakim seenaknya sendiri memutus, sebaiknya terdapat standar atau referensi. Meski tidak mengikat, namun upaya penegakan hukum harus bersifat reliable atau tetap sama saat diterapkan dalam situasi apapun.
Sementara itu, Adnan juga menyoroti terkait latar belakang kasus-kasus korupsi Badan Usaha Milik Negara, terutama yang melibatkan jajaran direksi. Menurutnya, semua ini tidak terlepas dari adanya ada pertimbangan dan kalkulasi politik yang membuat BUMN rentan korupsi
Keadaan ini membuat proses hukum tidak dapat dilihat secara netral. Sebab, penunjukan direktur utama BUMN juga dilakukan secara politis, bukan karena orang tersebut memiliki kapasitas di bidangnya.