Patung-patung Penjaga Identitas Kota
Melihat Jakarta bisa dilakukan dengan menyelami sejarah patung-patung bersejarah. Keberadaannya mewakili gaya arsitektur dan arah politik tempo dulu. Sayangnya, tidak semua ikon itu terjaga karena berbagai alasan.
Ada banyak tugu, bangunan, dan patung-patung tua di Jakarta yang menjadi saksi cerita kota masa lalu. Namun, tak semua jejak itu lestari, ada yang hilang, ada yang berganti bentuk. Keberadaannya bergelut dengan kepentingan kota yang kadang tidak bersahabat.
Sinar mentari berganti dengan kerlip bintang pada Sabtu (26/10/2019), saat air mancur menari-menari mengitari Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Tidak sedikit warga yang mampir untuk menikmati sepenggal keindahan di sana. Sebagian melewatkan dengan bercengkerama, ada yang ingin mengabadikan dengan foto.
Tugu Selamat Datang adalah salah satu dari ikon Ibu Kota. Selain itu, orang mengenal Patung Dirgantara di Pancoran, Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Tugu Pemuda, Tugu Tani, dan sejumlah ikon kota lain. Bangunan-bangunan yang tersebut sejauh ini masih hadir di tengah-tengah kesibukan warga kota. Namun tak sedikit peninggalan bersejarah yang sudah hilang dan berganti dengan bangunan lain.
Gambaran itu ditampilkan dalam pameran Segar Bugar: kisah konservasi Jakarta dari 1920-an sampai sekarang, di Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat. Pameran yang digelar Pusat Dokumentasi Arsitektur itu berlangsung sejak 24 Oktober sampai 24 November 2019.
Baca juga : Sketsa Peneropong Zaman
Di pameran itu, ada miniatur tentang Patung Dirgantara, Monumen Selamat Datang, dan Monumen Pembebasan Irian Barat. Patung-patung itu dibangun arsitek Edhi Sunarso atas permintaan Presiden Soekarno.
Menurut kurator Pameran Segar Bugar, Ayos Purwoaji, di zaman awal kemerdekaan, pemerintah tidak begitu peduli dengan peninggalan di masa lalu, terutama bangunan warisan penjajah. Di awal kemerdekaan, aura nasionalisme masih terasa begitu kuat.
Hal itu terjadi lantaran sebagai bangsa yang masih muda, Indonesia membutuhkan modal untuk membangun narasi kebesaran bangsa. Cara yang dilakukan beragam, mulai dari merekonstruksi candi hingga pembangunan monumen-monumen baru.
Yuke Ardhiati dalam bukunya yang berjudul Bung Karno Sang Arsitek (2005), menyebutkan di awal kemerdekaan, Soekarno tidak hanya menolak kolonialisme, namun ingin menghapus ingatan bangsa tentang peninggalan kolonial. Paham kolonialisme diangap telah membuat bangsa ini bermental rendah diri.
Soekarno tidak hanya menolak kolonialisme, tetapi juga ingin menghapus ingatan bangsa tentang peninggalan kolonial. Paham kolonialisme diangap telah membuat bangsa ini bermental rendah diri.
Baca juga : Berlayar Menapaki Masa Lalu di Onrust
Upaya dekolonialisasi dimulai Soekarno dengan mengubah sejumlah kawasan yang bernuansa kolonial sebagai lokasi pembangunan monumen baru. Misalnya, Lapangan Ikada dipilih sebagai lokasi untuk membangun Tugu Nasional dan Taman Merdeka. Sementara itu, Taman Wijayakusuma yang awalnya bernama Wilhelmina Park dibongkar untuk pembangunan Masjid Istiqlal.
Puncaknya, pembangunan Tugu Monas pada 17 Agustus 1961 yang dirancang sendiri oleh Soekarno dibantu arsitek Soedarsono. Tugu itu merupakan national pride Indonesia dan merupakan cerminan jiwa perjuangan untuk tetap mempertahankan kemerdekaan.
Monumen megah yang berdiri di Ibu Kota, pada zaman Soekarno, menunjukkan kalau setiap kekuasaan memiliki pandangan berbeda terhadap peninggalan bersejarah. Hal ini bisa dipahami lantaran persepsi cagar budaya tidak pernah sama dari waktu ke waktu.
”Jadi yang namanya monumen bisa menjadi korban pergantian rezim politik. Monumen yang dibuat pada rezim tertentu bisa jadi dia tidak akan eksis lagi di rezim berikutnya,” kata arkeolog Candrian Attahiyatt, pada Minggu (3/11/2019) di Jakarta.
Baca juga : Merayakan Asal-usul Museum Bahari
Pemugaran
Jika Pemerintahan Indonesia di zaman kemerdekaan merobohkan sebagian monumen kolonialisme, bangsa Belanda punya pandangan berbeda saat masih menguasai Hindia Belanda. Di zaman Belanda, ada lembaga bernama Jawatan Purbakala yang bertugas khusus mengurus seluruh warisan di Indonesia.
”Pada tahun 1920, Belanda juga ada perhatian terhadap Kota Batavia. Jadi, beberapa bangunan, seperti masjid, makam, dan gereja, dipugar Belanda. Konservasi waktu itu berupa pemugaran terutama bangunan yang dianggap sebagai peninggalan bersejarah,” kata Candrian.
”Pada tahun 1920, Belanda juga ada perhatian terhadap Kota Batavia. Jadi, beberapa bangunan, seperti masjid, makam, dan gereja, dipugar Belanda. Konservasi waktu itu berupa pemugaran terutama bangunan yang dianggap sebagai peninggalan bersejarah,” kata Candrian.
Perhatian Belanda akan upaya konservasi itu kemudian diperkuat dengan terbitnya Monumenten Ordonantie pada 1931 yang menjadi payung hukum pertama konservasi cagar budaya. Bagi Belanda, setiap bangunan masa lampau yang ada di Hindia Belanda dianggap sebagai bagian dari sejarah mereka.
”Belanda pada masa itu berpikir bahwa semua yang ada itu warisan yang perlu dijaga. Sebab, Hindia Belanda itu negara mereka,” kata Candrian.
Perbedaan kebijakan konservasi cagar budaya kembali terlihat pada zaman pendudukan Jepang. Meski tak berpengaruh signifikan, Jepang cenderung mendorong masyarakat Indonesia melupakan warisan Batavia.
Hal itu terlihat dari pergantian sejumlah nama-nama jalan di Batavia dengan bahasa Jepang dan Melayu. Beberapa di antaranya Kerkstraat menjadi Djalan Djatinegara atau Pasarstraat menjadi Jalan Soekanegara.
Bangsa Jepang juga merobohkan beberapa patung warisan Belanda termasuk tiga patung monumental atau Waterlooplein di Lapangan Banteng. Tiga patung itu antara lain patung Jonathan Michiels, JP Coen, dan sebuah patung singa. Hal itu dilakukan Jepang untuk menarik simpati masyarakat Indonesia.
Pendekatan ekonomis
Dari berbagai kebijakan konservasi cagar budaya sejak zaman Belanda hingga zaman awal kemerdekaan, terlihat kalau semangat konservasi pada masa itu lebih condong dipengaruh faktor politis. Indonesia baru mengembangkan konservasi cagar budaya dengan tujuan menggaet wisatawan awal 1970-an.
Konservasi dengan tujuan menggaet wisatawan itu mulai dicanangkan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Dia memugar kawasan Jakarta Kota (Kota Tua) pada 1971 dan diresmikan 1974. Pemugaran itu bertujuan memperbaiki kualitas lingkungan Kota Tua yang mulai menurun.
”Dari situ terlihat bahwa Kota Tua memiliki potensi menarik untuk wisata. Jadi, dulu niatnya untuk mempersiapkan Konferensi The Pacific Asia Travel Association/PATA,” katanya.
Pemugaran yang dilakukan Ali Sadikin itu merupakan pemugaran pertama sebuah kota secara makro di Indonesia. Hasilnya, Kota Tua diakui dunia lantaran wajah kota itu dipugar tanpa menghilangkan keaslian bangunan di sana.
Pemugaran yang dilakukan Ali Sadikin itu merupakan pemugaran pertama sebuah kota secara makro di Indonesia. Hasilnya, Kota Tua diakui dunia lantaran wajah kota itu dipugar tanpa menghilangkan keaslian bangunan di sana.
Meski konservasi mulai marak di tahun 1970-an, dasar hukum yang digunakan masih merupakan aturan peninggalan Belanda, yakni Monumenten Ordonantie. Indonesia baru memiliki Undang-Undang Konservasi Cagar Budaya pada tahun 1992. ”Setelah 1992, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” kata Candrian.
Lahirnya undang-undang cagar budaya itu memperluas makna konservasi di Indonedia menjadi pelestarian. Sifat dari pelestarian itu antara lain bertujuan untuk melindungi, pemanfaatan, dan pengembangan.
Kebijakan yang berbeda-beda dari masa ke masa itu berpengaruh signifikan terhadap bangunan-bangunan tua di Jakarta. Dalam setiap era kekuasaan, ada kebijakan yang berbeda-beda tentang peninggalan, sejarah, dan warisan yang perlu diingat, dijaga, atau ditinggalkan.
Menurut Eko Budihardjo dalam bukunya yang berjudul Arsitektur sebagai Warisan Budaya (1997), peninggalan bersejarah bisa berubah, bahkan mati. Namun, semangatnya harus diupayakan agar tetap hidup sebab manusia yang hidup pada masa kini selalu nengingat masa lalu dan membayangkan masa depan.
Peninggalan bersejarah itu bagaikan mata rantai sejarah kota yang berkesinambungan. Sudah selayaknya keberadaannya dilestarikan demi terjaganya identitas kota.