Musim 2019 tak akan dilupakan Ashleigh Barty. Pada tahun ini, petenis Australia itu meraih gelar juara WTA Premier, juara Grand Slam, predikat petenis nomor satu dunia, dan gelar juara Final WTA.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
SHENZHEN, MINGGU — Tak ada yang lebih spesial dari musim 2019 sejak Ashleigh Barty menjadi petenis profesional pada April 2010. Tiga tahun setelah sempat meninggalkan dunia tenis karena mengalami masa suram, Barty menjuarai turnamen WTA Premier Mandatory, Grand Slam, petenis nomor satu dunia, dan gelar juara Final WTA dalam satu musim.
Gelar pelengkap dari turnamen putri penutup musim ini juga didapat dalam laga spesial. Petenis putri Australia itu mengalahkan juara bertahan Elina Svitolina, 6-4, 6-3, dalam laga final di Shenzhen Bay Sports Center, China, Minggu (3/11/2019). Ini kemenangan pertama Barty atas Svitolina dari enam petemuan mereka.
Gelar ini didapat dalam debut Barty pada nomor tunggal di Final WTA setelah lolos di nomor ganda dalam dua tahun terakhir. Pada 2017, dia berpasangan dengan sesama petenis Australia, Casey Dellacqua, lalu dengan Coco Vandeweghe (AS) musim berikutnya. Final WTA diikuti delapan petenis tunggal dan delapan ganda terbaik pada setiap musim.
Tak seperti petenis lain yang beralih ke ganda saat sulit bersaing pada nomor tunggal, Barty melakukan sebaliknya. Bermain rangkap di dua nomor sejak berkarier sebagai petenis profesional ini prestasinya lebih bagus pada nomor ganda. Gelar pertamanya diraih pada ganda putri di WTA Birmingham 2013. Pada tahun yang sama, dia menadi finalis Grand Slam Australia Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka. Semuanya bersama Dellacqua.
Karier yang mandek di nomor tunggal membuatnya meninggalkan arena tenis setelah AS Terbuka 2014. Barty beralih profesi menjadi atlet kriket profesional dengan bermain untuk salah satu klub di Queensland, Brisbane Heat.
Meski tampil baik sebagai atlet kriket, hati Barty tak bisa meninggalkan tenis yang digelutinya sejak berusia empat tahun. Dia kembali ke arena tenis pada 2016.
”Selama lebih dari tiga tahun, Ash bekerja keras mencapai posisi ini dan dia berhak mendapatkannya sekarang,” tutur ayah Barty, Rob, pada media Inggris, Herald Sun. Hal itu dikatakan Rob setelah putri ketiga dari tiga bersaudara itu meraih gelar Grand Slam pertama, Perancis Terbuka, Juni.
Tiga bulan sebelumnya, Barty menjuarai WTA Miami, salah satu dari tiga turnamen Premier Mandatory. Ini menjadi gelar pertamanya dari turnamen dengan level tertinggi dalam struktur turnamen WTA tersebut.
Prestasi itu membawa Barty ke puncak peringkat dunia untuk pertama kalinya pada 24 Juni. Sempat digeser Naomi Osaka pada 12 Agustus, dia kembali menjadi nomor satu dunia sejak 9 September dan dipastikan bertahan hingga akhir musim.
Sebelum Barty, ada Evonne Goolagong Cawley, petenis putri Australia yang memuncaki peringkat dunia pada 1976. Namun, Barty-lah yang pertama menempati puncak peringkat dunia pada akhir tahun.
Dengan gelar juara Final WTA, Barty memperoleh trofi Billie Jean King dan hadiah uang 4,42 juta dollar AS (Rp 61,9 miliar). Jumlah ini menjadi yang terbesar bagi juara turnamen tenis, lebih besar dari juara Grand Slam.
Panitia bahkan menyediakan hadiah lebih besar bagi sang juara yang tak terkalahkan dalam tiga laga babak penyisihan grup, semifinal, dan final, yaitu 4,725 juta dollar AS (Rp 66,2 miliar).
”Untuk saya, dan saya pikir bagi petenis lain juga, jumlah hadiah uang bukan fokus utama kami. Namun, itu menjadi kemajuan yang baik bagi tenis,” kata Barty dalam laman WTA.
Bersaing di London
Mundurnya Rafael Nadal sebelum tampil pada semifinal turnamen ATP Masters 1000 Paris membuat persaingan menjadi petenis putra nomor satu dunia akhir musim 2019 akan ditentukan dalam Final ATP di London, Inggris, 10-17 November. Nadal akan bersaing dengan Novak Djokovic untuk menjadi yang terbaik di London, sekaligus menempati puncak peringkat dunia akhir musim, status bergengsi di arena tenis profesional.
Nadal mundur sesaat sebelum melawan Denis Shapovalov (Kanada), Sabtu tengah malam WIB, karena cedera otot perut. Di final, Minggu, Shapovalov harus menyerah pada Djokovic, 3-6, 4-6.
Nadal sebenarnya bisa mengambil alih posisi Djokovic pada puncak peringkat dunia hingga akhir musim dengan gelar juara Paris Masters. Peluangnya menjadi petenis nomor satu pada akhir 2019 lebih besar dibandingkan dengan Djokovic. Akan tetapi, dengan gelar yang gagal diraih Nadal, persaingan pun berlanjut ke London.
”Saya harap cederanya tidak terlalu parah. Saya menyesal harus mengakhiri turnamen dengan cara seperti ini setelah tampil baik dalam tiga pertandingan. Sekarang, saya berharap bisa siap untuk tampil di London. Itu menjadi target besar,” kata Nadal, yang kembali ke Mallorca, Spanyol, untuk mengobati cederanya.
Final ATP menjadi satu-satunya turnamen besar yang belum dijuarai Nadal meski telah 18 kali menjuarai Grand Slam dan meraih emas Olimpiade Beijing 2008. Cedera pada akhir musim sering menjadi penghalang meski dia selalu lolos setiap tahun sejak 2005. Cedera itu membuatnya enam kali batal tampil pada Final ATP, yaitu pada 2005, 2008, 2012, 2014, 2016, dan 2018. Adapun hasil terbaiknya adalah final 2010 dan 2013. (AFP)