Genjot Belanja Sosial Kurangi Kontraksi Perekonomian
Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2019 akan mengalami kontraksi lebih dalam dari perkiraan. Pemerintah disarankan menggenjot realisasi belanja sosial dan dana desa untuk kebijakan kontra siklus sampai akhir tahun.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2019 akan mengalami kontraksi lebih dalam dari perkiraan. Dalam jangka pendek, pemerintah disarankan menggenjot realisasi belanja sosial dan dana desa untuk kebijakan kontra siklus sampai akhir tahun ini.
Eskalasi perang dagang Amerika Serikat-China merupakan salah satu faktor yang membuat sejumlah lembaga dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia. Bank Dunia merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1 persen menjadi 5 persen tahun 2019. Adapun Dana Moneter Internasional (IMF) yang semula memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen merevisi menjadi 5 persen pada 2019.
Di dalam negeri, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia untuk kedua kalinya merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 menjadi berkisar 5-5,1 persen. Revisi pertumbuhan ekonomi juga pada akhirnya dilakukan pemerintah dari proyeksi 5,2 persen menjadi 5,08 persen sepanjang tahun 2019.
”Pemerintah jangan terlalu banyak blunder kebijakan karena solusi jangka pendek tidak terlalu banyak,” ujar Kepala Kajian Makro LPEM UI Febrio Kacaribu dalam konferensi pers proyeksi perekonomian Indonesia di Jakarta, Senin (4/11/2019).
Menurut Febrio, risiko pertumbuhan ekonomi tergelincir di bawah 5 persen sangat mungkin terjadi apabila pemerintah tidak lihai memitigasi tekanan global. Indonesia akan terdampak perlambatan pertumbuhan ekonomi AS dan sejumlah negara Eropa. Hal itu karena arus modal masuk ke negara-negara berkembang melambat.
LPEM UI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 sekitar 4,9 persen. Proyeksi triwulan III itu dinilai terendah sejak 2015. Adapun faktor dominan yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 adalah kinerja ekspor yang negatif dan investasi yang melemah.
Dalam jangka pendek, kata Febrio, pemerintah disarankan menggejot realisasi belanja sosial untuk mengurangi risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Skema bantuan langsung tunai cukup efektif untuk mempercepat perputaran uang dan menciptakan dampak berganda bagi perekonomian.
”Selain belanja sosial, bantuan langsung tunai dalam bentuk dana desa juga mampu mengatasi masalah kesenjangan dan kemiskinan,” kata Febrio.
Mengutip data Kementerian Keuangan, realisasi belanja sosial per 30 September 2019 mencapai Rp 86,9 triliun atau 89,5 persen dari target APBN 2019. Realisasi belanja sosial pada September 2019 itu paling tinggi dibandingkan dengan empat tahun terakhir.
Febrio menambahkan, pemerintah juga harus mulai menyisir belanja yang tidak produktif dan tidak menciptakan dampak berganda bagi perekonomian. Salah satu belanja pemerintah yang dinilai tidak produktif adalah subsidi bahan bakar mesin dan listrik. Kedua jenis belanja subsidi itu mesti dikurangi bertahap.
Pajak tertekan
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi global berdampak ke perekonomian Indonesia lewat tiga jalur, yaitu pasar keuangan karena aliran modal masuk ditentukan kebijakan negara maju, penanaman modal asing langsung, dan neraca perdagangan.
Dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi juga tecermin dalam penerimaan pajak sektoral. Realisasi penerimaan pajak dari seluruh sektor melambat, bahkan beberapa negatif per September 2019. Kontraksi terdalam terjadi pada sektor industri pengolahan, konstruksi dan real estate, serta pertambangan.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi global berdampak ke perekonomian Indonesia lewat tiga jalur, yaitu pasar keuangan karena aliran modal masuk ditentukan kebijakan negara maju, penanaman modal asing langsung, dan neraca perdagangan.
Realisasi penerimaan pajak sektor pertambangan pada September 2019 menurun 20,6 persen menjadi Rp 43,21 triliun, industri pengolahan turun 3,2 persen menjadi Rp 245,61 triliun, serta konstruksi dan real estate turun 1,2 persen menjadi Rp 56,22 triliun.
”Dampak perlemahan pertumbuhan perdagangan global terhadap kinerja APBN terus diwaspadai karena penerimaan pajak dari hampir semua sektor melemah,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Senin.
Sri Mulyani mengatakan, lemahnya kinerja perdagangan internasional juga tecermin pada perlambatan kinerja bea masuk dan bea keluar yang terjadi di beberapa sektor lapangan usaha utama, seperti perdagangan, industri pengolahan, dan pertambangan. Sektor lapangan usaha yang tumbuh hanya pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Eskalasi ketegangan perang dagang AS-China dan ketidakpastian ekonomi global akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Bank Dunia memproyeksikan, pertumbuhan ekspor Indonesia minus 1 persen dan impor minus 3,5 persen sepanjang 2019.
Kondisi itu mulai tampak pada neraca perdagangan Januari-September 2019 yang mengalami defisit 160,5 juta dollar AS atau setara Rp 2,26 triliun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Indonesia sepanjang Januari-September 2019 sebesar 14,09 miliar dollar AS. Angka ini lebih rendah 8 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2018.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah harus bekerja keras dan tetap waspada agar perekonomian tetap tumbuh di atas 5 persen. Selain perdagangan, dampak perang dagang AS-China memengaruhi kinerja investasi. Perekonomian domestik juga terpengaruh perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan India.