Pemerintah berencana mengoptimalkan gas alam dalam negeri sebagai sumber energi. Upaya ini diharapkan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengoptimalkan gas alam dalam negeri sebagai sumber energi. Upaya ini diharapkan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi.
Defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-September 2019 sebesar 1,945 miliar dollar AS. Surplus 4,496 miliar dollar AS perdagangan nonmigas belum cukup untuk menutup defisit perdagangan migas yang sebesar 6,441 miliar dollar AS selama periode itu.
Dengan mengoptimalkan gas alam, pemerintah berharap bisa menekan defisit itu. Salah satu caranya adalah memperkuat infrastruktur jaringan gas rumah tangga untuk menekan impor elpiji. Namun, pemerintah masih punya pekerjaan rumah terkait harga gas untuk industri.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan, selain mengoptimalkan gas alam cair untuk kebutuhan di dalam negeri, pembangunan kilang mutlak untuk mengurangi impor bahan bakar minyak.
”Gas alam dalam negeri untuk jaringan gas rumah tangga bisa mengurangi impor elpiji. Itu yang akan kami pertajam. Berapa nilainya (pengurangan impor elpiji) sedang dalam kajian,” kata Arifin menjawab pertanyaan tentang kebijakan pemerintah mengurangi defisit perdagangan migas.
Terkait harga gas di dalam negeri yang masih menuai polemik, Arifin tak menjawab gamblang. Menurut dia, dibandingkan dengan Malaysia, harga gas di Indonesia lebih murah. Ia berpendapat, sebaiknya harus ada keseimbangan harga antara produsen gas dan konsumen sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. ”Perusahaan tak boleh rugi. Jadi, harus saling memahami dan mendukung (antara produsen gas dan konsumen),” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, apabila pemerintah benar-benar ingin mengoptimalkan gas, industri yang masih menggunakan bahan bakar solar harus dialihkan ke gas.
Menurut dia, 70 persen sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), industri kecil dan menengah (IKM), sampai industri besar di Pulau Jawa menggunakan solar sebagai bahan bakar utama. Pengalihan dari solar ke gas itu perlu penanganan khusus. ”Apakah pemerintah mau? Itu masalahnya,” ujarnya.
Achmad juga menyanggah soal infrastruktur gas yang kerap dijadikan alasan terhambatnya optimalisasi gas di dalam negeri. Menurut dia, peran dua unit kapal regasifikasi dan penyimpanan terapung (FSRU) yang selama ini kurang optimal perlu ditingkatkan lagi.
Selain itu, jaringan pipa di lintas Jawa kurang terhubung di Jawa bagian tengah. ”Sementara jaringan pipa di Sumatera, yang mayoritas milik BUMN, seharusnya open access (penggunaan pipa gas bersama) agar harga gas makin terjangkau konsumen,” ujar Achmad.
Jaringan gas
Sementara itu, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN menambah jaringan gas rumah tangga di Pasuruan dan Probolinggo, Jawa Timur, pertengahan Oktober 2019. Sebanyak 8.150 rumah tangga baru tersambung jaringan gas. Kapasitas gasnya sebesar 0,2 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Menurut Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN Redy Ferryanto, saat ini PGN mengoperasikan 564.445 sambungan rumah tangga dalam jaringan gas. Sampai 2025, pemerintah memberi target 4,7 juta rumah tangga tersambung jaringan gas. Adapun panjang jaringan pipa transmisi dan distribusi gas yang dikelola PGN lebih dari 10.000 kilometer.
”Selain lebih bersih, pemanfaatan gas rumah tangga bisa menghemat subsidi energi hingga Rp 174 miliar per tahun,” kata Redy.