Teknologi di Balik Kesederhanaan
Teknologi, inovasi, dan keberlanjutan menjadi faktor penentu untuk memenangi persaingan di masa depan. Tiga kata kunci ini yang tampaknya coba dipegang erat oleh Uniqlo, merek garmen asal Jepang.
Meski menempatkan diri sebagai produk dengan harga terjangkau, Uniqlo tampak tidak segan-segan menginvestasikan diri pada peningkatan kualitas melalui teknologi.
Pertengahan September lalu, selama sepekan Uniqlo menggelar pameran The Art and Science of LifeWear: New Form Follows Function di Embankment Galleries, Somerset House, London, Inggris. Ekshibisi ini, selain menampilkan produk terbaru untuk musim gugur/dingin 2019, juga memamerkan berbagai produknya yang dibuat berdasarkan teknologi material.
Seri AIRism untuk pria, misalnya, dibuat dari serat poliester yang ketebalannya 1/12 tebal rambut manusia. Seratnya diklaim tiga kali lebih lembut dibandingkan katun, selain ringan dan tipis. Dalam pameran, kaus AIRism dipasang di dalam tabung pipih. Untuk memperlihatkan ia begitu lembut, butiran-butiran pasir dituangkan ke atas permukaan bahan yang kemudian dengan cepat meluncur dibandingkan ketika pasir dituangkan ke atas permukaan kaus dengan bahan katun.
Bahan ini terasa adem ketika dikenakan dan mudah menyerap keringat. Oleh Uniqlo, bahan yang teknologinya merupakan hasil kerja sama perusahaan Toray dan Asahi Kasei ini banyak diolah sebagai pakaian dalam untuk semua musim.
Teknologi lain yang dipamerkan antara lain heattech, blocktech, ultralight down, superiron shirt atau baju yang tetap halus tanpa perlu disetrika, baju rajut yang berasal dari satu helai benang panjang yang dirajut dengan mesin khusus, serta dry-ex yang dibuat dari daur ulang botol PET (polyethylene terephthalate) bekas.
Pameran ini tampaknya sekaligus ingin membalikkan banyak anggapan bahwa Uniqlo adalah produk mode cepat alias fast fashion. Pandangan ini barangkali muncul karena harga Uniqlo yang terjangkau. Nama Uniqlo muncul dalam daftar merek yang termasuk mode cepat, antara lain dalam film dokumenter True Cost.
Bahan ini terasa adem ketika dikenakan dan mudah menyerap keringat.
Merek-merek yang masuk daftar mode cepat dianggap bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan dan eksploitasi tenaga kerja. Pangkal sebabnya adalah produk merek-merek ini yang diproduksi massal dengan cepat dan dijual dengan harga sangat murah. Ini bisa tercapai karena ongkos tenaga kerja yang sangat murah di negara-negara ketiga.
Kualitas material yang kurang baik membuat produk semacam ini hanya dipakai beberapa kali saja, sebelum akhirnya mendarat di tempat sampah. Konsumen tidak mempermasalahkannya mengingat harganya yang murah dan justru mereka bisa mengikuti tren mode secara cepat dengan harga terjangkau.
Tak sekali pakai
”Orang sering salah beranggapan bahwa Uniqlo adalah produk mode cepat. Kami tidak pernah membuat baju ’sekali pakai’. Sebaliknya, kami menciptakan pakaian yang cocok dengan gaya masing-masing orang,” kata Tadashi Yanai, pendiri dan CEO Fast Retailing yang memproduksi Uniqlo.
Menurut Yanai, Uniqlo justru mengumpulkan lebih dari 10 juta produk pakaian bekas dari para pelanggan dan kemudian mengirimkannya kepada yang membutuhkan melalui Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) bersama organisasi sosial non-pemerintah internasional. Program daur ulang ini menjadi komitmen berkelanjutan untuk memberikan bantuan pakaian kepada populasi dunia yang terus bertambah.
Uniqlo mendefinisikan produk mereka simpel, kasual, fungsional, dan terjangkau yang tecermin lewat garis desain mereka yang simpel dan fungsional. Ini agar mudah untuk saling dipadupadankan. Meski memiliki keragaman warna dan gaya, kebanyakan tersedia dalam motif polos.
Orang sering salah beranggapan bahwa Uniqlo adalah produk mode cepat.
Produk ini juga sengaja tidak menempatkan logo merek pada semua produk mereka agar orang leluasa menggunakan sesuai keinginan. ”Uniqlo adalah pakaian sehari-hari untuk semua orang. Kami tidak ingin mendikte orang. Sebaliknya, memperkuat karakter masing-masing dengan produk kami,” tambah Yanai.
Semua pengalaman, visi, dan misi yang berjalan kemudian mewujud menjadi LifeWear, semacam filosofi dan komitmen untuk menghasilkan pakaian yang ”sempurna”, membuat hidup lebih nyaman serta menjawab kebutuhan dan gaya hidup sehari-hari.
Untuk mendukung filosofi ini, Uniqlo menjalin kerja sama strategis dengan Toray Industries, perusahaan kimia asal Jepang yang berdiri tahun 1926. Toray pernah menyuplai serat karbon untuk Boeing 787 selain membuat material ringan lainnya untuk pesawat agar hemat energi. Toray juga membuat sistem pengolahan air untuk mengatasi masalah kekurangan air dan meningkatkan kualitas air yang ada di daerah-daerah terpencil.
Serat
Teknologi serat bahan sandang bukan baru kali ini mereka garap. Sebelumnya, seperti diungkapkan Presiden Toray Industries Akihiro Nikkaku, mereka menyuplai benang poliester untuk bisnis Courtauld yang memproduksi bahan rayon dan viscose. Courtald memiliki galeri di Somerset House, London, yang dikenal dengan koleksi lukisan-lukisan impresionisnya. Gedung ini yang kemudian menjadi lokasi pameran Uniqlo kali ini.
”Kami percaya, material dapat mengubah hidup manusia. Melalui teknologi material terbaru (advanced material) yang kami geluti, kami ingin membantu kehidupan manusia lebih baik,” kata Nikkaku.
Pada tahun 2050, populasi manusia akan mencapai 10 miliar yang diwarnai tantangan perubahan iklim serta menipisnya air dan sumber daya alam. ”Kami ingin menjadi bagian dari solusi dengan menghadirkan teknologi inovatif dan material terbaru untuk menjawab tantangan zaman, termasuk di bidang sandang,” tambah Nikkaku.
Saya ingin membuat baju berkualitas, tetapi tetap terjangkau di seluruh dunia.
Selain Nikkaku, London juga menjadi kota yang bersejarah bagi Yanai karena toko pertamanya di luar Jepang didirikan di sini. Suatu hari di tahun 1987, Yanai masuk untuk pertama kalinya ke toko Next di London. Saat itu, Next mengangkat konsep gaya hidup yang terjangkau dengan mengombinasikan gaya kontemporer dan klasik.
”Saya terinspirasi membuat konsep serupa. Saya ingin membuat baju berkualitas, tetapi tetap terjangkau di seluruh dunia, yang tidak sekadar mengejar tren, tetapi lebih memperhatikan karakter pemakainya,” kata Yanai.
Fast Retailing, yang berdiri tahun 1984, kini memiliki 3.588 toko di 23 negara yang tersebar di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Pendapatan mereka kini mencapai 2,3 triliun yen per tahun.