Nyanyian Laut
Iwang Ahmett (44) dan Tita Salina (46) menyusuri laut untuk menyuarakan kerusakan alam dan ketidakadilan. Karya mereka tak lain serupa nyanyian laut yang menjeritkan kerusakan dan ketidakadilan tadi.
Sore itu, Kamis (24/10/ 2019), kami bertemu di Muara Angke untuk pemotretan. Iwang menenteng koper dan garpu bangkai becak karatan yang dibebat plastik, sementara Tita membawa velg becak yang juga karatan sambil menenteng bendera warna biru, merah, dan emas.
Itu bendera simbol Dystopia yang terinspirasi tumbukan pelat tektonik bumi. Gesekan ini menimbulkan juga gejolak sosial manusia di atasnya. ”Kami menemukan fakta bahwa ketika terjadi gunung meletus, seperti saat Sinabung, Agung, dan Merapi erupsi, tingkat kriminalitas meningkat,” kata Irwan yang akrab disapa Iwang.
Laut utara Jakarta mereka pilih sebagai lokasi pemotretan lantaran lekat dengan gagasan- gagasan mereka dalam berkarya. Tahun ini, Tita membawa karyanya bertajuk 1001st Island ke Canberra, Australia.
Sampah-sampah itu yang entah dari mana asalnya berkumpul di laut. Tita memungut dan merakitnya jadi hamparan sepanjang 5 meter dengan lebar 3 meter. Sampah berbobot 300 kilogram itu dia namai ”1001st Island” karena berada di Kepulauan Seribu. Jadi, itu adalah pulau ke-1.001. Pulau sampah yang bisa dinaiki empat orang itu telah dipamerkan ke belasan negara.
Bobot 300 kilogram itu merujuk pada sampah yang dihasilkan satu orang selama 50 tahun. Lewat karya ini, Tita melontarkan kritik: untuk apa sibuk membuat pulau baru kalau ”pulau” kita sendiri belum teratasi.
”Reklamasi jadi masalah dan isu baru sekarang,” katanya.
Adapun artefak berupa bangkai becak itu merupakan proyek bersama Tita dan suaminya yang berjudul ”35 Tahun di Bawah 33 Meter”. Mereka menyewa penyelam profesional untuk mengambil bangkai becak dari dasar laut. Tahun 1990 pemerintah Orde Baru memusnahkan becak dengan menenggelamkannya ke laut. Mereka memaknai becak sebagai alat ekonomi paling mandiri yang tidak bergantung pada bahan bakar minyak. Pemusnahan becak mereka anggap upaya penekanan dan pengendalian rakyat.
Untuk apa sibuk membuat pulau baru kalau ”pulau” kita sendiri belum teratasi.
Mereka berdua juga mempunyai proyek jangka panjang bertajuk Ziarah Utara yang tahun depan memasuki tahun ketiga. Lewat proyek ini, mereka berjalan menyusuri pantai Jakarta selama 15 hari. Ekspedisi ini melihat perubahan fisik sekaligus sosial masyarakat. Tahun ini mereka menabung untuk membeli perahu kayu agar bisa berziarah lewat sisi laut.
Laut menjadi penting karena bagi mereka, budaya paling besar itu lahir dari pesisir mengingat 70 persen bumi berupa lautan. Begitu juga Indonesia. Nenek moyang kita dikenal sebagai pelaut. Kerajaan Sriwijaya mengusai banyak daerah karena mereka menguasai laut. Kebudayaan yang paling dinamis ada di laut.
Dengan kata lain, semestinya orang-orang pesisir adalah kelompok yang paling maju. Nyatanya tidak demikian dengan Jakarta. Masyarakat pesisir adalah kelompok paling marjinal. Banyak dari mereka menjadi buruh di negeri orang selama bertahun-tahun dan uangnya cepat habis begitu pulang. Jika bertahan di pesisir, maksimal menjadi nelayan atau buruh.
”Terjadi ketidakadilan. Berapa persen pantai yang terbuka untuk umum? Hampir tak ada. Semua menjadi pelabuhan atau industri yang dikuasai swasta,” kata Tita.
”Padahal di negara lain, seperti Australia atau di Sao Paulo, laut itu milik publik. Di kita, narasi laut itu terputus,” ujar Iwang.
Lewat ziarah itu, mereka menemukan ketimpangan nyata. Misalnya orang-orang miskin di pinggir pantai tinggal bersebelahan dengan apartemen dan gedung mewah yang tertutup. Warga harus menyisikan uang sampai Rp 50.000 per pekan untuk air bersih, belum termasuk air minum. Juga tentang perilaku tak sehat manusia Jakarta, salah satunya terkait sampah plastik.
Dalam konteks itu, ziarah mereka maknai sebagai mengunjungi budaya dan kemanusiaan yang mati.
Ekspresi seni Iwang dan Tita sangat variatif, mulai dari instalasi, video, sampai public event.
Sinergi
Tita lahir dan tumbuh dari keluarga mapan. Ayahnya seorang pegawai badan usaha milik negara dengan gaji lumayan sehingga ia tak pernah kekurangan. Keluarganya mengajarkan bahwa hidup memang baik-baik saja.
Pikirannya mulai terpapar pandangan lain ketika bertemu adik kelasnya di IKJ, Iwang Ahmett. Bahwa hidup tak baik- baik saja. Titik tolaknya adalah peristiwa reformasi 1998 ketika Tita menyaksikan kebrutalan massa, penyerangan aparat terhadap mahasiswa, dan beragam kekacauan lain. Peristiwa itu ditambah wacana- wacana yang disuntikkan Iwang membuat Tita sadar bahwa stabilitas itu palsu.
Sejak saat itu dia mulai mencari tahu dan semakin sadar harus melakukan sesuatu. Iwang lalu menjadi rekan yang pas, baik dalam hal asmara maupun aktivisme.
Iwang sendiri lahir dari keluarga sederhana di Ciamis, Jawa Barat. Ibunya punya toko dan studio foto. Dari toko ini, Iwang banyak bertemu orang- orang baru. Dia mengamati interaksi penjual dan pembeli di toko itu lalu menyimpulkan, sesungguhnya yang terjadi bukan hanya transaksi ekonomi, melainkan juga terjadi transaksi kepercayaan.
Di luar nongkrong di toko, Iwang kerap keluyuran menjelajahi kampung.
”Saya sudah biasa bau matahari atau rambut saya kecoklatan seperti karatan, khas anak yang suka keluyuran,” ujarnya.
Mental penjelajah itulah yang antara lain membentuknya jadi sosok yang berani menyisir garis pantai Jakarta. Dia ingin mengungkapkan fakta-fakta kesenjangan, ketidakadilan, sekaligus marjinalisasi terhadap masyarakat pesisir.
Iwang marah melihat semua itu. Kemarahan dia lampiaskan dalam karya seni. Karakter ini sudah muncul sejak kecil. Iwang merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Ketika kecil, abangnya sering merundungnya. Iwang tak berani melawan langsung karena badannya jauh lebih mungil. ”Aku ambil fotonya terus aku vandalis. Aku corat-coret. Habis itu lega,” begitu kisah Iwang.
Saya sudah biasa bau matahari atau rambut saya kecoklatan seperti karatan, khas anak yang suka keluyuran.
Sikap yang sama dia terapkan dalam berkesenian. Dia tak peduli ekspresi seninya itu artistik atau tidak. Yang penting kekesalannya tersalurkan. Syukur jika kemudian memberikan kesadaran kepada orang lain.
Iwang tipe orang yang lebih memercayai insting, sementara Tita cenderung taat pada detail jadwal. Dua pandangan itu kadang menimbulkan konflik. Pada satu titik, mereka saling menginsafi kelemahan diri dan kelebihan pasangannya, lalu adem lagi.
Iwang mempunyai pandangan bahwa di tengah kekacauan, tersembunyi keindahan. Oleh karena itu, bersama Tita dia selalu hadir di beragam unjuk rasa.
”Ketika gas air mata ditembakkan dan ada yang terluka, semua bantu-membantu. Pengemudi mobil mewah, mahasiswa, pemilik warung, semua bersatu. Kekacauan menjadi panggung kemanusiaan. Saling tolong-menolong,” kata Iwang.
Dalam kasus lain. pada suatu saat dia berada di tepi pantai berhadapan dengan sebaran sampah yang luar biasa banyak sampai-sampai sejauh mata memandang hanya sampah. Tidak ada indah-indahnya. Lalu turun hujan dan Iwang tergoda untuk menutup mata. ”Bunyi air hujan yang jatuh di atas sampah plastik secara repetitif dan ritmis itu indah banget. Puitis,” kata dia menceritakan tentang cara mencari dan menemukan keindahan dalam kekacauan.
Rupanya, cara pandang itu dia rasakan sejak 1983 saat masih belia. Ketika itu Gunung Galunggung meletus dan menyebabkan katastrofe. Sepanjang hari terasa malam karena gelap. Gumpalan awan merah dan hitam bergelayut di langit. Namun, ketika petir menyambar, muncul keindahan tak terkatakan. ”Waktu itu saya takut dan membayangkan kiamat, tetapi kok indah banget. Itu menempel sampai sekarang.”
Cara pandang ini juga dipegang Tita. Keduanya sensitif melihat puisi kemanusiaan di tengah kekacauan.
Permata Syailendry Puti Salina
Nama Panggilan: Tita Salina
Lahir: 11 Juni 1973
Pendidikan: Desain Grafis, Institut Kesenian Jakarta, 1991-1995
Proyek seni, antara lain:
- 2010-2014: Urban Play Project, Indonesia, The Netherlands, United Kingdom, Turkey, Iran
- 2013 Urban Bender, Berlin, Germany
- 2018-Ziarah Utara (Pilgrim to the North), Jakarta, Indonesia
Pameran, 38 kali, antara lain:
- 2012 Galleri Ruth, Saltnesveien, Norway
- 2018-2019 ‘52 Artists 52 Actions’ online & offline exhibition, Artspace, Sydney, Australia
- 2019 The Ring of Fire (2014-ongoing), NTUCCA, Singapore
Residensi, 14 kali antara lain:
- 2011 DCR Guest Studio, The Hague, Netherlands
- 2019 Bumi Pemuda Rahayu, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Irwan Ahmett
Nama Panggilan: Iwang
Lahir: 22 Mei 1975
Pendidikan: Desain Grafis, Institut Kesenian Jakarta, 1993-1997
Pembicara pada 22 forum, antara lain:
- 2010 As a speaker at TEDx Jakarta, Indonesia
- 2019 Panel Talk at Bangkok International Performance Art Meeting, Thailand
Proyek seni, antara lain:
- 2014-The Ring of Fire- Geopolitical Turmoil in Pacific Rim
- 2016 Autopsy of History, Jakarta
- 2018-Ziarah Utara (Pilgrim to the North), Jakarta, Indonesia
Pameran, 36 kali, antara lain:
- 2015-13th Biennale Jogja, ‘Hacking Conflict’, Yogyakarta, Indonesia
- 2016-‘From Bandung to Berlin: If All of the Moons Aligned’, Savvy Contemporary, Berlin, Germany
- 2019-2m: The Voices from (Under) the Sea, Jakarta History Museum