Hutan mangrove Sicanang yang selama ini tersembunyi akan tampil sebagai hutan kota yang asri. Destinasi ini akan menjadi tujuan warga beristirahat sejenak dari hiruk pikuk kota.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Hutan mangrove Sicanang tersembunyi dari hiruk pikuk perdagangan dan industri di Kota Medan. Bentang alam seluas 894 hektar itu menjadi alternatif wisata hutan kota. Pengunjung bisa menyusuri ekosistem mangrove menggunakan kapal untuk menyaksikan rerimbunan tanaman dan kehidupan satwa liar di dalamnya.
Ketua Kelompok Sadar Wisata Ekowisata Mangrove Sicanang Rusmiyono bersemangat mendampingi rombongan pengunjung menyusuri hutan mangrove di Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Senin (21/10/2019). Ia memperkenalkan kawasan ekowisata yang mereka kembangkan dengan pendampingan dari Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu).
Rusmiyono mengajak pengunjung berjalan kaki masuk ke hutan mangrove melalui jalur selebar 1 meter dari papan kayu di atas tiang pancang beton yang dibangun setinggi 2-3 meter di atas permukaan rawa yang berlumpur. Menapaki jalur sepanjang 175 meter di antara berbagai jenis tanaman mangrove yang rimbun, suasana terasa sejuk dan asri. Jauh berbeda dengan teriknya kawasan lain di Kota Medan.
Sepanjang jalur, sejumlah tanaman diberi label nama lokal dan nama Latin. ”Kami berharap ekosistem mangrove ini menjadi kawasan ekowisata sekaligus sarana edukasi bagi masyarakat,” katanya.
Ia lalu mempersilakan pengunjung turun ke kapal cepat yang bersandar di tepi paluh (saluran air yang bermuara di laut). Kapal pun berjalan pelan menyusuri ekosistem mangrove.
Suasana terasa sejuk dan asri. Jauh berbeda dengan teriknya kawasan lain di Kota Medan.
Keasrian hutan mangrove membuat pengunjung berdecak kagum. Di tepi paluh tampak berbagai jenis tanaman mangrove, seperti bakau, api-api, berembang, nipah, mata buaya, dan pedada. Pepohonan terlihat indah dengan akar tunjang seperti cakar ayam.
Sejumlah monyet ekor panjang bergelantungan di pohon ditemui setelah beberapa menit menyusuri hutan mangrove. Di tepi paluh, burung kuntul mencari makan, sementara elang bondol terbang berputar mengincar mangsa. Beberapa satwa air lain, seperti ikan gelodokan dan biawak, juga ditemui selama perjalanan.
Di sepanjang paluh, nelayan mencari kepiting bakau dan udang menggunakan sampan tradisional kecil tanpa mesin. Setelah 30 menit menyusuri hutan mangrove, rombongan kembali ke dermaga untuk menikmati jus buah pedada yang dipetik dari hutan mangrove.
Hutan kota terluas
Direktur Program Yagasu Meilinda Suriani Harefa mengatakan, kawasan hutan mangrove Sicanang berpotensi dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Kawasan itu sekaligus menjadi hutan kota terluas di Medan.
”Bentang alamnya kini semakin baik setelah masyarakat kembali menanam mangrove dan menahan laju alih fungsi,” ujarnya.
Meilinda yang merupakan penerima Kalpataru kategori Pengabdi Lingkungan pada 2019 menuturkan, Yagasu mendampingi masyarakat menanam mangrove setelah masyarakat merasakan dampak kerusakan ekosistem.
Bentang alamnya kini semakin baik setelah masyarakat kembali menanam mangrove dan menahan laju alih fungsi.
Penebangan pohon untuk pabrik arang, alih fungsi hutan yang gundul menjadi tambak, dan kebun sawi menimbulkan abrasi pantai sepanjang 1 kilometer. Beberapa jenis ikan hilang karena mangrove rusak. Tangkapan kepiting berkurang dari 15 kilogram menjadi 1 kilogram per hari per nelayan.
Menyadari kerusakan ekosistem itu, masyarakat pun membongkar tambak ikan, lalu menanami kembali dengan mangrove. Setelah ekosistem membaik, tahun 2016 mereka mengembangkan ekowisata. Awalnya, masyarakat membuat jalur dengan pilar bambu, tetapi membusuk dalam dua tahun.
Mereka kemudian mendapat bantuan dana tanggung jawab sosial perusahaan dari PT Perusahaan Listrik Negara dan PT Pelabuhan Indonesia I untuk membuat jalur baru dengan pilar beton cor.
Kesepakatan menjaga
Meilinda menuturkan, masyarakat Sicanang telah membuat kesepakatan kelurahan untuk menjaga ekosistem mangrove. Dari 894 hektar kawasan hutan mangrove, di tahap awal mereka menetapkan 178 hektar untuk dilindungi masyarakat.
Kawasan itu dibagi dalam zona inti 25 hektar, zona penyangga 15 hektar, dan zona pemanfaatan 138 hektar. Masyarakat hanya bisa melakukan aktivitas perekonomian, seperti penangkapan ikan dan kegiatan ekowisata, di zona pemanfaatan. Di zona penyangga, masyarakat hanya bisa melakukan aktivitas terbatas.
”Zona inti sama sekali tidak bisa dieksploitasi karena arealnya masih sangat alami. Di sana merupakan tempat pemijahan ikan dan perkembangbiakan berbagai jenis satwa,” kata Meilinda.
Di zona inti terdapat beberapa jenis tanaman mangrove yang sudah sangat tua dengan diameter cukup besar. ”Kami pernah beberapa kali melihat babi hutan di ekosistem itu,” ujarnya.
Lurah Belawan Sicanang Julkifli berharap kawasan ekosistem mangrove Sicanang berkembang menjadi destinasi ekowisata sehingga bisa menjadi sumber penghasilan baru bagi masyarakat.
Julkifli mengatakan, banyak pihak mengklaim kawasan tersebut sebagai hak milik pribadi. Namun, semua sebatas klaim tanpa ada satu pun yang bisa menunjukkan alas hak. Menurut dia, dalam rencana tata ruang wilayah Kota Medan, hutan mangrove itu ditetapkan sebagai kawasan lindung.
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Zulkifli Nasution, mengatakan, sebagai hutan kota, kondisi hutan mangrove Sicanang masih termasuk bagus. Destinasi itu berpotensi untuk dikembangkan karena tanaman masih rimbun dan masih ada kehidupan satwa liar di dalamnya.
Ekowisata mangrove Sicanang bisa menjadi sarana rehat warga kota dari rutinitas sehari-hari.
”Namun, pengembangannya harus mengedepankan ekonomi masyarakat lokal. Hal itu perlu agar masyarakat merasakan manfaat melestarikan lingkungan sehingga mereka mau menjaganya,” ujarnya.
Menurut Zulkifli, kawasan ekowisata mangrove Sicanang bisa menjadi sarana rehat warga kota dari rutinitas sehari-hari. Hutan mangrove yang selama ini tersembunyi akan tampil sebagai hutan kota yang asri.