Munculnya alokasi anggaran yang tidak masuk akal diduga kuat karena perencanaan yang buruk. Sebagian pemerhati bahkan melihat ini sebagai sebuah kesengajaan yang dilakukan saat transisi pergantian anggota DPRD baru.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Munculnya kejanggalan alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI tahun 2020 bisa jadi cerminan perencanaan yang buruk. Alokasi yang tidak wajar saat pembahasan itu selayaknya segera dievaluasi. Meskipun masih ada waktu memperbaiki, semua pihak yang terlihat diminta lebih cermat menyusun APBD.
”Kalau memang itu kekeliruan, jangan biarkan itu terjadi lagi. Masih ada waktu untuk evaluasi. Kalau misalnya ada kualitas kinerja yang harus diubah, ya, harus segera diperbaiki,” kata pengajar Pascasarjana Ilmu Perencanaan dan Kebijakan Publik Institut Pertanian Bogor, Deddy S Bratakusumah, kepada Kompas, Minggu (3/11/2019).
Baginya, mata anggaran ganjil dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI Jakarta merupakan wujud dari kualitas perencanaan penganggaran yang rendah dari dulu hingga saat ini. Sistem penyusunan anggaran secara elektronik atau e-budgeting sejak 2015, yang menggantikan sistem manual, ternyata belum membawa perbaikan signifikan.
”Itu suatu kebiasaan penyusunan anggaran DKI yang belum berubah hingga sekarang. Apakah itu perbuatan yang melanggar hukum? Itu harus dicek. Kalau ada niat jahat, seperti sengaja disisipkan untuk memperkaya orang tertentu, maka penanggung jawabnya harus dicari dan ditindak secara hukum. Jangan diteruskan juga karier jabatan mereka di pemerintahan,” tutur Deddy.
Yenny Sucipto, Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran, yakin ada unsur kesengajaan pada kasus anggaran yang janggal ini. Menurut Yenny, hampir tidak mungkin dalam penyusunan anggaran ada beberapa alokasi yang tidak rasional. Dia menduga, ada unsur coba-coba memasukkan program itu dengan angka fantastis.
”Mungkin mereka mengira, ada peluang saat transisi DPRD periode lama diganti dengan periode baru, sebagian DPRD baru tidak paham anggaran dan tidak mengawal dari awal pembahasan anggaran. Peluang ini ada karena pembahasan anggaran dilakukan dengan waktu singkat karena sudah mendekati akhir tahun,” kata Yenny.
Terciptanya peluang ”nakal” ini, kata Yenny, karena adanya sistem yang rapuh di internal eksekutif sebagai penyusun anggaran. Di sisi lain, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sebagai pengkaji rancangan anggaran tidak bekerja baik dalam hal ini.
Meningkatkan sistem
Sementara itu, dalam sesi wawancara bersama Kompas TV, Sabtu (2/11/2019), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku bahwa sistem e-budgeting yang digagas saat Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta masih perlu diperbaiki. Walaupun berkonsep digital, proses verifikasi anggaran masih dilakukan manual sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan. ”Sistem itu tidak melakukan verifikasi. Kalau menerima input anggaran yang tidak masuk akal seharusnya sistem itu memberikan flag. Kami melihat kenyataan itu sejak tahun sebelumnya,” kata Anies.
Untuk memperbaiki sistem e-budgeting, Anies sedang berupaya memperbarui sistem yang ditargetkan bisa digunakan mulai Januari 2020. ”Dalam setiap organisasi, pasti ada yang rajin, tidak rajin, serta ada yang jujur dan tidak jujur. Itu fenomena manusia. Oleh karena itu, kita harus buat sistem yang memaksa orang jadi rajin dan jujur,” ujar Anies sambil menekankan bahwa rencana pembelian lem aibon sebesar Rp 82 miliar itu masih berupa rancangan yang akan dibahas dan bukan anggaran.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Lisman Manurung, menegaskan, lembaga eksekutif dan legislatif harus lebih hati-hati dalam mengelola uang rakyat. Pertanggungjawaban keuangan melalui proses pengadaan yang terbuka itu sangat penting dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis.
”Pemprov DKI Jakarta diharapkan oleh warga agar mendemonstrasikan pertanggungjawaban keuangan yang berkualitas. Kualitas proses pengalokasian dana publik yang dihimpun berupa pajak dari rakyat diharapkan agar semakin terbuka,” ujar Lisman.
Seperti diberitakan beberapa hari lalu, pembahasan mengenai APBD DKI Jakarta menjadi topik viral di media sosial. Selain pengadaan lem aibon senilai Rp 82,8 miiar, publik juga mengkritisi mata anggaran janggal yang lain, seperti pengadaan pulpen sebesar Rp 123,8 miliar.
Topik tersebut menjadi viral setelah anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta, William Aditya Sarana, mengunggah sejumlah kejanggalan dalam rancangan KUA-PPAS 2020 melalui akun Twitter-nya, @willsarana, mulai Selasa (29/10/2019). Setelah itu, link untuk mengakses rancangan KUA-PPAS 2020 di situs apbd.jakarta.go.id ditutup.
Terkait dua pejabat yang mengundurkan diri di tengah polemik pembahasan anggaran (Kepala Badan Perencanaan Pembangunan DKI Jakarta Sri Mahendra Wirawan serta Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Edy Junaedi), Lisman menyampaikan bahwa keputusan tersebut masih belum jelas. Ia berharap peristiwa itu tidak mengganggu pihak lain dalam meneruskan perkara rencana anggaran Jakarta.
”Badan legislatif juga harus segera bertindak dan terlibat dalam proses pengawasannya. Jangan diam saja,” ujar Lisman.
William Aditya Sarana, anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta dari PSI, berpendapat, kandidat yang berpotensi menjabat sebagai Kepala Bappeda atau Kepala Dinas Pariwisata harus memiliki kemampuan adaptasi yang cepat sehingga tidak mengganggu proses penyusunan anggaran yang tengah berlangsung.
”Kami dari legislatif tidak punya kewenangan dalam penunjukan Kepala Bappeda dan SKPD (satuan kerja perangkat daerah) lain. Kami sebatas mendorong eksekutif memilih Kepala Bappeda dan Kepala Dinas Pariwisata baru yang adaptif, mampu mengikuti proses pembahasan anggaran, dan tahu situasi politik di DPRD sehingga kami tidak perlu mulai dari nol,” tutur William.