Riset Kebencanaan di Perguruan Tinggi Diharapkan Spesifik
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengajak perguruan tinggi melakukan riset untuk memperkuat mitigasi bencana. Riset diharapkan spesifik sehingga kampus mempunyai penelitian kebencanaan terfokus.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengajak perguruan tinggi melakukan riset untuk memperkuat mitigasi bencana. Riset diharapkan spesifik terhadap jenis bencana sehingga kampus mempunyai penelitian kebencanaan terfokus.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo saat menghadiri diskusi kelompok terfokus ”Menuju ITB Perguruan Tinggi Tangguh Bencana” di Gedung Rektorat Institut Teknologi Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (1/11/2019). Menurut dia, kontribusi riset perguruan tinggi sangat penting dalam mendukung mitigasi sehingga dampak bencana dapat diminimalkan.
”BNPB ingin berkolaborasi dengan perguruan tinggi untuk mengurangi risiko bencana. Hasil riset akan dijadikan dasar menyusun program kesiapsiagaan sehingga dapat mengurangi korban akibat gempa,” ujarnya.
Doni menjelaskan, Indonesia mempunyai ancaman bencana sangat kompleks, seperti gempa bumi, tsunami, longsor, banjir, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, hingga letusan gunung api. Dia berharap, perguruan tinggi berkontribusi meneliti pengurangan risiko bencana. Kontribusi itu dapat diwujudkan melalui riset. Salah satunya melibatkan peneliti dari perguruan tinggi dalam riset yang memanfaatkan tawaran pinjaman dari Bank Dunia.
”Dengan rencana bantuan dana itu, BNPB akan mengoordinasikan riset dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi,” ujarnya.
Doni mencontohkan gempa bermagnitudo 6,5 yang mengguncang Maluku pada 26 September 2019. Sejak saat itu, telah terjadi hampir 2.000 gempa susulan dengan lebih 200 di antaranya dirasakan.
Indonesia mempunyai ancaman bencana sangat kompleks, seperti gempa bumi, tsunami, longsor, banjir, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, ataupun letusan gunung api.
”Dengan adanya kolaborasi riset, akan diperoleh gambaran lebih utuh tentang fenomena gempa yang sangat agresif di Maluku,” ujarnya. BNPB bersama ITB dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah memasang seismograf di 11 titik untuk memantau aktivitas gempa di sana.
Doni juga mendorong riset mitigasi bencana berbasis kearifan lokal. Hal itu dinilai efektif karena lebih mudah dipahami masyarakat.
”Mitigasi mungkin saja sudah ada sejak zaman dahulu. Masyarakat perlu diingatkan kembali untuk beradaptasi dengan alam sehingga dapat mengurangi potensi bencana,” ujarnya.
Perguruan Tinggi Tangguh Bencana
BNPB juga sedang menggencarkan gerakan Perguruan Tinggi Tangguh Bencana. Tujuannya, agar kampus mengenali ancaman bencana di sekitarnya dan mengurangi dampaknya.
Doni mengatakan, terdapat sejumlah potensi bencana di Bandung dan sekitarnya, di antaranya sesar Lembang, Gunung Tangkuban Parahu, dan banjir luapan beberapa sungai yang bermuara ke Citarum.
”Kami berharap ITB bisa menjadi pelopor untuk menyusun program mitigasi bencana sehingga diikuti oleh perguruan tinggi lain,” ujarnya.
Standar operasional Perguruan Tinggi Tangguh Bencana tidak selalu sama. Konsepnya disesuaikan dengan ancaman di lokasi kampus masing-masing.
Doni mencontohkan, di selatan Jabar mempunyai potensi tsunami. Sementara itu, ancaman longsor terdapat di Jabar bagian tengah karena wilayahnya yang berlereng.
Rektor ITB Kadarsah Suryadi mengatakan, pihaknya akan segera menyusun model Perguruan Tinggi Tangguh Bencana. Model itu disesuaikan dengan potensi bencana di tiga kampus ITB yang terletak di Kota Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Cirebon.
”Diharapkan modelnya selesai tahun depan sehingga dapat segera diterapkan dan sistemnya memungkinkan diduplikasi instansi lain,” ujarnya.
Kadarsah mengatakan, ITB akan membentuk lembaga khusus untuk mewujudkan konsep Perguruan Tinggi Tanggap Bencana. Lembaga ini bakal melibatkan berbagai disiplin keahlian.