Ini Bukan Soal Angka, tetapi Perlakuan Manusiawi
Tragedi jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX8 milik maskapai Lion Air PK LQP dengan nomor penerbangan PJT 610 menjadi hari terkelam bagi banyak keluarga korban. Banyak ahli waris korban belum kunjung mendapat kompensasi.
JAKARTA, KOMPAS - Tragedi jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX8 milik maskapai Lion Air PK LQP dengan nomor penerbangan PJT 610 menjadi hari terkelam bagi banyak keluarga korban. Banyak ahli waris korban belum kunjung mendapat kompensasi.
Sampai saat ini dari 189 korban meninggal, baru 69 keluarga korban yang mendapat kompensasi Rp 1,25 miliar dari pihak Lion. Sementara 120 keluarga korban lainnya belum menerima hak yang seharusnya diberikan Lion.
Boeing sebagai perusahaan pembuat pesawat 737 MAX8, Selasa (29/10) menyatakan bakal memberi kompensasi kepada ahli waris keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air PK LQP. Sudah ada 25 ahli waris korban yang telah menerima bantuan dan 40 ahli waris lainnya masih dalam proses.
Selama menunggu kompensasi diberikan Lion maupun Boeing, banyak dari keluarga korban, terpaksa hidup pas-pasan. Beberapa korban meninggal sebelumnya adalah tulang punggung keluarga, pencari nafkah utama.
Lamanya pencairan kompensasi dan sulitnya memenuhi persyaratan, membuat beberapa ahli waris korban bahkan harus kehilangan pekerjaan. Rahudin R (27) yang kehilangan ibunya akibat tragedi ini, kini menjadi orangtua sekaligus tulang punggung bagi ketiga adiknya.
“Ayah sudah meninggal saat saya SMP kelas 3 kami harus kehilangan lagi ketika ibu menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air. Saat ini, kami hanya bergantung dari tunjangan dari ayah dan ibu. Sampai saat ini kami belum dapat kompensasi Rp 1,25 miliar dari Lion Air,” kata Rahudin.
Baca juga : Boeing Santuni Keluarga Korban Tragedi Lion Rp 2 Miliar
Rahudin sangat membutuhkan uang kompensasi tersebut untuk kebutuhan keluarga dan membiayai sekolah ketiga adiknya. Namun, ia tidak mengerti kenapa pihak Lion Air selalu mempersulit keluarga korban untuk mendapatkan hak berdasarkan Kemenhub Nomor 77 Tahun 2011.
Sejak fokus mengurus surat-surat keperluan kompensasi, ia tidak terpaksa tidak bekerja hingga saat ini. Pasalnya, begitu banyak permintaan dari pihak Lion Air yang dinilai tidak masuk akal, seperti diminta surat kematian Kakek dan nenek hingga foto makamnya.
“Untuk mengurus surat kematian ibu saya saja di kelurahan susahnya minta ampun. Kami diminta ini dan itu. Sudah terpenuhi uang kompemsasi belum juga keluar. Yang menjadi keberatan kami adalah banyak persyaratan yang tidak masuk akal dan diluar dari ketentuan Permenhub,” tuturnya.
Bagi Rahudin dan sejumlah keluarga korban lainnya, temuan KNKT dan pernyataan Boeing tidak mempengaruhi dan merubah apapun terhadap peristiwa kelam setahun yang lalu.
“Justru sekarang kelanjutannya seperti apa dari hasil temuan tersebut? Kami hanya meminta tanggung jawab dari pihak Lion Air terkait kompensasi. Serta ketegasan pemerintah dalam menjalankan aturan. Lion Air harus diberi saksi,” tegas Rahudin.
Alasan Rahudin dan keluarga korban belum mendapatkan kompensasi karena Lion Air membuat klausul release and discharge dalam dokumen persyaratan pencairan kompensasi. Keluarga korban yang ingin mendapatkan kompensasi harus melepaskan haknya untuk menuntut korporasi yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan, termasuk Lion Air dan Boeing, di yuridikasi manapun.
Kami hanya ingin Lion Air dan pemerintah berjalan sesuai aturan. Jangan sampai ada korban lainnya dari ketidaktegasan ini. Kami tidak mau kejadian serupa terulang dengan sanak saudara lainnya
Menurut Rahudin, klausul tersebut tidak berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Pasal 23, yaitu besaran ganti kerugian yang diatur dalam Permen tidak menutup kesempatan kepada ahli waris untuk menuntut ganti rugi pengangkut ke pengadilan.
“Peraturan Permen jelas. Kewajiban maskapai harus ganti rugi. Jangan membebani kami dengan embel-embel release and discharge serta ketentuan lain diluar aturan Permen,” katanya.
Rahudin dan beberapa keluarga korban memiliki harapan yang sama, pemerintah hadir dan ikut bertanggung jawab agar Lion Air menuntaskan pemenuhan hak yang belum tuntas.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan berani mengambil tindak tegas berupa sanksi berat untuk Lion Air yang abai memenuhi hak keluarga korban dan memberi sanksi untuk tidak lion air agar tidak beroperasi.
Rahudin menuturkan, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah menegakkan peraturan yang mereka buat atas kelalaian Lion Air. Jangan sampai peraturan yang sudah justru ditabrak oleh operator penerangan lainnya karena ketidaktegasan pemerintah.
“Kami hanya ingin Lion Air dan pemerintah berjalan sesuai aturan. Jangan sampai ada korban lainnya dari ketidaktegasan ini. Kami tidak mau kejadian serupa terulang dengan sanak saudara lainnya. Kejauhan pesawat lion air merupakan kelalaian dan kebodohan,” tutur Rahudin.
Enggan berdamai
Sulitnya mendapatkan kompensasi bagi keluarga korban juga dialami Eti Rohaeti (46), ibunda dari Naqiya (19) salah satu korban meninggal tragedi Lion. Meski telah menyerahkan seluruh berkas, namun tetap belum mendapatkan haknya.
“Kalau dengan Lion ya memang seperti yang kita tahu (belum ada pertanggungjawaban). Proses saat ini lebih ke Boeing dan kami percayakan seluruhnya pada pengacara yang lebih paham soal hukum. Mudah-mudahan lancar, kita berdoanya begitu saja,” kata Eti.
Pemberian kompensasi ini bukan soal angka atau nilai, tetapi perlakuan manusiawi terhadap orang-orang yang kehilangan keluarganya sehingga mereka mampu melanjutkan hidup
Eti bercerita, harusnya Naqiya genap berusia 20 tahun pada Rabu (30/10/2019) kemarin dan memulai kuliah. Saat tragedi terjadi, Naqiya tengah mengurus dokumen untuk mengikuti program beasiswa pendidikan di Kepulauan Bangka Belitung.
“Naqiya saat itu sedang pengabdian di Pondok Tahfidz Quran, Bandung. Jadi rencananya memang hanya sebentar ke sini (Pangkal Pinang) untuk penyerahan berkas karena ada program beasiswa pendidikan. Tahun ini sebenarnya sudah harus kuliah,” ucapnya. Naas bagi Naqiya, pesawat yang ditumpanginya justru jatuh di perairan Karawang.
Bagi keluarga korban lainnya, kompensasi pihak maskapai maupun Boeing bukanlah yang utama. Mereka lebih ingin mendapat keadilan agar siapa pun yang bersalah dalam tragedi ini bisa dihukum, termasuk Boeing sebagai pembuat pesawat. Sebelumnya, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebut ketiadaan informasi terkait sensor dan indikator penerbangan mendominasi faktor-faktor penyebab kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP.
Vinni Wulandari (36), adik dari Harvino (41), co-pilot pesawat 737 Max maskapai Lion Air yang menjadi korban jatuhnya pesawat di perairan Karawang, Jawa Barat menegaskan tidak akan berdamai dengan Boeing. Gugatan pun sudah dilayangkan sejak Desember 2018 dan masih dalam proses mediasi.
“Kami menuntut Boeing bukan karena uangnya tetapi menuntut karena benar-benar mau mencari keadilan. Mau lama kayak bagaimana pun akan kami ladenin terus karena kan dia (Boeing) salah banget dan ini bukan yang pertama kali,” tegas Vinni.
Selain menuntut Boeing, Vinni juga menyatakan telah menggugat Federal Aviation Administration karena dinilai turut andil menjadi penyebab kecelakaan pesawat. “Walau memang sulit, tapi kami juga mengguggat FAA,” ucapnya.
Baca juga : 25 Rekomendasi KNKT Terkait Kecelakaan Boeing 737 MAX8
Terkait kompensasi, hingga saat ini Vinni belum menerima sepeser pun dari yang dijanjikan. Baik dari pemerintah, uang pensiun dari perusahaan, maupun dari Boeing.
Menyalahi hukum
Pengacara Rendy Kailimang yang mewakili 11 keluarga korban menuturkan, jika keluarga korban ingin mendapatkan kompensasi, mereka harus menandatangani dokumen release and discharge. Penandatanganan dokumen tersebut, menurut Rendy, berpotensi menyalahi aturan dalam penyerahan kompensasi. Seharusnya, Lion Air memberikan kompensasi tanpa syarat. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya menegur Lion Air.
Kompensasi merupakan hak keluarga korban. "Pemberian kompensasi ini bukan soal angka atau nilai, tetapi perlakuan manusiawi terhadap orang-orang yang kehilangan keluarganya sehingga mereka mampu melanjutkan hidup," kata Rendy.
Keluarga korban masih menanti wujud nyata komitmen pemberian kompensasi. Bukan tentang angka, tapi tentang belarasa dan bukti nilai kemanusiaan dari korporasi di dunia penerbangan.