Perang dagang Amerika Serikat dan China berdampak ke pelambatan pertumbuhan ekonomi global. Banyak negara kena dampaknya, antara lain akibat pelambatan perdagangan dunia.
Oleh
·3 menit baca
Perang dagang Amerika Serikat dan China berdampak ke pelambatan pertumbuhan ekonomi global. Banyak negara kena dampaknya, antara lain akibat pelambatan perdagangan dunia.
Indonesia juga terpengaruh, antara lain karena harga komoditas yang bergejolak, bahkan turun.
”(Hal ini) karena struktur ekonomi Indonesia masih sangat tergantung produk komoditas,” kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut Piter, pada kondisi sektor industri terus menurun, Indonesia harus tahu diri jika ingin memanfaatkan situasi perang dagang AS-China. ”Sebab, industri manufaktur telanjur cukup lama kita tinggalkan,” katanya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov berpendapat senada. Menurut dia, upaya untuk mendongkrak perdagangan cukup berat, pada saat Indonesia masih mengandalkan komoditas; terutama batubara dan minyak sawit mentah atau CPO.
”Batubara dan CPO berkontribusi sekitar 25 persen terhadap ekspor Indonesia. Di sisi lain, tren harga komoditas menurun,” kata Abra.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia pada Januari-September 2019 sebesar 124,17 miliar dollar AS, sedangkan impor 126,12 miliar dollar AS. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-September 2019 defisit 1,95 miliar dollar AS.
Ekspor industri pengolahan sebesar 93,76 miliar dollar AS atau berkontribusi 75,51 persen terhadap total ekspor Indonesia pada periode itu. Namun, patut diingat, impor bahan baku/penolong di sektor industri, termasuk untuk menghasilkan ekspor, juga besar.
Data BPS menunjukkan, pada Januari-September 2019, impor bahan baku/penolong senilai 93,45 miliar dollar AS. Nilai itu sekitar 74,10 persen dari total impor Indonesia.
”(Industri) kita banyak terputus di tengah-tengah. Kekosongan produk industri antara, yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk hilir, termasuk produk hilir yang diekspor, juga diisi produk impor,” kata Abra.
Menurut Abra, selama industri antara di Indonesia masih keropos—sehingga kebutuhan produk antara belum diisi dari produksi dalam negeri—, defisit perdagangan tak akan kunjung teratasi. Apalagi, nilai tambah di industri antara itu terbilang tertinggi.
Abra menambahkan, agar nilai ekspor bisa meningkat, mau tidak mau Indonesia harus menjual produk-produk bernilai tambah tinggi yang dihasilkan melalui hilirisasi industri. Hilirisasi industri harus dari sektor-sektor andalan, seperti pertanian, perkebunan, dan pertambangan.
Porsi terbesar
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ngakan Timur Antara menyampaikan, produk manufaktur masih menempati porsi terbesar dalam komposisi produk ekspor Indonesia.
”Berdasarkan data pada periode 2015-2018, porsi produk manufaktur yang diperdagangkan ke luar negeri berkisar 72-76 persen. Jadi, berdasarkan data ini, tidak benar kalau kita hanya mengandalkan komoditas,” kata Ngakan.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan, dalam berbagai kesempatan, menuturkan, kunci dalam membangun industri adalah kepastian hukum. Oleh karena itu, peraturan harus konsisten dan konsekuen.
”Membangun industri berkelanjutan itu harus konsisten dan konsekuen. Konsisten, kalau mau membangun industri, ya, (bangunlah) industri. Konsekuen, kalau mau memberi insentif, ya, berikan insentif,” kata Johnny.
Selain itu, menurut Johnny, pembangunan industri juga perlu keberpihakan berupa jaminan bahan baku. Adapun kunci ketiga adalah menggiatkan tingkat kandungan dalam negeri. Dengan cara itu, hasil industri dalam negeri dapat terpakai secara optimal. Sementara kunci keempat adalah membangun sumber daya manusia industri. (C Anto Saptowalyono)