Ironi Upah Rendah dan Kemiskinan di ”Provinsi Istimewa”
Daerah Istimewa Yogyakarta kerap dianggap salah satu daerah paling nyaman ditinggali dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Pulau Jawa. Di balik itu, ada persoalan mendasar, mulai upah rendah hingga kemiskinan.

Ratusan buruh menggelar demonstrasi untuk memperingati Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5/2019), di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta. Dalam aksi itu, para buruh antara lain menuntut kenaikan upah minimum provinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kerap dianggap sebagai salah satu provinsi paling nyaman untuk ditinggali dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Pulau Jawa. Nyatanya, di balik itu, ada sejumlah persoalan mendasar mulai dari upah pekerja rendah hingga tingkat kemiskinan tinggi.
Selama bertahun-tahun, upah minimum provinsi (UMP) DIY menjadi yang terendah di Indonesia. Kondisi itu tampaknya belum akan berubah dalam waktu dekat. Hal ini terlihat dari besaran UMP DIY tahun 2020 yang telah diputuskan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, yakni sebesar Rp 1.704.608,25.
”UMP DIY tahun 2020 naik 8,51 persen dari UMP tahun 2019,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY Andung Prihadi Santoso seusai rapat koordinasi terkait penetapan UMP DIY tahun 2020, Rabu (30/10/2019), di kompleks Kantor Gubernur DIY.
Baca juga: Di Provinsi Ini, Demokrasi Belum Berbuah

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta Andung Prihadi Santoso memberi keterangan kepada media seusai rapat koordinasi terkait penetapan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota DIY tahun 2020, Rabu (30/10/2019), di kompleks Kantor Gubernur DIY.
Dalam rapat tersebut juga ditetapkan besaran upah minimum kabupaten/kota (UMK) di DIY tahun 2020, yakni Kota Yogyakarta sebesar Rp 2.004.000, Kabupaten Sleman Rp 1.846.000, Kabupaten Bantul Rp 1.790.500, Kabupaten Kulon Progo Rp 1.750.500, serta Kabupaten Gunung Kidul sebesar Rp 1.705.000. Sama seperti UMP DIY, UMK di DIY tahun 2020 juga naik 8,51 persen dibandingkan dengan tahun ini.
Andung menjelaskan, penetapan UMP dan UMK di DIY mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Berdasarkan PP itu, kenaikan UMP dan UMK di Indonesia dihitung menggunakan formula khusus mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan formula itu, pemerintah menetapkan kenaikan UMP dan UMK di seluruh daerah di Indonesia sebesar 8,51 persen. Artinya, semua provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan menetapkan kenaikan upah minimum dengan besaran yang sama. ”Jadi, kenaikannya seragam di semua provinsi,” ujar Andung.

Besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tahun 2020.
Dengan kenaikan yang seragam itu, besaran UMP DIY tahun 2020 kemungkinan tetap menjadi yang terendah di Indonesia. Sebab, pada 2019, UMP DIY yang sebesar Rp 1.570.922 merupakan yang terendah di Indonesia.
Berdasarkan catatan Kompas, DIY baru menetapkan UMP sejak 2017. Pada tahun-tahun sebelumnya, DIY hanya melakukan penetapan UMK dan tidak menetapkan besaran UMP. Sejak ditetapkan pada 2017, UMP DIY selalu menjadi yang terendah di antara semua provinsi di Indonesia.
Respons buruh
Besaran UMP dan UMK di DIY tahun 2020 itu mendapat respons negatif dari kalangan aktivis buruh. Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY Irsad Ade Irawan mengatakan, pihaknya menyayangkan sikap Pemda DIY yang masih menggunakan PP No 78/2015 sebagai acuan penetapan UMP dan UMK.
Padahal, menurut Irsad, apabila menggunakan acuan PP itu, besaran UMP dan UMK yang ditetapkan berada di bawah nilai kebutuhan hidup layak (KHL) buruh. ”Seharusnya penetapan UMP dan UMK itu berdasarkan survei KHL,” katanya.
Baca juga: Pendapatan Mitra Gojek di Atas Upah Minimum

Pencari kerja melihat lowongan pekerjaan yang bisa diakses menggunakan aplikasi daring dalam kegiatan bursa kerja yang diselenggarakan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta, Selasa (7/11/2017). Perkembangan teknologi informasi turut mendorong munculnya berbagai aplikasi daring yang bertujuan mempermudah pertemuan antara pencari kerja dan perusahaan perekrut calon karyawan.
Irsad memaparkan, berdasarkan survei KHL yang dilakukan organisasi buruh di DIY, besaran UMK di DIY seharusnya lebih tinggi daripada besaran UMK yang ditetapkan pemda. Berdasarkan survei KHL, UMK di Kota Yogyakarta seharusnya senilai Rp 2.794.126, Sleman sebesar Rp 2.645.010, Bantul Rp. 2.559.861, Kulon Progo Rp 2.510.079, dan Gunung Kidul Rp 2.501.992.
Irsad menyatakan, Pemda DIY sebenarnya bisa menetapkan UMP dan UMK tanpa mengacu PP No 78/2015. Sebab, berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, penetapan upah minimum diarahkan pada pencapaian KHL. Oleh karena itu, jika formula PP No 78/2015 tidak bisa membuat UMP dan UMK sesuai dengan KHL, pemda harusnya bisa mengambil kebijakan lain.
”Apalagi, pada tahun-tahun sebelumnya, ada sejumlah daerah yang menetapkan upah minimum tanpa mengacu PP No 78/2015,” ungkap Irsad.
Irsad juga mengingatkan, besaran UMP di DIY yang rendah itu menjadi salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di provinsi tersebut. Oleh karena itu, untuk menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, Pemda DIY diminta menaikkan UMP dengan mengacu KHL. ”Kemiskinan itu, kan, diukur dari konsumsi dan daya beli. Jadi, kalau upah dinaikkan, juga akan menaikkan daya beli dan konsumsi masyarakat,” tuturnya.
Upah segini susah buat menabung, apalagi mau beli rumah.
Adi Wirawan (22), karyawan konter ponsel di kawasan Perumnas Condongcatur, Kabupaten Sleman, mengaku, gaji bulanannya sebesar Rp 1,9 juta mengacu UMK setempat sebenarnya sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hidup. Apalagi, dirinya adalah seorang perantau dari Purworejo sehingga harus menyewa kamar indekos.
”Harga kamar indekos di sini (Condongcatur) sudah mahal, Rp 350.000-an ke atas. Kalau mau murah, harus lebih jauh nyarinya, tetapi nanti ongkos untuk bensin yang tambah. Jadi sama saja,” keluhnya.
Apalagi, harga makanan di kawasan hunian mahasiswa seperti Condongcatur bukannya lebih murah, melainkan justru semakin mahal. Dia mengakui masih mengandalkan kiriman uang dari keluarganya untuk tetap bertahan. ”Upah segini susah buat menabung, apalagi mau beli rumah,” ucap Adi.

Hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang dilakukan organisasi buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sementara itu, dalam wawancara sebelumnya, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) DIY Gonang Djuliastono berharap, tuntutan kenaikan UMP dan UMK bisa diimbangi kemauan para pekerja mengembangkan diri dan meningkatkan keterampilan.
Gonang menyebut, kenaikan upah yang tak diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja justru bisa menjadi bumerang. Sebab, perusahaan bisa saja beralih dari industri padat karya ke industri padat modal yang tak membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak.
”Misalnya ada pabrik tekstil yang mengandalkan peralatan teknologi dan mesin, itu kan karyawan yang kerjanya menjahit (secara manual) akan terkikis sehingga pengangguran akan semakin banyak,” kata Gonang.
Baca juga: ”Bela Beli Kulon Progo” Perlawanan Ideologis Hasto Wardoyo (3)

Pemulung mengumpulkan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (20/4/2016). Pekerja sektor informal di tempat itu sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang mencari nafkah dengan menjual sampah yang telah dipilah. Pengentasan warga kemiskinan masih menjadi tantangan tersendiri bagi Daerah Istimewa Yogyakarta di tengah laju pembangunan daerah.
Kemiskinan
Selama ini, DIY memang masih didera persoalan kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di DIY pada Maret 2019 sebesar 11,7 persen atau lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional yang mencapai 9,41 persen. Tingkat kemiskinan di DIY itu juga merupakan yang tertinggi di Pulau Jawa.
Jika merujuk dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2017-2022, Pemda DIY menargetkan tingkat kemiskinan di provinsi itu turun menjadi 7 persen pada 2022. Oleh karena itu, harus ada penurunan tingkat kemiskinan sebesar 4,7 persen selama tiga tahun ke depan. Untuk menurunkan tingkat kemiskinan itu, Pemda DIY menempuh sejumlah strategi, antara lain menaikkan UMP dan UMK.
Andung menyatakan, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X telah memberi arahan agar penetapan UMP dan UMK di DIY tahun 2021 berorientasi pada pengurangan kemiskinan. ”Oleh karena itu, Bapak Gubernur akan mengirimkan surat kepada Bupati dan Walikota agar penetapan UMK tahun 2021 harus berwawasan pengurangan angka kemiskinan,” tuturnya.
Baca juga: Kembali Meningkat, Rasio Gini Daerah Istimewa Yogyakarta Tertinggi Se-Indonesia

Jumlah dan persentase penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut Andung, PP No 78/2015 kemungkinan hanya akan dipakai sebagai acuan penetapan UMP dan UMK hingga 2020. Hal ini karena pemerintah pusat berencana melakukan revisi terhadap PP tersebut. Oleh karena itu, penetapan UMP DIY tahun 2021 kemungkinan tidak lagi mengacu pada PP No78/2015.
Dengan kondisi itu, penetapan UMP dan UMK tahun 2021, Pemda DIY bisa membuat formula baru yang dinilai lebih tepat untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Namun, Andung belum bisa menyampaikan bagaimana formula penetapan UMP dan UMK di DIY tahun 2021. ”Kami belum sampai pada aspek teknik. Ke depan, kita harus bisa membuat metode yang bisa mengurangi angka kemiskinan,” ujarnya.
Penetapan UMP DIY tahun 2021 kemungkinan tidak lagi mengacu pada PP No 78/2015.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta, Ardito Bhinadi, mengatakan, salah satu upaya mengurangi kemiskinan adalah menaikkan pendapatan. Oleh karena itu, kenaikan upah minimum memang berpotensi menurunkan tingkat kemiskinan.
”Salah satu faktor untuk mendorong pengurangan kemiskinan adalah menaikkan pendapatan. Jadi, kenaikan pendapatan buruh semestinya akan berdampak pada pengurangan kemiskinan,” kata Ardito.
Oleh karena itu, Ardito sepakat dengan rencana Pemda DIY yang akan menetapkan UMP dan UMK tahun 2021 dengan memperhatikan tingkat kemiskinan. Namun, dia mengingatkan, agar efektif, nominal kenaikan pendapatan itu harus bisa mengimbangi kenaikan konsumsi.
Hal ini karena tingkat kemiskinan di Indonesia diukur berdasarkan tingkat pengeluaran, bukan pendapatan. ”Ketika biaya-biaya hidup itu meningkat, garis kemiskinan juga akan meningkat. Jadi, agar mereka yang dulu miskin bisa melewati garis kemiskinan, mereka harus mampu meningkatkan daya beli dengan meningkatkan pendapatan,” tutur Ardito.
Baca juga: Perubahan Iklim dan Kemiskinan

Bu Yisah (48), salah satu dari 223 buruh gendong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Kamis (10/10/2019). Ia sedang menggendong (memikul) barang pedagang dengan bantuan kain selendang yang dibelitkan di tubuhnya. Jasa Bu Yisa dihargai Rp 3.000 sekali membawa barang dari lantai II menuju lantai I pasar itu.
Ardito menuturkan, kenaikan pendapatan harus dipastikan bakal meningkatkan pengeluaran rumah tangga. Agar hal itu bisa terjadi, pengukuran KHL untuk penentuan UMP dan UMK juga harus mempertimbangkan indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan.
Di sisi lain, lanjut Ardito, kemiskinan di DIY tidak hanya dipengaruhi faktor ekonomi, tetapi juga aspek kultural. Secara kultural, sebagian masyarakat asli DIY memiliki budaya hidup berhemat sehingga tingkat pengeluaran mereka rendah. Kondisi ini menyebabkan tingkat pengeluaran mereka di bawah garis kemiskinan sehingga mereka pun digolongkan penduduk miskin.
”Pada dasarnya, orang Yogyakarta itu relatif lebih hemat dalam melakukan konsumsi, khususnya makanan. Jadi, kemiskinan ini tidak hanya bisa diatasi dengan kenaikan pendapatan saja, tetapi juga harus dipandang dari sisi kultural,” ungkap Ardito.