Pemerintah Indonesia akan tetap melanjutkan gugatan atas pengalaman mendapat diskriminasi perdagangan dan tudingan tidak mengembangkan kelapa sawit berkelanjutan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia akan tetap melanjutkan gugatan atas pengalaman mendapat diskriminasi perdagangan dan tudingan tidak mengembangkan kelapa sawit berkelanjutan ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Pemerintah juga akan tetap berusaha berkomunikasi secara diplomatis dengan sejumlah negara agar perdagangan internasional minyak sawit tetap lancar.
”Melanjutkan gugatan ke WTO adalah keharusan. Itu bukan opsi, ya. Indonesia, kan, anggota WTO. Sebagai anggota memang harus berani menuntut jika mendapat perlakuan tidak fair dari negara anggota lainnya,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar saat menghadiri 15th Indonesia Palm Oil Conference and 2020 Outlook Price, Jumat (1/11/2019), di Nusa Dua, Bali.
Pengalaman diskriminasi perdagangan minyak kelapa sawit diterima Indonesia dari Amerika Serikat. Sementara tudingan tidak mengembangkan industri minyak kelapa sawit berkelanjutan datang dari kelompok negara Uni Eropa dan negara Eropa lainnya.
Dia mengatakan, Pemerintah Indonesia terbuka terhadap upaya bersama yang bersifat internasional untuk mengevaluasi sejauh mana perkebunan tanaman penghasil minyak nabati dikelola mengikuti kaidah lingkungan berkelanjutan dan capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Meski demikian, catatan Indonesia untuk dunia internasional, evaluasi jangan cuma menyasar perkebunan kelapa sawit, melainkan juga seluruh jenis tanaman penghasil minyak nabati.
Menurut dia, evaluasi yang dilakukan perlu memperhatikan pengukuran ilmiah, misalnya dampak pupuk kimia. Dengan cara seperti itu, harapannya, hasil evaluasi bisa fair.
Mahendra menekankan bahwa hal yang semestinya menjadi fokus utama adalah pemenuhan kebutuhan minyak nabati global, yang salah satunya dikontribusikan oleh minyak sawit. Tanaman kelapa sawit diyakini lebih efisien dalam urusan pemakaian lahan sehingga tidak semua bank tanah harus dikonversikan untuk penggunaan tanaman penghasil minyak nabati.
”Berbicara soal pemenuhan kebutuhan minyak nabati, kita seharusnya melihat permintaan global dan bukan semata-mata Uni Eropa. Lima tahun ke depan, misalnya, perekonomian dari negara-negara berkembang akan melaju lebih pesat, sementara Uni Eropa diperkirakan masuk kategori sunset,” tuturnya.
Melanjutkan gugatan ke WTO adalah keharusan. Itu bukan opsi, ya. Indonesia, kan, anggota WTO. Sebagai anggota memang harus berani menuntut jika mendapat perlakuan tidak fair dari negara anggota lainnya.
Terkait dengan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia dengan Uni Eropa, dia mengatakan akan mengkaji kembali draf perjanjian. Kajian bertujuan melihat ada tidak posisi yang fair bagi keberadaan minyak kelapa sawit Indonesia.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, produksi minyak kelapa sawit Indonesia selama Januari-Agustus 2019 mencapai 34,7 juta ton, naik 14 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018. Sekitar 11,7 juta ton di antaranya diserap untuk konsumsi domestik dan 22,7 juta ton lainnya untuk ekspor.
Mahendra menambahkan, merupakan upaya penting untuk membawa isu perdagangan minyak kelapa sawit Indonesia dalam setiap forum perdagangan internasional. Namun, menurut dia, forum yang dirasa pas dengan situasi gejolak perekonomian global seperti sekarang adalah bilateral.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor nonmigas Indonesia selama Januari-Agustus 2018 mencapai 108,72 miliar dollar AS. Pada periode yang sama tahun ini, nilainya turun 6,66 persen. Nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati mencapai 10,85 miliar dollar AS dan menyumbang 10,69 persen terhadap total ekspor nonmigas sepanjang Januari-Agustus 2019 atau turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 19,42 persen.
Berdasarkan laporan ”Neraca Pembayaran Indonesia Triwulan II-2019” Bank Indonesia, ekspor 10 komoditas utama nonmigas triwulan II-2019 mengalami penurunan pertumbuhan. Ini adalah akibat kontraksi ekspor riil dan harga komoditas. Ekspor minyak nabati, yang sebagian besar berupa minyak sawit, mengalami kontraksi lebih dalam. Nilainya 10,85 miliar dollar AS dan menyumbang 10,69 persen terhadap total ekspor nonmigas, padahal triwulan sebelumnya menyumbang sebesar 13,3 persen.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Muzdalifah menegaskan hal senada. Diskriminasi perdagangan serta tudingan tidak mengikuti kaidah lingkungan berkelanjutan terhadap minyak kelapa sawit Indonesia menjadi pengalaman tidak mengenakkan. Padahal, sekitar 17 juta orang bekerja dan menggantungkan hidup dari industri kelapa sawit. Kontribusi minyak kelapa sawit terhadap total ekspor minyak nabati juga besar.
”Tim Kementerian Perdagangan akan ikut menyiapkan gugatan kepada WTO,” kata Muzdalifah.