Berkaca dari Kegagalan Fungsi Legislasi di Masa Lalu
DPR periode 2019-2024 perlu berkaca dari kegagalan lembaganya dalam menjalankan fungsi legislasi yang tidak tercapai sesuai target di masa lalu.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
DPR periode 2019-2024 perlu berkaca dari kegagalan lembaganya dalam menjalankan fungsi legislasi yang tidak tercapai sesuai target di masa lalu. Saat ini, DPR hanya memiliki waktu sekitar dua bulan untuk menentukan undang-undang yang perlu menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Selama masa bakti periode 2014-2019, DPR mengesahkan 91 rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang yang terdiri dari 36 RUU dari daftar Prolegnas 2015-2019 dan 55 RUU Kumulatif Terbuka.
Sebelumnya, DPR memasang target bisa menuntaskan 189 RUU yang masuk dalam Prolegnas periode 2015-2019, tetapi hal tersebut tidak tercapai. Jumlah ini jelas menurun drastis dibandingkan dengan kinerja DPR periode 2009-2014 yang menghasilkan 125 UU yang disahkan.
Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, saat ini DPR memiliki waktu hingga Desember untuk menyusun RUU prioritas yang akan masuk dalam Prolegnas 2020-2024. Penyusunannya perlu segera dikebut sebelum DPR memasuki masa reses.
”Saat ini, kami memiliki masa persidangan sampai 12 Desember 2019. Fokus utamanya ada dua, yaitu penyusunan Prolegnas jangka menengah dari 2020 hingga 2024 dan prolegnas tahunan 2020,” ucapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Supratman tidak ingin DPR terus dibebankan karena tidak mencapai target legislasi. Menurut dia, tugas legislasi bukan hanya ada di DPR, melainkan juga ada di pemerintah. ”Sering kali RUU tersebut tidak selesai karena pemerintah tidak hadir dalam pembahasan RUU dan ada political will yang tidak sesuai dengan pemerintah,” katanya.
Supratman menjelaskan, dalam waktu dekat Baleg akan melaksanakan pertemuan dengan Menko Polhukam dan Menkumham terkait rencana Presiden Joko Widodo untuk membentuk omnibus law. Selain itu, Presiden pun berencana untuk membentuk Pusat Legislasi Nasional guna memudahkan penyusunan undang-undang.
”Selain itu, kami juga tidak akan memasang target RUU yang terlalu banyak karena masih ada sejumlah RUU yang tertunda dan mungkin akan dilanjutkan pembahasannya dengan mekanisme luncuran (carry over),” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Azis Syamsuddin mengatakan, idealnya setiap komisi bisa mengesahkan dua-tiga RUU setiap tahun. Oleh sebab itu, seharusnya ada 22-33 RUU yang disahkan setiap tahun oleh 11 komisi di DPR.
”Itu sudah ideal substansinya. Selain itu, pembahasannya bisa mendalam, komprehensif, serta mengundang kalangan intelektual dan masyarakat sipil,” katanya.
Menurut Azis, DPR periode kali ini akan lebih mengutamakan kualitas RUU daripada kuantitasnya. Ia pun berjanji agar DPR akan terus berkoordinasi dengan pemerintah agar pengesahan RUU sesuai dengan target.
Selain tidak mencapai target legislasi, masih ada sejumlah RUU bermasalah yang dicetuskan oleh DPR periode 2014-2019, seperti revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba. RUU tersebut dianggap kontroversial dan menimbulkan gejolak aksi demonstrasi di sejumlah wilayah Indonesia.
Dihubungi secara terpisah, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri, mengatakan, DPR tidak akan efektif membahas RUU apa saja yang masuk dalam Prolegnas di sisa waktu yang mepet ini.
Menurut dia, dengan sisa waktu yang tinggal sedikit, DPR akan sulit menerima masukan dari para ahli dan masyarakat sipil terkait RUU apa saja yang seharusnya menjadi prioritas.
”Hal ini yang membuat DPR sulit mencapai target legislasi karena mereka hanya memiliki waktu yang singkat terkait RUU mana saja yang seharusnya menjadi prioritas,” ucapnya.
Menurut Ronald, seharusnya DPR memprioritaskan pembahasan sejumlah RUU yang masih tertunda dan perlu dilanjutkan dengan mekanisme luncuran. Aturan terkait mekanisme luncuran ini tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (P3).
”Berdasarkan aturan yang ada, selama daftar inventaris masalah (DIM) sudah disepakati, DPR dan pemerintah bisa melakukan mekanisme luncuran (carry over), hal ini akan menghemat waktu dan anggaran pembahasan RUU,” ucapnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, mengaku heran dengan kinerja DPR di bidang legislasi. Menurut dia, ada beberapa RUU yang diulur-ulur waktu pembahasannya, tetapi ada pula RUU yang bisa dikebut pembahasannya demi kepentingan politik tertentu.
”Seperti revisi UU KPK yang bisa dikebut kurang dari satu bulan pembahasannya oleh DPR, padahal seharusnya banyak RUU lain yang bisa diprioritaskan oleh DPR,” ujarnya.
Lucius mengingatkan agar DPR jangan sampai membuang-buang waktu dan anggaran karena berlarut-larut dalam membahas undang-undang. Menurut dia, jika kinerja DPR di bidang legislasi semakin tidak optimal, citra lembaga tersebut akan semakin buruk di mata masyarakat.