Potensi pasar yang besar dan kompetisi yang relatif berjalan rutin membuat sepak bola bisa menjadi pilar insdustri olahraga Indonesia, sleama bisa dikelola dengan benar.
Oleh
Yulia Sapthiani
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sepak bola, dengan pasar yang begitu tinggi dan kompetisi reguler, bisa menjadi pilar industri olahraga Indonesia. Namun, masih banyak faktor yang harus dibenahi agar sepak bola memiliki nilai pasar yang tinggi hingga bisa diikuti cabang olahraga lain.
Salah satu kelemahan kompetisi sepak bola di Indonesia adalah jadwal yang tak tentu. Telah menjadi hal lumrah adanya perubahan jadwal di tengah kompetisi sepak bola di Indonesia karena berbagai faktor. Hal ini berefek pada perubahan jadwal tayangan pertandingan di stasiun televisi atau media digital yang menayangkan melalui live streaming, kondisi tersebut menghambat promosi cabang olahraga lain melalui media.
”Cabang olahraga lain pasti kalah saat ada siaran langsung sepak bola di TV. Mereka akan menunggu penayangan saat tak ada sepak bola. Saat jadwal sepak bola enggak jelas, dampaknya tentu dirasakan cabang lain,” ujar Hasani Abdulgani saat peluncuran bukunya berjudul ”Sports Marketing” di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Hasani, koresponden Tabloid BOLA saat tinggal di Amerika Serikat pada 1990-an, mendirikan Mahaka Sports bersama Erick Thohir sekembali ke Indonesia pada 2001. Pengetahuan dan pengalaman di bidang pemasaran olahraga membuatnya menjadi salah satu penanggung jawab bidang pemasaran panitia Asian Games Jakarta Palembang 2018.
Pengalaman tersebut memperkaya buku pemasaran olahraga yang jarang dibuat penulis Indonesia. Untuk bercerita tentang industri sepak bola misalnya, Hasani memberi contoh ketika Mahaka Sports menjadi penyelenggara turnamen sepak bola Piala Presiden.
Hasani menilai, cabang ini memiliki pasar yang sangat besar di Indonesia dengan penonton yang selalu memenuhi stadion, juga tingginya jumlah penonton melalui siaran langsung TV. Sayangnya, banyak pilar nilai pasar olahraga yang tak dapat dipenuhi cabang ini.
Dalam pandangan Hasani, ada pilar utama dan pendukung dalam menciptakan nilai pasar olahraga untuk mewujudkan industri olahraga. Dalam pilar utama terdapat kualitas atlet dan klub yang tercermin melalui prestasi, media sebagai alat promosi, pengelola kompetisi dan profesionalisme pengelolaan asosiasi olahraga, dan infrastruktur.
Adapun pilar pendukung terdiri atas dukungan pemerintah, regulasi, etika, dan perilaku penonton. “Yang membuat sepak bola di Indonesia seperti ini adalah orang-orang di dalamnya sendiri, padahal pasarnya sangat tinggi. Saya sudah mengatakan itu saat PSSI dipimpin Pak Agum Gumelar,” kata Hasani.
Hasani, kemudian, bercerita pengalaman saat Mahaka menyelenggarakan Piala Presiden 2015. “Setiap kali setelah pertandingan, saya selalu dimarahi tim yang kalah. Ketika final Persib melawan Sriwijaya harus berlangsung di Jakarta, semula ada penolakan dari kepolisian karena bobotoh akan datang ke Jakarta. Kami berusaha mengubah citra negatif sepak bola menjadi positif. Pertandingan akhirnya berlangsung di Jakarta dengan share TV cukup tinggi 45 persen, mengalahkan sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang selalu mengalahkan olahraga,” tutur Hasani.
Berdasarkan tingginya pasar itulah, sepak bola pun bisa menjadi tonggak untuk membangun industri olahraga di Indonesia, dengan catatan harus ada penataan di berbagai bidang. Beberapa cabang dinilai memiliki potensi menjadi industry, yaitu bulu tangkis dan bola voli. “Bulu tangkis punya prestasi tingkat dunia, voli tak kalah populer dengan sepak bola,” kata Hasani.
Selain bercerita tentang potensi industri olahraga dari sepak bola, buku ini juga mengulas sukses Indonesia menggelar Asian Games 2018, potensi pariwisata olahraga, serta menyingkap cara berpikir sponsor.
Erick, dalam pengantar buku tersebut, mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat bisa turut menentukan tumbuhnya industri olahraga Indonesia. Erick juga mengingatkan nilai-nilai yang dimiliki olahraga, seperti mendidik orang untuk sportif dan saling menghargai.