Dalam ruang kamar yang terkunci, EA (2) bertahan hidup selama lebih dari dua hari tanpa makan dan pertolongan siapa pun. Di kamar itu, dia menunggui dan memeluk jasad ibunya.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
Dalam ruang kamar yang terkunci, EA (2) bertahan hidup selama lebih dari dua hari tanpa makan dan pertolongan siapa pun. Di kamar itu, dia menunggui dan memeluk jasad ibunya. Anak balita ini seolah menjadi ujian kepekaan sosial yang kian terkikis di masyarakat, sekaligus bukti kebesaran dan kasih sayang Tuhan kepadanya.
Anak perempuan berwajah manis ini sedang berbaring di ruang perawatan Walet, RS Bhayangkara Makassar, saat Kepala Polda Sulawesi Selatan Inspektur Jenderal Mas Guntur Laupe dan istrinya tiba, Rabu (30/10/2019) sore. Keduanya datang menjenguk EA. Boneka panda dan beragam mainan berwarna merah muda dibawa serta sebagai buah tangan.
Sontak EA terbangun dengan penuh semangat dan wajah berbinar. Dia meraih boneka panda yang jauh lebih besar dari tubuhnya, seolah lupa bahwa jarum dan selang infus masih terpasang di pergelangan tangan kanannya. Seketika, dia memeluk boneka panda itu dengan gemas sembari tersenyum sumringah. Berbalut baju kaus berwarna merah muda, EA seolah menyatu dengan mainan di hadapannya.
Anak balita ini seolah menjadi ujian kepekaan sosial yang kian terkikis di masyarakat.
Selanjutnya, dia mengambil satu per satu mainan lainnya dan memperhatikan dengan saksama. Tak banyak bicara, hanya sesekali terdengar kata ”itu” dari mulutnya sembari jari mungilnya menunjuk mainan yang ingin dipegang. Puas mencoba dan memegang satu per satu semua mainan, dia kembali berbaring.
EA dirawat di RS Bhayangkara sejak Senin (28/10) malam, sesaat setelah aparat kepolisian dan warga menemukan anak balita ini di sebuah kamar kos di Jalan Bontonompo, Kecamatan Tamalate, Makassar. Di dalam kamar kos itu ada jasad Marni (39), ibunya yang diperkirakan sudah dua hari lebih meninggal. Jasad Marni terbaring di pintu kamar mandi.
Adapun EA ditemukan sedang memeluk jasad ibunya. Polisi pun langsung membawa EA dan jenazah Marni ke RS Bhayangkara. Penemuan jenazah Marni dan juga EA yang masih hidup bermula saat Ratnawati (32), pemilik rumah kos, datang ingin menagih uang sewa. Dari luar kamar kos, Ratnawati mendengar suara anak menangis, mencium bau amis, serta melihat banyak lalat beterbangan.
Ratnawati memberitahukan hal ini kepada seorang pedagang kambing tak jauh dari rumahnya. Lalu, mereka menelepon Syalfian Jaya (53), Ketua RT 001 RW 006, Kelurahan Pabaeng-Baeng, ”Kami menghubungi Binmas, lalu mencongkel jendela dan membuka pintu yang terkunci dari dalam. Kami melihat jenazah Marni dan anaknya yang sedang memeluknya,” kata Syalfian.
Menurut Ratnawati, Marni sudah tinggal di rumah kosnya selama tujuh bulan. Marni adalah istri Kopral Satu Kris Batti yang bertugas di Yonif Para Raider 433 Sambueja, Maros. Marni diketahui pisah dengan suaminya dan dia membawa EA menempati rumah kos di Jalan Bontonompo. Selama tinggal di rumah kos milik Ratnawati, Marni jarang berkomunikasi dengan warga sekitar.
Kondisi normal
EA yang bertahan hidup lebih dari dua hari tanpa makan dan pertolongan siapa pun, saat ini kondisi kesehatannya tergolong normal. Tim dokter RS Bhayangkara pun terus memantau fisik ataupun psikisnya.
Tak ada yang tahu selama dua hari dalam kamar dia makan apa, minum apa, tetapi ini luar biasa,
”Sifat manusia yang Homo sapiens, berusaha bertahan, ada pada anak ini. Tak ada yang tahu selama dua hari dalam kamar dia makan apa, minum apa, tetapi ini luar biasa,” kata Kepala RS Bhayangkara Komisaris Besar Farid Amansyah.
Peristiwa ini menyentak sekaligus mengusik pikiran banyak orang. Banyak yang bertanya, di mana tetangga atau kerabat Marni saat selama lebih dari dua hari perempuan ini tak pernah terlihat? Mengapa tak ada yang terusik saat dua hari itu suara tangisan EA terdengar dan tanpa suara ibunya yang menenangkan.
Rumah kos yang ditempati Marni adalah rumah permanen yang berada di samping rumah pemilik kos. Terdapat enam kamar di rumah ini, dan empat di antaranya berpenghuni.
Di sepanjang Jalan Bontonompo berdiri rumah- rumah besar bertingkat di satu sisi, serta pagar tembok di tanah kosong pada sisi lainnya. Di ujung jalan terdapat beberapa penjual kambing yang berjualan sepanjang hari. Kompleks perumahan ini pun berada di lingkungan yang terbilang ramai.
Pantauan di lokasi menunjukkan rumah-rumah kos ini umumnya berpagar tinggi dan tertutup. Penghuninya kebanyakan karyawan dan mahasiswa atau keluarga kecil, yang keluar saat pagi hari dan pulang sore atau malam. Sosiolog Universitas Hasanuddin, Rahmat Muhammad, mengatakan, peristiwa ini sudah selayaknya menjadi momen untuk kembali menggugat, ke mana perginya kepekaan sosial masyarakat.
Berkembang fenomena warga yang kian individualistis, kehilangan kepekaan, dan kurang komunikasi dengan tetangga sekitar.
”Ke mana falsafah hidup orang Bugis dan Makassar: sipakatau (memanusiakan sesama), sipkainge (saling mengingatkan), sipakalebbi (memuliakan sesama)? Juga falsafah hidup lain seperti sipammase (saling mengasihi)?” katanya. Menurut Rahmat, di banyak tempat, terutama kota besar, berkembang fenomena warga yang kian individualistis, kehilangan kepekaan, dan kurang komunikasi dengan tetangga sekitar.
”Orang-orang hidup dengan urusan sendiri-sendiri dan lupa bahwa manusia adalah makhluk sosial. Mestinya, dalam kondisi seperti ini, setidaknya ada tetua atau ketua RT yang bisa memfasilitasi agar terbangun komunikasi antarwarga,” katanya. Mengembalikan komunikasi dan kepekaan sosial menjadi keniscayaan untuk mencegah tragedi yang dialami EA dan ibunya, Marni, terulang.