JAKARTA, KOMPAS - Konstelasi politik untuk lima tahun ke depan diprediksi akan lebih dinamis dengan terbentuknya poros kekuatan baru di Dewan Perwakilan Rakyat. Penjajakan kerja sama antara Partai Nasdem sebagai partai pendukung pemerintah dan Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai non-pemerintah menandakan potensi pergeseran peta politik nasional ke depan.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate membawa jajaran pengurus Partai Nasdem untuk berkunjung ke Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Jalan TB Simatupang, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Kehadiran mereka disambut Presiden PKS Sohibul Iman, Sekretaris Jenderal PKS Mustafa Kamal, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, dan jajaran elite pengurus PKS. Dalam pertemuan tertutup selama satu jam itu, kedua partai itu sepakat menjajaki peluang kerja sama ke depan, bahkan tidak menutup peluang untuk berkoalisi di masa mendatang.
Lepas dari posisi politik mereka yang berbeda saat ini, pertemuan antara kedua partai itu berlangsung hangat dan cair. Sohibul Iman dan rombongan mengantarkan Surya Paloh dan rombongan hingga mereka menaiki bus besar berlambang simbol Partai Nasdem yang terparkir di halaman depan kantor DPP PKS.
Surya Paloh dan Sohibul Iman sempat berpelukan dan berangkulan. Keduanya juga sempat saling berbisik, lalu tersenyum dan tertawa kecil. Mustafa Kamal menyebut, dalam pertemuan, Surya Paloh menyebut PKS sebagai \'saudara tua\'.
Usai pertemuan, keduanya juga mengadakan konferensi pers bersama. Mustafa Kamal mengatakan, pertemuan itu berujung pada kesepakatan antara PKS dan Nasdem untuk menjalin kerja sama di DPR dalam mengawasi kinerja pemerintahan Jokowi-Amin.
"Perbedaan sikap politik kedua partai tidak menjadi penghalang bagi Nasdem dan PKS untuk berjuang bersama-sama menjaga demokrasi agara tetap sehat dengan memperkuat fungsi check and balance di DPR,” kata Mustafa.
Surya Paloh menegaskan, partainya masih berada di barisan pendukung pemerintah. Namun, itu bukan berarti Nasdem tidak akan mengkritisi pemerintahan Jokowi-Amin. Menurutnya, demokrasi yang sehat tetap membutuhkan kekuatan penyeimbang. Demikian pula, pemerintah yang sehat juga seharusnya tidak anti terhadap kritik.
“Pemerintah yang sehat harus bisa menerima pikiran-pikiran yang mengkiritisi. Apabila pikiran yang mengkritisi itu tidak ada lagi, kami khawatir jalannya pemerintahan itu tidak sehat. Namun, kami sepakat, pikiran kritis ini dilandasi niat baik, mengkritisi secara konstruktif, bukan untuk saling merusak dan menjatuhkan,” kata Paloh.
Menurut Sohibul Iman, gaya dan porsi kritik yang disampaikan PKS dengan Nasdem tentu akan berbeda, berdasarkan sikap politik masing-masing partai itu. "Kalau nanti Bang Surya dan pasukannya kritis ke pemerintah, saya kira tetap disadari kesadaran bahwa Nasdem itu di dalam pemerintahan. Tentu, kritiknya berbeda dengan PKS," ujar Sohibul.
Partai Nasdem saat ini memiliki 59 kursi di DPR, sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak keempat saat Pemilihan Umum 2019. Nasdem menjadi partai pendukung pemerintah bersama empat partai lainnya. Sementara, PKS memiliki 50 kursi sebagai partai di urutan ketujuh dan mengambil posisi di luar pemerintahan bersama Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional.
Saat upacara pelantikan presiden-wapres, 20 September 2019 lalu, Surya Paloh sempat mengatakan bahwa Nasdem siap menjadi kekuatan oposisi bagi pemerintah jika tidak ada partai lain yang menjadi oposisi. Hal itu dikatakannya melihat banyaknya partai-partai, termasuk Partai Gerindra, yang ingin merapat ke pemerintahan Jokowi-Amin.
Poros politik baru
Peneliti Center for Strategic and International Studies Arya Fernandes menilai, pasca pembentukan Kabinet Indonesia Maju, Nasdem saat ini sedang mencari bentuk keseimbangan baru antara posisi tawarnya di kabinet serta sepak terjangnya sebagai partai pemilik kursi di DPR. Tidak menutup kemungkinan, penjajakan kerja sama itu akan berbuah poros politik baru.
Ini membuat dinamika politik di parlemen ke depan akan lebih cair. Sebab, tidak ada partai yang akan benar-benar menjadi kekuatan pendukung pemerintah. Demikian pula, tidak ada partai yang akan benar-benar menjadi kekuatan \'oposisi\' di luar pemerintah.
"Terlebih, dalam waktu 3-4 tahun ke depan, akan ada pemilu lagi. Partai-partai harus membangun citra baru di depan publik. Nasdem pun memainkan dua posisi: sebagai partai pendukung pemerintah yang tergabung di kabinet dan melakukan akrobat politik juga di DPR," ujar Arya.
Adapun peneliti Populi Center Jefri Adriansyah berpendapat, langkah Nasdem untuk menjajaki kerjasama dengan PKS adalah untuk memperkuat posisi tawar Nasdem dalam skema politik strategis antarpartai koalisi pendukung pemerintah.
Namun, kerja sama yang dibangun antara Nasdem dan PKS dinilai Jefri tidak alamiah, sebab kedua partai tersebut memiliki platform ideologi yang berbeda. Nasdem condong menjadi partai nasionalis, sementara PKS adalah partai dengan ideologi relijius.
Perbedaan platform politik antara Nasdem dan PKS pun menimbulkan pertanyaan mengenai bentuk konkret kerjasama yang disebut akan dibangun di parlemen. Selain itu, posisi tiga menteri Nasdem pada kabinet Jokowi-Amin, berarti mengikat mereka untuk mengikuti dan menjalankan visi-misi Presiden. Sedangkan oposisi sejatinya memiliki visi-misi yang berbeda.
“Ini menandakan bahwa bukan ideologi mauapun gagasan yang dibahas, tetapi kepentingan di luar itu. Sangat mungkin ada komuikasi mengenai kepentingan-kepentingan politik transaksional semata,” kata Jefri.