Partisipasi Indonesia Dalam Rantai Nilai Global Turun 10 Tahun Terakhir
Partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global turun sepanjang 2010-2017. Dalam kurun waktu itu, ekspor komoditas primer masih mendominasi. Sementara investasi asing langsung dan impor masih menyasar pasar domestik.
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global turun selama periode 2010-2017. Dalam kurun waktu itu, ekspor komoditas primer masih mendominasi, sementara investasi asing secara langsung dan impor lebih berfokus pada pemenuhan konsunsi domestik ketimbang ekspor.
Untuk itu, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu memperbaikinya agar Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lain. Pembangunan industri-industri strategis berbasis ekspor dan rantai nilai global perlu terus dikembangkan.
Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Pembangunan Islam (IDB) melalui studinya bertajuk ”Evolusi Partisipasi Indonesia dalam Rantai Nilai Global” menyebutkan, partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global turun dalam periode 2000-2017.
Secara umum, nilai tambah di sektor perdagangan Indonesia turun dari 31 persen pada 2000 menjadi 17,6 persen pada 2017. Kontribusi nilai tambah perdagangan itu terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia juga turun dari 27,8 persen pada 2000 menjadi 15 persen 2017.
Forward linkage produk setengah jadi dari Indonesia yang diekspor untuk digunakan sebagai bahan produksi barang jadi di negara lain menurun dari 21,5 persen total ekspor menjadi 12,9 persen. Sementara backward linkage, yaitu porsi produk dari luar negeri yang bernilai tambah untuk diekspor, juga menurun dari 16,9 persen menjadi 10,1 persen.
Forward linkage adalah kegiatan di mana sektor unggulan tersebut mampu mendorong sektor lain supaya lebih berkembang. Sementara backward linkage adalah kegiatan sektor unggulan yang membutuhkan sektor lain untuk kelancaran kegiatannya.
”Partisipasi Indonesia yang terbatas dalam rantai nilai global menunjukkan bahwa Indonesia tidak memperoleh manfaat sebanyak yang diperoleh negara-negara tetangganya di Asia, baik dari pertumbuhan perdagangan global maupun dari pengalihan perdagangan akibat ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China,” kata Bambang Susantono, Wakil Presiden ADB Bidang Pengelolaan Pengetahuan dan Pembangunan Berkelanjutan, dalam keterangan pers, Kamis (31/10/2019).
Partisipasi Indonesia yang terbatas dalam rantai nilai global menunjukkan bahwa Indonesia tidak memperoleh manfaat sebanyak yang diperoleh negara-negara tetangganya di Asia.
Studi itu juga menyebutkan, porsi perdagangan internasional yang dilakukan Indonesia selama ini masih didominasi perdagangan secara bilateral. Selain itu, orientasi industri juga masih mengarah pada kebutuhan domestik ketimbang ekspor.
Investasi asing yang masuk ke sektor industri manufaktur bernilai tambah sebenarnya lebih tinggi dibandingkan sektor jasa dan pimer atau komoditas metah. Namun, sebagian besar industri tersebut masih berfokus mengisi pasar dalam negeri. Begitu juga dengan impor bahan baku industri masih berfokus untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Rekomendasi
President IDB Bandar Hajjar mengatakan, rantai nilai telah membantu negara berkembang untuk turut berpartisipasi dalam proses produksi canggih tanpa harus mengembangkan keseluruhan ekosistem produksi. Rantai nilai juga telah memasuki dunia digital sehingga menciptakan peluang dan tantangan bagi perorangan, perusahaan, dan negara.
”Partisipasi seperti itu dalam rantai nilai global telah meningkatkan pendapatan dan mendorong kemajuan perekonomian di banyak negara berkembang. Inilah sebabnya mengapa IDB memprioritaskan untuk membantu negara-negara anggotanya memasuki jaringan global yang spesifik,” kata Bandar.
Studi ini menawarkan empat rekomendasi untuk mendukung partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global. Rekomendasi itu, antara lain, membangun kerja sama yang lebih kuat antarindustri dalam negeri, investasi infrastruktur rantai nilai global, pasokan energi penopang industri, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Selain itu, Indonesia juga perlu berupaya mengembangkan kemampuan inovasi dengan menarik investasi asing dalam industri non-ekstraktif, serta industri penelitian dan pengembangan. Hal itu terutama bagi industri yang terkait erat dengan sektor-sektor lain di dalam negeri.