Harapan dan Realitas Perlindungan Sosial
Pengembangan sumber daya manusia menjadi salah satu fokus perhatian pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada lima tahun mendatang. Dalam pidato pelantikan Agustus lalu, Presiden Jokowi menegaskan pentingnya peningkatan kualitas hidup sumber daya manusia melalui perlindungan dan bantuan sosial. Presiden juga menjanjikan tiga kartu baru: Kartu Indonesia Pintar Kuliah, Kartu Prakerja, dan Kartu Sembako untuk mendukung terwujudnya harapan itu.
Sejak memerintah pada 2014, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla berupaya mewujudkan pembangunan kesejahteraan sosial. Sejumlah program jaring pengaman sosial digulirkan agar bisa menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Pemerataan akses pendidikan dan kesehatan diwujudkan lewat distribusi Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), penyempurnaan sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan, serta Program Keluarga Harapan.
Upaya pemerintah mewujudkan kesejahteraan rakyat itu menuai tanggapan positif dari publik pada akhir periode pertama pemerintahan Jokowi. Hasil survei enam bulanan Kompas pada Oktober 2019 memperlihatkan dinamika penilaian atas kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.
Pada aspek pendidikan, program wajib belajar 12 tahun meraih penilaian positif yang tinggi (72,3 persen). Demikian juga dengan perbaikan kualitas pendidikan, yang dinilai positif oleh 69,8 persen responden. Adapun apresiasi publik terhadap layanan kesehatan mencapai 69,95 persen.
Kendati diapresiasi, dalam praktiknya, berbagai kendala masih menyelimuti upaya pemerintah untuk mewujudkan program-program kesejahteraan sosial sesuai target. Program perlindungan sosial yang semestinya menjadi instrumen untuk menghapus kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta membangun lingkungan sosial dan politik yang stabil masih dibelit beragam persoalan. Lantas, bagaimana perkembangan implementasi perlindungan sosial, baik jaminan sosial maupun bantuan sosial hingga saat ini?
Program jaminan sosial
Pemerintah mulai mengimplementasikan program bantuan sosial sejak 1 Januari 2014 lewat BPJS Kesehatan dan kemudian menyusul program jaminan ketenagakerjaan di bawah BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2014. Keduanya merupakan terjemahan dari perintah dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pembentukan BPJS Kesehatan bertujuan memenuhi kebutuhan dasar hidup penduduk Indonesia. Masyarakat juga diharapkan dapat mengakses layanan kesehatan secara mudah. Namun, kendati telah berjalan lebih dari lima tahun, pelaksanaan program jaminan sosial kesehatan lewat BPJS Kesehatan belum maksimal.
Persoalan anggaran membelit penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Dalam lima tahun terakhir, BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan kendati pemerintah sudah menyuntikkan tambahan dana. Tahun 2014, defisit BPJS Kesehatan Rp 1,9 triliun. Kemudian tahun 2018, defisitnya naik tajam hingga Rp 19,4 triliun.
Setiap tahun, pemerintah selalu mengucurkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan. Pada 2014, pemerintah memberi dana Rp 1,9 triliun untuk menutup defisit. Disusul tahun 2015 sebesar Rp 5 triliun, tahun 2016 senilai Rp 6,8 tahun, tahun 2017 Rp 10,2 triliun, dan tahun 2018 sebesar Rp 10,25 triliun.
Pada tahun ini, alokasi dana Rp 8 triliun sampai Rp 10 triliun kembali disiapkan pemerintah untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan. Kondisi keuangan BPJS yang senantiasa defisit memantik kemarahan Presiden Jokowi saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) di Jakarta, 17 Oktober 2018. ”...kita putus(kan) tambah Rp 4,9 triliun. Ini masih kurang lagi. ’Pak masih kurang. Kebutuhan bukan Rp 4,9 triliun’. Lah, kok, enak banget ini. Kalau kurang minta, kalau kurang minta,” kata Jokowi.
Banyak faktor yang menyebabkan kenaikan defisit keuangan BPJS Kesehatan. Salah satunya, ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran BPJS Kesehatan. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan, pengeluaran yang dibayarkan BPJS Kesehatan tidak sebanding dengan iuran yang masuk. Hal ini lantaran banyak warga yang menunggak dan hanya membayar saat membutuhkan layanan.
Padahal, program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) menggunakan pendekatan dan prinsip anggaran berimbang. Kondisi ini juga menyebabkan biaya per orang setiap bulan lebih besar dibandingkan iuran per orang setiap bulan.
Penyebab lain defisit keuangan adalah besarnya biaya pengobatan penyakit katastropik (berbiaya tinggi dan membahayakan jiwa) yang ditanggung BPJS Kesehatan. Penyakit jantung, gagal ginjal, dan kanker menempati tiga teratas pembiayaan JKN.
Tahun lalu, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik mencapai Rp 20,4 triliun atau sekitar 21,66 persen dari total biaya pelayanan kesehatan Rp 94,2 triliun. Sementara sampai Maret tahun ini, total biaya katastropik mencapai Rp 5,65 triliun atau 22,18 persen dari total biaya pelayanan kesehatan Rp 25,5 triliun.
Keterbatasan anggaran membuat pemerintah tak bisa terus-menerus memberi suntikan dana. Kementerian Keuangan memperkirakan, tahun ini defisit BPJS Kesehatan dapat mencapai Rp 32 triliun jika iuran JKN tak dinaikkan. Nilainya membesar menjadi Rp 44 triliun tahun depan dan Rp 56 triliun pada 2021.
Untuk mengendalikan defisit, pemerintah akan menaikkan iuran JKN. Kenaikan iuran dilakukan demi menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan yang selalu defisit. Pemerintah sudah meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan pembenahan sistem manajemen, mulai dari penataan ulang data peserta, pemeriksaan status rumah sakit, hingga memaksimalkan dana kapitasi yang berada di fasilitasi kesehatan tingkat pertama (FKTP), seperti puskesmas.
Hingga Oktober 2019, layanan BPJS Kesehatan menjangkau 221 juta warga melalui kepesertaan JKN-KIS, termasuk di dalamnya 96,8 juta warga miskin penerima bantuan iuran. Untuk layanan kesehatan, hingga akhir April 2019, terdapat 2.428 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, yang terdiri dari 2.202 rumah sakit dan 226 klinik utama.
Untuk BPJS Ketenagakerjaan, persoalan masih berkutat pada jumlah peserta yang belum mencapai target. Terhitung sampai April 2019, total pekerja yang terdaftar di BPJSTK mencapai 51 juta orang dengan peserta aktif 30,6 juta orang. Perusahaan atau pemberi kerja aktif sebanyak 589.933 entitas.
Dalam Peta Jalan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang disusun oleh Bappenas ditetapkan, sampai 2021 target cakupan kepesertaan untuk pekerja penerima upah (PU) sebanyak 80 persen, bukan penerima upah (BPU) 15 persen, dan jasa konstruksi 100 persen, dengan peserta aktif 51,71 persen.
Bantuan sosial
Selain jaminan sosial, perlindungan sosial mencakup bantuan sosial (bansos) yang antara lain terdiri dari Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bantuan Pangan Nontunai, dan Program Indonesia Pintar (PIP). Seperti halnya jaminan sosial, pelaksanaan program bantuan sosial masih menghadapi sejumlah kendala.
Kajian Bank Dunia 2017 berjudul Menuju Sistem Bantuan Sosial yang Menyeluruh, Terintegrasi, dan Efektif di Indonesia menyoroti pelaksanaan program bansos yang dinilai belum efektif. Anggaran besar telah digelontorkan untuk menjalankan program bantuan sosial, tetapi mekanisme pemantauan dan evaluasinya belum efektif.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan, termasuk rekomendasi Bank Dunia, pelaksanaan penyaluran bansos dianggap kurang berhasil memenuhi prinsip 6T, yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi.
Untuk Program Indonesia Pintar, persoalan yang ditemukan adalah besaran manfaat tak sesuai biaya pendidikan dan pemantauannya lemah. Bank Dunia menyarankan pemerintah menyesuaikan tingkat manfaat setiap tahun. Tujuannya, memastikan bantuan sesuai dengan biaya aktual untuk bersekolah di setiap jenjang pendidikan.
Penyaluran dana bansos secara nontunai diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, dalam penyalurannya masih ditemukan sejumlah persoalan, seperti data yang kurang tepat. Ketiadaan jaringan internet di sejumlah daerah menjadi kendala lain penyaluran bansos nontunai.
Di balik sejumlah persoalan pelaksanaan penyalurannya, jumlah penerima bansos meningkat dari tahun ke tahun. Data terakhir menunjukkan, KIP dibagikan kepada 18,9 juta siswa pada 2019. Jumlah penerima bantuan beasiswa Bidikmisi sebanyak 464.000 mahasiswa tahun 2019. Penerima bantuan pangan nontunai naik dari 10 juta keluarga menjadi 15,6 juta keluarga.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penyaluran bansos hingga Juni 2019 mencapai Rp 70,49 triliun. Angka tersebut menyentuh 72,63 persen terhadap pagu anggaran yang ditetapkan dalam APBN 2019. (LITBANG KOMPAS)