Negara-negara di Asia perlu mewaspadai efek dari kemungkinan pertumbuhan ekonomi China menembus di bawah 6 persen.
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
Negara-negara di Asia perlu mewaspadai efek dari kemungkinan pertumbuhan ekonomi China menembus di bawah 6 persen.
REUTERS/CHINA STRINGER NETWORK
Beberapa orang berdiri di dekat jendela yang mengarah ke area pusat keuangan di Shanghai, China, 23 Oktober 2019. Negara-negara di Asia diingatkan agar mewaspadai efek perlambatan ekonomi China akibat perang dagang dan kemungkinan memburuknya kondisi keuangan global.
JAKARTA, kOMPAS— Negara-negara di Asia wajib mewaspadai pengaruh perlambatan perekonomian China akibat perang dagang dengan Amerika Serikat yang masih berlangsung. Juga perlu diwaspadai efek dari memburuknya kondisi keuangan global. Negara-negara di Asia dengan posisi neraca transaksi berjalan yang defisit dinilai paling rentan terhadap tekanan eksternal.
Hal itu mengemuka dalam simposium internasional bertajuk ”Asia’s Trade and Economic Priorities 2020” yang digelar Biro Riset Ekonomi Indonesia (IBER) dan Biro Riset Ekonomi Asia (ABER) di Jakarta, Selasa (29/10/2019). Acara itu turut didukung CSIS, Tenggara Strategics, Bank Indonesia Institute, Institut Riset Ekonomi bagi ASEAN dan Asia (ERIA), Astra, serta Sinar Mas.
China tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan. Kondisi keuangan China juga memburuk. Konsumennya menjadi lebih berhati-hati.
Salah satu pembicara, Direktur Program Kemitraan Indonesia Australia untuk Perekonomian (Prospera) David Nellor, menyatakan, pertumbuhan ekonomi China di bawah ekspektasi. Ini adalah satu dari tiga ”kejutan” teraktual yang patut dicermati sekaligus diwaspadai. Dua kejutan lainnya adalah kondisi keuangan global yang memburuk dan aktivitas ekonomi global yang tak mudah diprediksi. Hal ini berpangkal pada perang dagang AS- China.
”China tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan. Kondisi keuangan China juga memburuk. Konsumennya menjadi lebih berhati-hati,” kata Nellor, mengingatkan soal proyeksi ekonomi China yang makin tertekan.
Ekonomi China pada triwulan III-2019 dilaporkan tumbuh 6 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Menurut Nellor, pertumbuhan ekonomi China melambat di tengah anjloknya pasar tenaga kerja dan produktivitas yang lebih lemah. Padahal, pada saat yang sama, tingkat utang di negeri itu relatif tetap tinggi.
AP PHOTO
Pengunjung menyaksikan robot yang ditampilkan dalam Pameran Industri Internasional China di Shanghai, Rabu (19/9/2018). Perdana Menteri China Li Keqiang, Rabu, menegaskan dukungan China pada isu perdagangan bebas. Komentar PM Li menegaskan upaya Beijing untuk menggambarkan posisi mereka sebagai pembela perdagangan global dan multilateralisme, terutama dalam menghadapi keluhan Washington dan mitra dagang lainnya tentang kebijakan industri yang mereka katakan melanggar komitmen pasar terbuka.
Efek dari peran China sebagai bagian penting pada rantai pasokan dan posisinya yang menentukan harga komoditas juga patut diperhitungkan. Pada paruh I-2019, nilai volume perdagangan global hanya 1 persen lebih tinggi dalam setahun, laju paling lambat sejak 2012.
Pertumbuhan permintaan atas produk tembaga China juga anjlok tahun ini. Padahal, pangsa konsumsi logam global China melesat dari 4 persen pada tahun 1988 menjadi 50 persen pada 2018. Mengingat pengaruhnya yang besar, kata Nellor, efeknya patut diperhitungkan, terutama bagi negara-negara di Asia yang jadi mitra dagang utama China.
Investasi langsung asing global anjlok sekitar 27 persen.
Jaring pengaman
Perang dagang AS-China melemahkan pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) mengestimasi perang dagang menyebabkan penurunan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hingga 1 persen pada tahun 2019. Investasi langsung asing global anjlok sekitar 27 persen.
Ekonom Universitas Indonesia, yang juga mantan Menteri Keuangan RI, Chatib Basri, mendorong Indonesia dan negara-negara di Asia meningkatkan jaring pengaman global. Hal itu merupakan bagian upaya penyediaan likuiditas yang cukup saat krisis.
Jaring keamanan finansial global adalah mekanisme yang menyediakan asuransi pencegahan terhadap krisis. Hal ini dilakukan dengan memasok likuiditas ketika krisis melanda dan memberi insentif pada kebijakan ekonomi makro yang sehat. Negara-negara di Asia didorong meningkatkan kerja sama perdagangan.