Tolak Relokasi, Warga Muara Angke Diminta Buat Konsep
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Warga yang bakal terdampak pembangunan fasilitas Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, menolak rencana relokasi permukiman karena menilai konsep relokasi belum jelas. Karena itu, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara memberi waktu pada mereka membuat konsep penataan permukiman usulan warga.
Pada Rabu (30/10/2019) pagi, puluhan petugas Satuan Polisi Pamong Praja bersiaga untuk pengosongan lahan penjemuran ikan di kawasan Muara Angke yang akan dijadikan tempat pendirian penampungan sementara (shelter) bagi warga yang permukimannya bakal dibongkar untuk pembangunan instalasi Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat atau Jakarta Sewerage System (JSS). Namun, pasukan kemudian ditarik karena warga protes.
Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko datang pada siang hari ke Blok Eceng, salah satu area permukiman terdampak JSS, untuk berembug dengan warga.
Warga mengeluhkan suara mereka yang tidak diperhatikan dan Pemprov DKI dianggap menjalankan rencana secara sepihak. Mengakomodasi itu, Sigit meminta warga merumuskan usulan penataan permukiman. Usulan itu akan dipresentasikan ke Pemprov.
Saat ditanya soal risiko pengerjaan fasilitas JSS di Muara Angke mundur karena masih ada penolakan warga, Sigit menjawab, pihaknya tidak membicarakan sekuens sistem, tetapi efektivitas penerimaan konsep oleh seluruh pemangku kepentingan. “Sebab, efektivitas penerimaan konsep ini akan berpengaruh pada pencapaian-pencapaian yang lain. Itu kuncinya,” ucap dia di Blok Eceng Muara Angke, Rabu.
Namun, Sigit juga menetapkan target waktu bagi warga untuk menyusun usulan. Ia meminta maksimal akhir November ini warga yang terdampak JSS di Muara Angke sudah mempresentasikan konsep mereka.
Terkait itu, pendamping warga dari Jaringan Rakyat Miskin Kota, Gugun Muhammad, menyampaikan, warga menuntut Pemprov DKI tidak lagi mendatangkan aparat ke Muara Angke guna mempercepat relokasi warga selagi mereka menyusun konsep penataan permukiman. “Kami tidak menolak IPAL (instalasi pengolahan air limbah JSS), tetapi kami menolak penggusuran secara sewenang-wenang,” ujarnya.
JSS merupakan sistem pengelolaan air limbah domestik terpusat yang dirancang dengan tujuan memperbaiki pengelolaan air limbah di DKI sehingga meningkatkan kualitas kesehatan dan lingkungan. Layanan pengelolaan air limbah yang ada saat ini baru mencakup 6 persen-10 persen wilayah DKI.
Rencananya, JSS terbagi ke dalam 15 zona dan pembangunan didahulukan untuk lima zona, yakni zona 1, 2, 5, 6, dan 8. Fasilitas zona 2 dengan luas satu hektar akan berlokasi di Waduk Muara Angke, dibangun selama tahun 2020-2024.
Instalasi di sana akan melayani pengelolaan air limbah bagi 123.000 penduduk Jakarta di Kecamatan Cengkareng dan Grogol Petamburan di Jakarta Barat serta Kecamatan Penjaringan di Jakarta Utara. Air limbah disalurkan dari permukiman ke instalasi pengolahan menggunakan jaringan pipa.
Tokoh masyarakat Blok Eceng, Muhaimin (46), mengatakan, sebagian lahan di tiga area permukiman akan masuk area proyek, yaitu lahan di Blok Eceng, Blok Limbah, dan Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT). Warga Blok Eceng yang terdampak berjumlah lebih dari 180 keluarga.
Muhaimin kecewa Pemprov DKI seperti tidak memanusiakan warga terdampak, karena seakan memaksakan rencana pembangunan tanpa mendengar keinginan dan kebutuhan warga yang akan dipindahkan. “Ini bukan sekadar tentang tempat tidur, melainkan juga tentang tempat usaha kami,” katanya.
Junaedi (40), perwakilan warga PHPT, menambahkan, mereka protes karena pemprov ingin segera memindahkan warga dengan cara membuat penampungan sementara terlebih dahulu. Padahal, konsep relokasi, termasuk tempat tinggal permanen untuk warga, belum jelas hingga sekarang. “Lokasi rumah susun belum jelas, biaya pembangunan belum ada. Kalau demikian, kami akan tinggal berapa lama di shelter atau bedeng itu,” ucap dia.
Informasi yang diterima Junaedi, penampungan hanya berukuran 3 meter kali 6 meter per unit. Setiap keluarga menempati satu unit yang berdinding papan glass-reinforced concrete (GRC). Ia menilai hunian macam itu tidak layak.