Panggung bagi para calon Ketua Umum PSSI untuk menyampaikan agenda dan menunjukkan kompetensinya masih sangat minim. Hal ini bisa membuat publik sulit meningkatkan kepercayaan terhadap PSSI.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - PSSI membatalkan acara debat calon ketua umum yang dijadwalkan berlangsung, Kamis (31/10/2019), dengan alasan situasi tidak kondusif. Pembatalan ini semakin menunjukkan kegagalan PSSI dalam membangun komunikasi dengan publik. Padahal, momentum ini bisa dimanfaatkan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap PSSI.
Acara debat itu rencananya menjadi “pemanasan” sebelum Kongres Luar Biasa PSSI digelar, Sabtu (2/11/2019) di Jakarta. Dalam acara itu, para calon ketua umum PSSI bisa menyampaikan visi dan misi serta saling mengadu gagasan. Publik kemudian bisa menilai siapa saja yang layak dan memiliki kompetensi untuk mengurusi sepak bola di Tanah Air.
Menurut Anggota Komite Pemilihan PSSI sekaligus penanggung jawab acara debat tersebut, Machfudin Nigara, situasi yang tidak kondusif yang dimaksud adalah munculnya polemik mengenai pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB). Ada kubu yang menginginkan KLB tetap dipercepat pada Sabtu ini dan kubu lainnya ingin KLB tetap berlangsung pada Januari 2020 sesuai jadwal.
Publik itu tidak hanya butuh figur melainkan juga gagasan
Polemik tersebut telah membuat salah satu calon ketua umum, La Nyalla Mahmud Mattalitti, memutuskan untuk menarik diri. “Tidak terbayang ketika dua kubu itu bertemu di satu panggung, saya tidak ingin acara ini berdampak buruk,” kata Nigara, Selasa (29/10/2019) di Jakarta.
PSSI semula ingin acara debat itu bisa disaksikan publik dengan mudah. Nigara pun mencoba mendekati dua stasiun televisi nasional untuk bekerja sama tetapi ditolak. Sponsor untuk mendukung acara tersebut juga sulit didapatkan.
Dalam situasi seperti ini Nigara dengan bulat memutuskan untuk membatalkan acara tersebut. “Lagipula acara ini bukan kegiatan pokok dari rangkaian pemilihan (pengurus) dan sudah ada pihak lain yang menggelar acara serupa,” kata Nigara.
Panggung bagi para calon ketua umum PSSI untuk mengkampanyekan visi dan misinya justru dibuat oleh media massa, salah satunya diskusi yang digelar oleh Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia Pusat (SIWO PWI Pusat) dan PSSI Pers, Rabu (30/10/2019). “Kami sudah merencanakan ini sudah lama karena inilah kesempatan untuk mengenal para calon,” kata Ketua SIWO PWI Pusat, AAGWA Ariwangsa.
Menanggapi hal ini, pengajar ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus pengamat sepak bola nasional, Fajar Junaedi, menilai kegagalan PSSI dalam membangun komunikasi dengan publik menjadi masalah serius. “Publik itu tidak hanya butuh figur melainkan juga gagasan. Selama ini belum ada yang sanggup menyampaikan gagasan dengan baik,” kata Fajar.
Padahal, publik butuh mengetahui apa yang akan dilakukan para calon jika terpilih untuk mengatasi berbagai masalah tata kelola sepak bola nasional. Meski tidak memiliki hak untuk memilih dalam KLB, publik masih bisa menjadi pengawas jika ada keterbukaan.
Kerusuhan di Surabaya
Salah satu gagasan yang harus disampaikan calon Ketua Umum PSSI adalah bagaimana mengatasi kerusuhan dalam laga sepak bola yang masih sering terjadi di berbagai daerah. Setelah laga Liga 2 antara PSIM melawan Persis Solo berakhir ricuh di Yogyakarta pada pekan lalu, kerusuhan kembali terjadi usai PSS Sleman mengalahkan Persebaya Surabaya, 3-2, dalam laga lanjutan Shopee Liga 1 di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa malam.
Kerusuhan itu menyebabkan stadion rusak. Kepala Bidang Sarana Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Surabaya Edy Santoso mengatakan, sejumlah fasilitas yang dirusak dengan dibakar antara lain gawang, bangku pemain, papan skor, lintasan lari, papan reklame, dan panel lorong pemain. “Ajur (Hancur),” ujar Edy mengekpresikan kekecewaan mendalam dalam bahasa khas Surabaya.
Hingga Selasa pukul 21.00 WIB, saat berita ini dibuat, Kepala Kepolisian Resor Besar Kota Surabaya Komisaris Besar Sandi Nugroho belum bersedia memberikan keterangan tentang dampak kericuhan oleh suporter Persebaya sering disebut Bonek alias Bondo Nekat (modal nekat).
Sandi juga belum bersedia memberikan keterangan apakah ada orang-orang yang ditangkap terkait dengan kericuhan di dalam stadion yang akan dipakai untuk Piala Dunia U-20 2021 itu. “Kami masih berjibaku untuk mengatasi keadaan,” katanya.
Perilaku suporter sepak bola yang sering tidak sportif hingga menimbulkan kericuhan, juga menjadi perhatian Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali. Pada Kamis lalu, Menpora berharap, saat Piala Dunia U-20 2021 bergulir, suporter Indonesia mampu menjaga ketertiban dan tidak berbuat onar seperti saat menjamu Malaysia di kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia, September lalu. ”Saya ingin penonton seperti di Liga Spanyol atau Inggris. Duduk menonton, tetapi tidak rusuh,” ujar Zainudin.
Manajemen Persebaya melalui Media Officer Nanang Prianto mengatakan, manajemen segera membuat evaluasi terkait laga ini. Yang terang, klub amat kaget dan tak menyangka kekalahan dari PSS itu disikapi secara tak terpuji oleh pendukung atau Bonek yang marah. “Sanksi akan memberatkan tim,” ujar Nanang.
Adapun kekalahan dari PSS itu merupakan yang pertama dialami oleh “Green Force”, julukan Persebaya di kandang sepanjang musim ini. Namun, kegagalan tadi, di sisi lain, meneruskan tren negatif tim yang gagal menang dalam enam laga terakhir.
Kekalahan dari PSS membuat tim asuhan Wolfgang Pikal ini tertahan di posisi ke-9 klasemen sementara. Ruben Sanadi dan kawan-kawan baru mengumpulkan 31 poin dari 7 kemenangan, 10 imbang, dan 8 kekalahan. Persebaya hanya berjarak 8 poin dari Kalteng Putra yang ada di zona degradasi. Persebaya terlalu jauh untuk menjangkau pemuncak sementara yakni Bali United (54 poin) dari 23 laga. (AMBROSIUS HARTO, IQBAL BASYARI)